Airlangga: Wajah Indonesia Akan Berubah
Indonesia akan memiliki wajah berbeda pada 2021, antara lain melalui reformasi struktural.
Pandemi Covid-19 membawa Indonesia dan negara-negara lain ke dalam resesi. Krisis kesehatan berlanjut menjadi krisis ekonomi.
Konsumsi rumah tangga, yang selama ini mendominasi produk domestik bruto Indonesia, anjlok. Masyarakat kelas menengah-atas yang selama ini menopang konsumsi memilih menyimpan uang mereka karena menilai situasi akibat pandemi masih serba tak pasti.
Sementara konsumsi kelas menengah-bawah ditopang jaring pengaman sosial, yang masuk dalam alokasi anggaran penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional senilai Rp 695,2 triliun pada tahun ini. Penopang lain dari pemerintah berupa program subsidi upah, Kartu Prakerja, serta bantuan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Menurut data Badan Pusat Statistik, perekonomian RI yang tumbuh minus 5,32 persen secara tahunan pada triwulan II-2020 membaik menjadi minus 3,49 persen secara tahunan pada triwulan III-2020. Kondisi ini menunjukkan periode terburuk sudah terlampaui. Pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi mencapai 5 persen pada 2021.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam wawancara khusus dengan Kompas secara virtual, pekan lalu, menekankan, faktor penentu pada 2021 adalah keberadaan vaksin Covid-19 dan reformasi struktural melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Airlangga menyebutkan, kondisi perekonomian menunjukkan tanda-tanda positif. Data Badan Pusat Statistik, ekspor pada November 2020 sebesar 15,275 miliar dollar AS atau naik 9,54 persen dalam setahun. Kondisi ini menambah cadangan devisa RI. Indeks Harga Saham Gabungan sudah di atas 6.000 dan nilai tukar Rp 14.000-an per dollar AS.
Persoalan Indonesia saat ini adalah kekurangan kontainer untuk ekspor sehingga harga kontainer naik 20-30 persen. Permintaan kontainer untuk ekspor meningkat sehingga menjadi tanda perekonomian kita mulai menggeliat.
Proyeksi 2021, pemerintah dan beberapa lembaga melihat 4,5-5,5 persen.
Berikut petikan wawancaranya.
Kondisi terburuk sudah lewat pada triwulan II-2020? Untuk pemulihan ekonomi, apa titik tolaknya? Apakah sudah ada jalan tengah antara kesehatan dan ekonomi?
Pemerintah tegas, pandemi Covid-19 adalah masalah kesehatan yang merambat ke perekonomian. Oleh karena itu, perlu menimbulkan kepercayaan terhadap kesehatan, baru masyarakat beraktivitas ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah menangani masalah kesehatan. Terjadi perubahan layanan publik dalam masalah kesehatan. Pandemi Covi-19 menjadi kesempatan untuk merevitalisasi layanan publik di sektor kesehatan. Pemerintah sedang mengadakan obat-obatan berkelas dunia sehingga obat-obatan yang tersedia di luar negeri akan ada semua di Indonesia. Bahkan, perawatan dan penyembuhan Covid-19 di Indonesia sudah cukup maju plasma konvalesen.
Oleh karena itu, perlu menimbulkan kepercayaan terhadap kesehatan, baru masyarakat beraktivitas ekonomi.
Beberapa negara sekarang menghadapi gelombang 2 dan 3 pandemi. Di Indonesia, dengan semakin banyak tes dan pelacakan, tingkat positif (perbandingan antara kasus positif dan jumlah tes) meningkat. Tapi, kita sudah membuka isolasi mandiri di hotel-hotel yang cukup baik karena diawasi dokter. Hal berbeda antara awal pandemi dan sekarang adalah protokol saat ini lebih jelas dan fasilitas lebih baik. Pandemi ditangani secara kesehatan.
Pendorongnya adalah vaksinasi. Pemerintah sudah menyiapkan prioritasnya, yakni mereka di garda terdepan, seperti dokter dan penegak hukum, termasuk guru.
Baca juga: Ekonomi Pascavaksinasi
Faktor penentu kedua adalah reformasi struktural melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU ini membawa sentimen positif dari berbagai institusi, termasuk ditanyakan mitra-mitra di luar negeri. Dengan dua pendobrak ini, publik melihat Indonesia menangani pandemi Covid-19 secara berbeda karena Indonesia adalah salah satu negara yang tidak mengunci wilayah. Indonesia menerapkan pembatasan sosial berskala besar dengan 11 sektor tetap dibuka dan terbukti, di antara negara-negara G-20, pertumbuhan ekonomi RI di bawah China. Negara lain kontraksinya lebih dalam dari Indonesia.
