Postur APBN 2021 Dinilai Tidak Prioritaskan Kesehatan
Pemerintah menurunkan belanja kesehatan di tengah pelayanan kesehatan primer yang masih babak belur. Padahal, pelayanan kesehatan primer dibutuhkan untuk mendukung program vaksinasi nasional tahun depan.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemulihan ekonomi nasional sulit berjalan tanpa memprioritaskan kebijakan publik, terutama bidang kesehatan. Ketidakberpihakan pemerintah terhadap kesehatan masyarakat tecermin dalam postur anggaran tahun depan.
Dalam APBN 2021, pemerintah mengalokasikan belanja kesehatan Rp 169,7 triliun atau setara dengan 6,2 persen produk domestik bruto (PDB). Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan alokasi belanja tahun 2020 yang sebesar Rp 212,5 triliun.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, Jumat (18/12/2020), mengatakan, pemerintah menurunkan belanja kesehatan di tengah pelayanan kesehatan primer masih babak belur. Padahal, pelayanan kesehatan primer dibutuhkan untuk mendukung program vaksinasi nasional tahun depan.
Ketidakberpihakan pemerintah terhadap kesehatan juga tecermin dalam pengalokasian anggaran. Berbanding terbalik dengan belanja kesehatan, belanja infrastruktur justru meroket dari Rp 281,1 triliun pada 2020 menjadi Rp 414 triliun pada 2021.
”Belanja infrastruktur bukan prioritas dalam penanganan Covid-19. Kesehatan memang dinomorduakan. Tidak ada komitmen dari pemerintah,” ujarnya dalam webinar ”Peluncuran Dokumen Rekomendasi Kebijakan untuk Memperkuat Sektor Kesehatan di Masa Pandemi”, di Jakarta.
Pemerintah menurunkan belanja kesehatan di tengah pelayanan kesehatan primer masih babak belur. Padahal, pelayanan kesehatan primer dibutuhkan untuk mendukung program vaksinasi nasional tahun depan.
Bank Dunia telah memperingatkan perjalanan pemulihan ekonomi Indonesia akan sangat panjang dan penuh tantangan. Pemerintah diminta tetap menempatkan kebijakan publik sebagai prioritas tertinggi. Kebijakan publik ini terkait kesehatan masyarakat serta dukungan bansos bagi penduduk miskin dan rentan.
Indonesia harus tetap memprioritaskan kesehatan masyarakat jika ingin membuka kegiatan ekonomi dan bergerak menuju pemulihan. Kebijakan kesehatan fokus pada perbaikan dalam sistem pengetesan dan pelacakan kontak serta langkah-langkah persiapan untuk pengadaan dan pemberian vaksin (Kompas, 18/12/2020).
Faisal Basri menambahkan, manfaat perlindungan kesehatan juga belum dirasakan semua penduduk. Sekitar 35 persen penduduk Indonesia terpaksa merogoh kocek pribadi untuk pengeluaran kesehatan.
Angka itu jauh lebih tinggi daripada Thailand 11 persen penduduk, Afrika Selatan 7,8 persen, dan Uni Eropa di bawah 20 persen. ”Jadi, Indonesia sudah miskin rakyatnya, harus bayar pengeluaran lebih banyak,” katanya.
Anggaran rendah
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Tim Satgas Pemulihan Ekonomi Nasional Budi Gunadi Sadikin mengatakan, alokasi belanja kesehatan sesuai dengan yang diajukan Kementerian Kesehatan. Belanja kesehatan terkesan lebih rendah atau menurun karena kebutuhan yang diajukan memang sekian.
”Kenapa anggaran kesehatan sedikit? Minta saja yang banyak, tidak akan ditolak,” kata Budi.
Jika belanja kesehatan yang telah dialokasikan kurang, pemerintah masih ada cadangan dari pos Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) senilai Rp 356,5 triliun. Anggaran PC-PEN didesain fleksibel untuk memenuhi kebutuhan tambahan anggaran kesehatan jika diperlukan, termasuk program vaksinasi nasional.
Anggaran PC-PEN didesain fleksibel untuk memenuhi kebutuhan tambahan anggaran kesehatan jika diperlukan, termasuk program vaksinasi nasional.
Budi menambahkan, pemerintah tetap memprioritaskan aspek kesehatan dalam penanganan krisis Covid-19. Selama masalah kesehatan tidak tertangani, maka kondisi ekonomi Indonesia tidak akan membaik. Anggaran ratusan triliun yang telah digelontorkan akan percuma sepanjang Covid-19 tidak tertangani.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambahkan, belanja tidak hanya mengandalkan instrumen APBN, tetapi juga harus didukung APBD. Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam mengalokasikan dan mengeksekusi belanja kesehatannya. Total belanja APBD yang harus dieksekusi pada November-Desember sebesar Rp 402,3 triliun.
Kementerian Keuangan mencatat, realisasi belanja APBD sampai 31 Oktober 2020 baru Rp 678,41 triliun atau 62,77 persen dari pagu. Secara nominal, realisasi belanja APBD tahun ini lebih rendah sekitar Rp 84,9 triliun dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Penurunan belanja dipengaruhi penurunan pendapatan asli daerah.
”Jika digabungkan, total belanja APBN dan APBD yang harus dieksekusi pemerintah pusat dan daerah pada triwulan IV-2020 sebesar Rp 1.201 triliun,” ujarnya.