Penanda Kota Surabaya Teruslah Dipelihara
Februari 2021 Tri Rismaharini mengakhiri jabatannya selaku Wali Kota Surabaya yang diembannya sejak 2010. Selama kepemimpinannya segala kerumitan dan kendala diurai, termasuk mengungkit ekonomi warga.
Februari 2021 mendatang Tri Rismaharini mengakhiri jabatannya selaku Wali Kota Surabaya yang diembannya sejak 2010 silam. Selama memimpin kota dengan penduduk 3,3 juta jiwa, segala kerumitan dan kendala diurai satu demi satu, termasuk membangun 128 jembatan.
Istilah wilayah pinggiran pun dikikis dengan membuka sekat jalur pergerakan dari semua sudut kota seluas 350 kilometer persegi ini. Semua warga pun diposisikan berada di pusat kota di wilayahnya, lengkap dengan segala fasilitas, mulai dari pasar, sekolah, pusat perbelanjaan, hingga tempat bertemu, yaitu di 500 taman.
Seperti diakui Erna Dukut (60), ibu rumah tangga yang tinggal di Gunung Anyar, untuk memenuhi kebutuhannya sebagai pengusaha kue, dia tak perlu belanja ke Surabaya utara, semisal ke Pasar Atom. Begitu juga kalau ingin ngemal, tidak harus berjibaku ke Surabaya pusat karena mal dengan gerai berkelas pun ada di Surabaya timur, sebut saja Galaxi Mal.
Dengan dibukanya Jalan Ir Soekarno atau Jalan Lingkar Dalam Timur Surabaya atau Middle East Ring Road (MERR) sepanjang 10 kilometer, sejak 2010, pergerakan dari timur ke barat atau utara ke selatan nyaris tak ada hambatan. Warga Surabaya pun secara perlahan terbawa arus sesuai arah penataan kota, yakni hanya berkutat di wilayahnya sehingga waktu berbelanja dan bertemu teman atau keluarga bisa lebih lama dan berkualitas.
Begitu diminta geser ke tempat baru, langkah mereka jadi ringan, termasuk penyediaan tempat berjualan seluruh produk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Surabaya Square. Yang saya terapkan selama ini tak sekadar memberi pancing, tetapi juga menyediakan kolam (Tri Rismaharini).
Termasuk sekolah, umumnya mencari sekolah yang dekat dengan rumah sehingga waktu tidak terbuang di jalan. Maka kemacetan di Surabaya bisa diprediksi berapa lama berlangsung, karena untuk kuliner atau ngemal, semisal warga Surabaya tak lagi menuju satu tempat, tetapi berpencar.
Untuk mengurai lalu lintas sekaligus melancarkan mobilitas warga, selama 10 tahun terakhir Pemkot Surabaya benar-benar memproritaskan pembangunan infrastruktur. Tak ayal kini sudah terbangun 128 jembatan baru di berbagai titik dan jalur pedestrian sepanjang 101.193 meter.
Baca juga : Surabaya di Tangan Risma, Terlalu Indah untuk Dikenang
Bukan hanya jembatan, melainkan juga saluran air, trotoar, dan jalan. Pemasangan box culvert demi mengantisipasi genangan air di musim hujan pun terus dilakukan, termasuk penambahan ruang terbuka hijau yang kini menjadi 500 taman lebih.
Bangun infrastruktur
Kepala Dinas PU Bina Marga dan Pematusan Erna Purnawati mengungkapkan, sejak awal kepemimpinan Risma, pada 2010, langsung tancap gas membangun infrastruktur diawali dengan saluran drainase yang di atasnya dibangun jalan. Panjang saluran hingga saat ini sudah mencapai 232.884 meter.
Secara bersamaan, jalan dibuka, jembatan dibangun, termasuk pembangunan frontage road Ahmad Yani sisi barat, dari Waru hingga Wonokromo. ”Lahan yang dibebaskan untuk membangun semua infrastruktur itu 2.665 persil dengan luas 419.942 meter persegi dan total nominalnya Rp 1,9 triliun lebih,” kata Erna.
Pemasangan box culvert untuk mengantisipasi banjir juga dibarengi dengan penambahan bozem atau waduk mini. Kini di Surabaya terdapat 75 bozem dengan luas 1.446.925 meter persegi dan kapasitas volume 6.008.139 meter kubik.
Demi mengendalikan air di Surabaya supaya tidak ada genangan, Erna memastikan bahwa Risma juga sudah membangun 59 rumah pompa dan menyiapkan 111 genset sebagai antisipasi listrik padam. Bahkan, sejak awal kepemimpinannya, kapasitas pompa yang kurang maksimal banyak diganti.
Hampir semua pompa ditambah kapasitasnya 5 meter kubik sehingga sangat cepat menyedot air. Bahkan, ada pompa air yang bisa diatur debitnya sesuai kondisi.
Beberapa jembatan bahkan didesain khusus dan menjadi ikon Surabaya, seperti Jembatan Suroboyo, Jembatan Ujung Galuh, dan Jembatan Joyoboyo, yang ditargetkan selesai tahun ini. Dari Jembatan Suroboyo di Kenjeran, selain menjadi tempat rekreasi dan olahraga, juga bisa memandang birunya lautan bebas hingga Jembatan Suramadu. Di samping jembatan juga ada air mancur warna-warni yang hanya dihidupkan setiap Sabtu malam selama dua jam.