Kriteria kedua, kontraksi pertumbuhan ekonomi dan posisi terendah sudah tercapai pada triwulan II-2020. Pada triwulan III-2020, secara triwulanan RI tumbuh 5,05 persen sehingga kalau kita mempertahankan pertumbuhan 5,05 persen, prediksi pada akhir 2020 sekitar minus 2 persen hingga positif 0,6 persen. Tren sudah terlihat.
Apa syarat utama perbaikan kondisi ekonomi? Bagaimana cara membangkitkan aktivitas ekonomi dan sektor apa yang paling gampang digerakkan?
Penggerak ekonomi adalah konsumsi dan investasi. Selama pandemi Covid-19, keduanya tidak berfungsi secara baik. Sisi permintaan konsumsi terganggu akibat rasa tidak aman masyarakat yang terganggu. Penyelesaiannya dengan protokol pencegahan Covid-19 dan vaksinasi. Dari sisi investasi, kita akan ada sumber penopang baru, yaitu Lembaga Pengelola Investasi (Sovereign Wealth Fund/SWF). Indikasinya positif, investasi dari sejumlah negara akan masuk.
Mesin ketiga pertumbuhan ada di sini, yang tidak hanya mengandalkan APBN. Biasanya kita hanya mengandalkan penanaman modal asing secara langsung dan secara tidak langsung lewat pasar modal. Kita absen pembiayaan jangka panjang atau lembaga instrumen jangka panjang. Dengan keberadaan LPI, pembiayaan jangka panjang yang selama ini tidak sinkron sudah diganjal.
Kalau pertumbuhan ekonomi 5 persen, penyerapan tenaga kerjanya 2 juta orang. Maka, harus ada pengungkit lain dan kita inginkan aset-aset ini juga bergerak. Aset kita kebanyakan tidur, tidak bisa melakukan kegiatan ekonomi. Dengan LPI, diharapkan semua aset bisa kerja keras.
Apakah bisa diartikan akan ada pergeseran sumber pertumbuhan dari basis konsumsi menjadi basis investasi?
Kita lihat hasil pemulihan ekonomi global mulai terlihat. Perekonomian China tumbuh positif sehingga kita harapkan menjadi rantai pasok dunia, Indonesia bisa terdampak. Kedua, dengan sistem preferensial umum (GSP) yang diperpanjang Amerika Serikat, perjanjian perdagangan terbatas kita dorong agar ada tambahan ekspor tekstil, alas kaki, permata, dan furnitur ke AS. Kalau ada tambahan perjanjian dagang, GSP yang 10 persen bea masuk bisa turun lagi. Otomatis ekspor kita bisa bertambah. Kita tunggu pemerintahan baru di AS.
Kemudian, lewat Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) Indonesia-Korea, investasi dari Korea diharapkan menonjol. Apalagi, kita sedang membahas pengembangan teknologi nikel yang menjadi basis baterai pada masa mendatang.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi RI Triwulan III-2020 Minus 3,49 Persen
Hal-hal tersebut kita dorong sekaligus menyosialisasikan UU Cipta Kerja. Akan banyak penugasan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk menarik investasi. Melalui berbagai aturan itu, Indonesia akan punya wajah berbeda.
Kita lihat Australia yang sedang mereformasi ketenagakerjaan. Mereka melihat Indonesia berani mereformasi ketenagakerjaan. Australia yang biasanya kuat di teknologi informasi dan jasa bisa ketinggalan dari negara-negara lain di ASEAN.
Dengan reformasi struktural, kita tidak hanya melihat dari basis konsumsi dan meningkatkan investasi. Kita juga mendorong faktor berikutnya, yaitu digitalisasi ekonomi sebab transformasi digital luar biasa. Informasi dan teknologi komunikasi tumbuh 10 persen sehingga menjadi salah satu pengaman perekonomian Indonesia, bersama sektor pertanian yang bertahan. Di samping itu, sektor komoditas, yang harganya pada tahun depan membaik, baik batubara maupun kelapa sawit. Saat ini harga kelapa sawit tinggi, yang tidak terlepas dari program pemerintah menjalankan program B30. Melihat hal-hal ini, langka pemerintah ada di jalur yang benar.
Dengan reformasi struktural, kita tidak hanya melihat dari basis konsumsi dan meningkatkan investasi. Kita juga mendorong faktor berikutnya, yaitu digitalisasi ekonomi.
Wajah baru Indonesia seperti apa yang dibentuk UU Cipta Kerja? Lalu, soal digitalisasi ekonomi, apakah tenaga kerja kita siap? Selama ini industri kita banyak yang padat karya.
UU Cipta Kerja, pemerintah membuat laman tim aspirasi. Dengan laman tersebut, kita lihat akan mendorong kegiatan kita dan diakses 3,4 juta.
