Rasa cinta dalam pekerjaan menjadi faktor penting untuk menjaga dan mengembalikan kejayaan produk. Kesediaan mendengar suara konsumen dan karyawan juga tak boleh ditinggalkan.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Sesekali kita perlu datang ke juru masak yang pintar membuat makanan, peneliti di laboratorium yang tekun menghasilkan karya, tukang kayu yang membuat mebel sangat indah, dan lain-lain. Mereka suka sekali dengan pekerjaan mereka hingga level sangat mencintai, bahkan fanatik. Kita menemukan cinta di sana.
Rasa cinta seperti itulah yang mungkin harus dimiliki saat kita ingin mengembalikan produk kita berjaya di pasar. Kita kerap bangga karena mempunyai ide inovasi bisnis hebat. Di sisi lain, konsumen membutuhkan berbagai solusi. Masalah seolah selesai ketika kita berhasil membuat produk yang bertemu dengan keinginan konsumen. Rupanya, semua itu hanya di atas kertas.
Oleh karena itu, rasa yang muncul di antara juru masak, peneliti, dan tukang kayu tersebut menarik untuk diperhatikan. Mereka memiliki ketekunan besar untuk memetik buah dari pekerjaan mereka.
Banyak produk yang sekarang begitu lekat di pikiran dan hati konsumen. Mereka sangat bergantung kepada produk itu. Konsumen juga senang dengan berbagai produk itu.
Mereka yang membuat pasti memiliki rasa cinta yang kuat ketika membangun sebuah produk. Kisah jatuh-bangun pasti muncul di tengah langkah mereka mengerjakan berbagai produk. Mereka mungkin sempat patah semangat dan merasa berat, tetapi mereka tetap menerjang.
Usaha rintisan yang menjamur saat ini bisa menjadi contoh untuk memperlihatkan bahwa mencintai pekerjaan mampu menghasilkan produk hingga konsumen lekat dengan karya mereka. Usaha rintisan yang sukses adalah usaha yang penuh dengan kerja keras, tim yang terus termotivasi, terus belajar, dan memiliki energi berlebih.
Seorang penulis bernama Martin Zwilling di laman Forbes bahkan mengatakan, saat Anda masuk usaha rintisan, tidak boleh berpikir ingin kaya dalam waktu dekat. Sukses itu akan dibayar dengan kerja keras dalam jangka panjang.
Usaha rintisan yang sukses adalah usaha yang penuh dengan kerja keras, tim yang terus termotivasi, terus belajar, dan memiliki energi berlebih.
Tantangan berat muncul di perusahaan mapan yang sudah beroperasi lama ketika ingin mengembalikan kejayaan produk mereka. Mereka perlu berinovasi dengan membangun produk-produk yang diharapkan kembali sangat lekat dengan konsumen alias mendapat kepercayaan pasar kembali. Perusahaan seperti ini umumnya sangat sulit menemukan jalan kembali untuk berjaya.
Mereka butuh waktu yang lama. Cara yang mungkin bisa dipilih, misalnya, berkolaborasi dengan usaha rintisan agar produk mereka yang sudah hampir mati atau terdisrupsi bisa kembali berjaya di pasar.
Dalam sebuah riset yang dilakukan Forum Ekonomi Dunia (WEF), perusahaan mapan bisa berkolaborasi dengan usaha rintisan untuk masuk dan membuka pasar baru. Sebaliknya, bagi usaha rintisan kolaborasi itu bisa membangun produknya hingga masuk ke dalam skala bisnis. Meski dalam kenyataannya kolaborasi, akan memunculkan konflik seperti perbedaan kultur kerja dan perbedaan cara menimbang risiko.
Kesuksesan kolaborasi perusahaan mapan dengan usaha rintisan sangat bergantung pada kesediaan setiap pihak untuk memahami kepentingan, harapan kedua belah pihak, insentif yang didapat, dan memahami kultur. Pada ujungnya, riset WEF itu menyimpulkan, saling memahami risiko dan masalah yang dihadapi kedua belah pihak akan membuat kolaborasi bakal sukses.
Beberapa perusahaan pernah mencoba langkah seperti ini dan memang tidak mudah. Di luar upaya strategis seperti di atas, sangat boleh jadi kembalinya produk kita di pasar disebabkan sesuatu yang ”datang dari langit”.
Saling memahami risiko dan masalah yang dihadapi kedua belah pihak akan membuat kolaborasi bakal sukses.
Di dalam buku The Tipping Point yang ditulis Malcolm Gladwell, ada kisah produsen sepatu Hush Puppies yang kembali meraih posisi puncak karena obrolan anak-anak muda di Manhattan. Pada 1994-1995, merek itu boleh dibilang sudah hampir mati. Produksinya menurun drastis hingga kemudian muncul obrolan tentang kembalinya tren sepatu itu di kalangan anak muda. Produksi mereka setahun kemudian meningkat.
Kisah Hush Puppies ini bisa jadi diwarnai faktor ”kebetulan” dan tidak banyak perusahaan yang mengalami titik balik seperti ini. Namun, mereka pasti membangun merek itu dengan jungkir balik sehingga ”kebetulan” itu bukanlah jatuh dari langit, melainkan buah dari ketekunan dan kecintaan mereka membangun produk dan merek sekian tahun lamanya.
Kelekatan konsumen terhadap produk ini telah lama terbangun. Saat penjualan mereka kembali naik, pasti karena produk ini memiliki superioritas.
Semua keberhasilan dalam mengembalikan kejayaan produk tampaknya tidak mungkin terwujud kalau kita tidak mencintai detail kerja, seperti yang dilakukan juru masak, peneliti, dan tukang kayu di atas.
Sebagai tambahan, usaha apa pun yang dilakukan, baik oleh usaha rintisan maupun perusahaan mapan agar produk kita bisa berjaya di pasar, ternyata juga disertai kemauan untuk mendengarkan suara konsumen dan karyawan. (ANDREAS MARYOTO)