Baca juga : Surabaya Tak Akan Lagi Sama
Bisa menikmati keindahan Surabaya juga kelak bisa dari Jembatan, yang ditargetkan awal 2021 selesai dan sudah beroperasi. Jembatan Joyoboyo yang berdampingan dengan rumah pompa Jagir itu akan menambah penanda kota yang memesona.
Erna menjelaskan progres pembangunan Jembatan Joyoboyo. Saat ini sedang mengerjakan pemasangan kabel sling, railing kaca, mechanical electric lampu penerangan jalan umum, lampu sorot, dan nozzle air mancur.
Menurut dia, Jembatan Joyoboyo yang terus dikebut pembangunannya itu memiliki panjang 150 meter dengan lebar 17 meter dan tinggi pilon 20 meter. Sementara struktur jembatannya berasal dari beton bertulang dan voided slab. ”Di area jembatan dilengkapi taman dan air mancur warna-warni sehingga ada tempat di tengah jembatan untuk menikmati suasana Surabaya,” ujarnya.
Jembatan ini nantinya sekaligus membantu kelancaran jalan keluar-masuk Kota Surabaya karena menghubungkan frontage road sisi Barat Jalan Ahmad Yani melalui Jalan Pulo Tegalsari ke Jalan Joyoboyo.
Baca juga : Mereka Kini Pegang Kemudi Ekonomi Keluarga
Menurut dosen statistik di Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, Kresnayana Yahya, pembangunan infrastruktur selalu bermuara pada kegiatan ekonomi warga, untuk meningkatkan kesejahteraan. ”Hampir semua fasilitas yang dibangun Pemerintah Kota Surabaya sebagai penanda kota menjadi pengungkit ekonomi warga kota,” katanya.
Alasan jalan dibuka, jembatan dibangun, dan jalur pedestrian terus dibenahi adalah agar masyarakat merasakan kenyamanan tinggal di kota ini. Buah dari kenyamanan itu memunculkan ide kreatif untuk menggerakkan ekonomi, melakukan aksi sosial, sekaligus mengundang banyak orang datang ke kota ini.
Seperti diungkap Risma, mengubah wajah kota dari kusam menjadi berseri-seri seperti sekarang dan nyaris tanpa menghilangkan bangunan lama memang tak mudah. Kuncinya ada pada warga. Jika warga selalu dilibatkan, dirangkul untuk menata lingkungannya mulai dari rumah, tempat kerja, tempat ibadah, dan tempat usaha, semua mimpi untuk membangun kota ini akan menjadi gampang.
Hampir semua fasilitas yang dibangun Pemerintah Kota Surabaya sebagai penanda kota menjadi pengungkit ekonomi warganya (Kresnayana Yahya).
Apalagi, setiap pembangunan sekecil apa pun, semisal menata trotoar agar menjadi hak sepenuhnya pejalan kaki, awalnya harus mendekati pedagang kaki lima. Secara bertahap diterapkan dulu jam beroperasi PKL di semua ruang publik, terutama jalur pedestrian dan pinggir jalan.
Kiat Risma melakukan perubahan tanpa mengganggu warga itu diakui dosen Universitas Ciputra, Surabaya, Freddy H Istanto. ”Arek Suroboyo sangat menerima perbedaan dalam segala hal. Mereka senang cangkrukan, gotong royong, peka terhadap permasalahan warga, dan guyub dana selalu mau terlibat.
Keterbukaan itu juga menjadi modal bagi Pemkot Surabaya untuk mempersiapkan tempat berjualan PKL tak jauh dari wilayah itu. Maka, tak heran jika Surabaya kini memiliki pusat kuliner di 50 lokasi, termasuk enam pusat oleh-oleh Surabaya Square.
”Begitu diminta geser ke tempat baru, langkah mereka jadi ringan, termasuk penyediaan tempat berjualan seluruh produk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Surabaya Square. Yang saya jalani selama ini ibaratnya tak sekadar memberi pancing, tetapi juga menyediakan kolam,” ujar mantan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya ini.
Presiden Asosiasi Pemerintah Daerah (UCLG) Asia Pacific ini pun dijuluki wali kota gila taman. Sebab, sejak menjabat Kepala DKP Kota Surabaya 2005, Risma gigih menata sekaligus menghijaukan kota ini. Maka, sekarang sudah ada 500 taman ditambah Hutan Raya Mangrove Wonorejo dan Gununganyar, Medokanayu, serta Rungkut.
”Selain berfungsi sebagai penghasil oksigen dan penyerap karbon dioksida, pohon juga menambah suasana kota menjadi lebih sejuk dan asri,” begitu kata Risma.
Seperti diungkap Emile Leushuis, pengamat kampung di tujuh kota besar Indonesia kata Freddy bahwa kampung yang terbaik adalah Surabaya. Sebagai permukiman khas sejak jaman dulu, Kampung Surabaya juga menghadirkan catatan arsitektural yang menarik. Kini hampir semua wilayah di Surabaya menjadi pusat kota dengan bertambahnya penanda kota, maka tak ada lagi istilah pinggiran.
Semua wilayah kini muncul sebagai kota-kota kecil yang dilengkapi dengan infrastruktur yang melenggangkan mobilitas warganya. Untuk itu apa yang sudah ada, hendaknya tak diutak-atik apalagi dilenyapkan. Entah ada keadaan darurat, bahkan perang sekalipun, semua penanda kota yang menjadi sumber kehidupan bagi warganya terus dipelihara.
Dan, paling krusial lagi adalah kelak jangan sampai semua warisan itu hanya tinggal nama. Apalagi, perubahan yang luar biasa di kota ini nyaris tak mengusik, tetapi justru menambah elok kawasan bangunan lama yang sudah melegenda.