Indonesia sudah menjadi negara pendapatan menengah-atas. Kalau kita bicara upah murah, kita akan kalah dari negara berkembang. Tapi, kalau mau bersaing dengan negara-negara yang lebih maju dan berbasis produktivitas, kita akan kalah dari negara yang teknologinya lebih baik dari kita. Tentu harus kita putuskan, berbasis upah murah atau produktivitas.
Indonesia memilih berbasis produktivitas dengan keberadaan UU Cipta Kerja. Nantinya, penguasaan teknologi dan produktivtas menjadi penting karena akan membawa kita lolos dari jebakan pendapatan menengah. Salah satu caranya lewat digitalisasi.
Baca juga: Pandemi, Titik Tolak untuk Berubah
Saya tidak sepesimistis itu karena kita sudah punya percobaan yang namanya Kartu Prakerja. Berarti ada 43 juta anak muda kita yang bisa mengakses internet dari Sabang sampai Merauke di 514 kabupaten/kota. Mereka mampu bergerak secara digital dan punya keinginan belajar. Motivasi adalah penggerak luar biasa. Kalau semua penggerak ini kita bisa dimanfaatkan melalui pelatihan dan lainnya, apalagi kita juga mendorong digitalisas. Ada lonjakan di pusat data global, termasuk di Indonesia. Penggunaan pusat data naik 30 persen. Banyak pusat data yang akan masuk ke Indonesia. Hal ini akan mendorong potensi industri digital, yang di Indonesia bisa senilai 124 miliar dollar AS, termasuk industri 4.0 akan terakselerasi.
Oleh karena itu, dalam pengembangan kawasan ekonomi khusus akan kita dorong investasi pusat data. Bisnis atau kegiatan ekonomi di belakang pusat data juga membutuhkan banyak tenaga kerja. Namun, bidang ini berbasis keterampilan dan teknologi.
Siapa saja yang ikut terlibat meningkatkan basis keterampilan tenaga kerja?
Pada saat saya di Kementerian Perindustrian, ada Apple Academy. Sekarang sudah ada tiga, yaitu di BSD (Banten), Surabaya (Jawa Timur), dan Batam (Kepulauan Riau). Kita tidak kekurangan sumber daya manusia berbakat.
Perusahaan kita punya potensi terbesar di ASEAN, tinggal kita buka pasar regional di ASEAN. Anak-anak muda kita berbakat. Pembelajaran ini yang akan didorong, baik oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika serta kementerian teknis lewat vokasi serta keterhubungan. Secara paralel, sekolah menengah kejuruan, sekolah menengah atas, dan perguruan tinggi kita dorong berbasis keterampilan.
APBN 2021 mengasumsikan pertumbuhan ekonomi 5 persen. Melihat situasi terkini, apakah asumsi ini masih realistis?
Di masa pandemi, ada perubahan target yang sifatnya dinamis. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, pemerintah punya mekanisme menyesuaikan anggaran sesuai dinamika. Akan kita lihat pada 2021, dengan melihat berbagai institusi juga. Misalnya, JP Morgan sangat bullish terhadap Indonesia, bahkan memperkirakan IHSG bisa 6.800. Hal ini merupakan sinyal baik. Pemerintah tetap percaya diri dengan pertumbuhan ekonomi sesuai APBN, yaitu 5 persen dan inflasi 3 persen.
Optimistis dengan kondisi Indonesia?
Di olahraga, orang yang pesimistis tidak pernah menang.
Selama ini ada paket kebijakan, tetapi belum tentu bisa diimplementasikan. Berdasarkan pengalaman itu, ditambah kompetisi antarnegara yang ketat, apa yang bisa memastikan berbagai hal kali ini bisa diterapkan dengan baik?
Kita lihat pemerintah ada silo-silo. Hal itu yang mendorong strategi diubah. Dulu ada UU, lalu bikin aturan di bawah UU, tapi ternyata tidak efektif, termasuk paket-paket kebijakannya. Sekarang kita balik, UU diubah sehingga silo ditiadakan. Di UU ada norma standar dan kriteria yang sama. Di pusat dan daerah sama sehingga bisa diitervensi untuk diperbaiki. Sebelumnya, kalau ada masalah di daerah, tidak bisa berbuat apa-apa, pengusaha hanya bisa sabar dan menunggu.
Di olahraga, orang yang pesimistis tidak pernah menang.
Sekarang berbeda, bayangkan 79 regulasi kita perbaiki dan semua yang berkaitan dengan birokrasi kita perlangsing. Obesitas regulasi kita kurangi, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bisa berusaha tanpa perlu mencari izin, cukup pendaftaran. Warisan kita, 64 juta UMKM, yang informal kita harap jadi formal dan masuk ke sistem keuangan.
Kita maunya kesehatan dan ekonomi tidak berdampak pada sektor keuangan. Sektor keuangan relatif resilien. Secara umum, kondisi ekonomi Indonesia pada 2020 nilainya sekitar 8,5.