Asosiasi produsen dan pengguna melaporkan menipisnya stok bahan baku dan gula rafinasi. Kelangkaan gula rafinasi bisa berimbas ke industri makanan minuman. Namun, pemerintah perlu hati-hati menyelesaikan problem ini.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Pekan lalu, asosiasi produsen dan pengguna gula rafinasi melaporkan kegentingan stok, baik gula mentah (raw sugar) maupun hasil olahannya, yang disebut hanya cukup sampai Januari 2021. Izin impor belum terbit, sementara proses impor bakal membutuhkan waktu lebih panjang karena lokasi sumbernya lebih jauh dari Indonesia dari sisi jarak.
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), pengguna gula rafinasi, mengkhawatirkan situasi itu sebab gula adalah bahan baku penting di industri makanan minuman. Kelangkaan gula bakal mengganggu produksi.
Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia menyebutkan, stok yang tersisa di 11 pabrik anggotanya 360.000 ton, sementara rata-rata kebutuhan industri makanan dan minuman nasional mencapai 250.000 per bulan. Namun, kebutuhan bulan ini berpotensi lebih tinggi karena kecenderungan naiknya permintaan menjelang Natal dan Tahun Baru.
Sayangnya, tak hanya soal izin impor yang belum terbit, proses importasi akan membutuhkan waktu lebih lama. Sebab, Thailand yang selama ini menjadi pemasok utama gula mentah ke Indonesia mengalami gangguan panen. Dampaknya, bahan baku gula rafinasi mesti diimpor dari tempat yang lebih jauh, seperti Brasil. Jika dari Thailand importasi memakan waktu 2-3 pekan, impor dari Brasil membutuhkan waktu dua bulan untuk sampai di Indonesia.
Jika segenap situasi itu benar adanya, keterbatasan stok gula rafinasi bisa berdampak serius ke industri makanan minuman, sektor yang berkontribusi 21,38 persen terhadap total ekspor nasional sepanjang Januari-September 2020. Industri makanan minuman juga menyumbang 39,51 persen terhadap produk domestik bruto sektor pengolahan nonmigas pada triwulan III-2020.
Kekhawatiran produsen gula rafinasi soal pasokan bahan baku sejalan dengan laporan Organisasi Pertanian dan Pangan (FAO). Indeks harga gula FAO pada November 2020, rata-rata 87,5 poin atau naik 2,8 poin (3,3 persen) dibandingkan dengan Oktober 2020. Kenaikan itu terutama ditopang oleh data baru yang lebih kuat tentang potensi penurunan produksi gula global pada musim 2020/2021.
Proyeksi itu disebabkan oleh prospek panen yang lebih lemah di Uni Eropa, Thailand, dan Rusia karena kondisi cuaca yang tidak mendukung dan berdampak negatif terhadap hasil panen. Harga gula juga bakal terpengaruh oleh kerusakan tanaman tebu akibat badai dan infrastruktur di Nikaragua, Honduras, dan Guatemala.
Akan tetapi, data Badan Pusat Statistik menunjukkan, impor gula mentah sepanjang Januari-Oktober 2020 justru telah mencapai 4,97 juta ton, tertinggi dalam lima tahun terakhir. Impor gula mentah sepanjang 2019, misalnya, ”hanya” 3,96 juta ton, sementara tahun 2018 tercatat 4,92 juta ton, 4,37 juta ton (2017), dan 4,59 juta ton (2016). Artinya, ada faktor pemicu yang mesti dicek lebih detail sebab kelangkaan justru terjadi di tengah peningkatan impornya.
Bagi Indonesia, kenaikan harga gula di pasar dunia dan gangguan produksi di Thailand bakal berdampak, terutama karena mayoritas gula diimpor dari Thailand. Volumenya mencapai 86,5 persen pada 2019 dan 80,3 persen tahun 2018. Situasi akan lebih sulit jika antisipasi pemerintah terlambat lagi. Sebagaimana situasi yang terjadi akhir tahun lalu, keterlambatan antisipasi membuat harga gula konsumsi melonjak di tingkat konsumen.
Dengan alasan mengatasi kelangkaan dan menstabilkan harga, pemerintah bahkan melanggar aturannya sendiri, yakni dengan mengalokasikan 250.000 ton gula rafinasi untuk diolah menjadi gula konsumsi dan digelontorkan ke pasar mulai 29 April 2020. Gula rafinasi semestinya hanya untuk industri. Langkah ”pemadaman” ini manjur. Harga gula konsumsi yang sempat melonjak hingga Rp 18.000 per kilogram berangsur turun ke level Rp 14.000 per kg.
Akan tetapi, tanpa ”obat” yang tepat, ”penyakit” bakal kambuh lagi.
Ketergantungan Indonesia pada gula impor jelas mengindikasikan seriusnya masalah yang dihadapi industri gula berbasis tebu serta kebijakan pergulaan di Tanah Air. Di hulu, luas panen, produktivitas, dan produksi tebu nasional cenderung turun. Sementara di hilir, pabrik-pabrik gula makin kesulitan mendapatkan tebu, bahkan berhenti giling lebih awal karena kesulitan bahan baku.
Asosiasi Gula Indonesia menyebutkan, produksi gula nasional pada 2016 sekitar 2,2 juta ton, lalu turun jadi sekitar 2,07 juta ton tahun 2020. Luas areal kebun tebu juga berkurang dari 440.732 hektar jadi 425.380 hektar selama kurun itu. Sejumlah pelaku usaha, pemerhati, dan akademisi berharap langkah pemerintah mengatasi masalah gula tidak setengah hati. Pembenahan tidak bisa sektoral di level kementerian. Problem yang membelit pelaku di hulu dan hilir membutuhkan solusi yang terintegrasi. Bukan langkah sepotong-sepotong lagi.