Indonesia Masih Butuh Investor Asing di Hulu Migas
Industri hulu migas adalah industri yang berisiko tinggi, padat modal, dan padat teknologi. Dukungan investor, baik asing maupun domestik, sangat dibutuhkan bagi Indonesia. Diperlukan iklim investasi yang kondusif.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia masih membutuhkan investasi asing di sektor hulu minyak dan gas bumi. Pandemi Covid-19 menyebabkan investasi di sektor tersebut di Indonesia terus menurun. Kestabilan hukum, kepastian berusaha, dan kemudahan perizinan menjadi syarat agar Indonesia menarik di mata investor.
Demikian yang mengemuka dalam webinar bertajuk ”Peran Hulu Migas Menggerakkan Ekonomi Daerah”, Sabtu (19/12/2020). Ketua Komisi VII DPR dari Partai Nasdem Sugeng Suparwoto, Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Julius Wiratno, dan Senior Vice President Production ExxonMobil Cepu Ltd hadir sebagai narasumber dalam webinar tersebut.
Mengacu data SKK Migas, nilai investasi hulu migas di Indonesia terus menurun lima tahun terakhir. Nilai investasi pada tahun 2015 mencapai 15,3 miliar dollar AS, lalu turun menjadi 10,3 miliar dollar AS tahun 2017, kemudian perlahan naik hingga menjadi 11,8 miliar dollar AS tahun 2019. Tahun ini, nilai investasi hulu migas diperkirakan hanya 10,8 miliar dollar AS.
Menurut Sugeng, pertumbuhan ekonomi suatu negara turut ditopang oleh investasi, baik investasi dalam negeri maupun investasi asing (foreign direct investment/FDI). Tak bisa dibayangkan apabila investasi asing yang sudah masuk kemudian hengkang meninggalkan Indonesia. Oleh karena itu, katanya, kepastian hukum, kepastian berusaha, serta kemudahan perizinan menjadi sangat penting.
Secara perlahan naik hingga menjadi 11,8 miliar dollar AS pada 2019. Tahun ini, diperkirakan nilai investasi hulu migas hanya 10,8 miliar dollar AS.
”Aspek-aspek tersebut masuk dalam hal pemeringkatan investasi suatu negara. Jadi, hal-hal itu yang harus dibuat stabil atau pasti. Tak bisa dibayangkan kalau investasi asing itu pergi dari Indonesia,” kata Sugeng.
Ia mencontohkan pengaruh investasi asing pada peningkatan cadangan migas Indonesia. Blok Cepu, yang wilayah operasinya mencakup Kabupaten Cepu di Jawa Tengah dan Kabupaten Bojonegoro di Jawa Timur, mulanya dikelola sejumlah operator dan belum berhasil menemukan cadangan besar. Namun, sejak Exxon masuk berpartisipasi, ditemukan cadangan yang sampai saat ini berkontribusi 30 persen terhadap produksi minyak Indonesia.
Berdasarkan catatan SKK Migas, menurut Julius, dari setiap investasi hulu migas senilai 1 juta dollar AS, tenaga kerja yang terserap lebih dari 100 orang dengan peningkatan nilai tambah sebanyak 1,6 juta dollar AS. Adapun investasi sebanyak itu berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) senilai 700.000 dollar AS.
”Saat ini memang sedang gencar transisi energi dari fosil ke sumber energi terbarukan. Namun, migas tetap berperan vital terhadap ketahanan energi di Indonesia. Di masa mendatang, kebutuhan migas Indonesia justru tumbuh seiring dengan naiknya konsumsi energi,” katanya.
Mengutip data dari Wood Mackenzie dan IHS Markit, dari 0 sampai 5, skala Indonesia untuk daya tarik fiskal hulu migas sebesar 2,4 atau di bawah rata-rata dunia yang sebesar 3,3.
Adapun peran industri migas bagi daerah, imbuh Julius, berupa alokasi dana bagi hasil (DBH) dari APBN dan saham partisipasi (participating interest/PI) daerah sebesar 10 persen. Kontribusi lain adalah dalam bentuk pajak dan retribusi daerah, penyediaan barang dan jasa oleh kontraktor lokal, dan tanggung jawab sosial perusahaan. Dampak lain berupa pasokan energi untuk daerah.
Sebelumnya, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mengungkapkan, Indonesia perlu memperbaiki iklim investasinya untuk menarik minat investor. Mengutip data dari Wood Mackenzie dan IHS Markit, dari 0 sampai 5, skala Indonesia untuk daya tarik fiskal hulu migas sebesar 2,4 atau di bawah rata-rata dunia yang sebesar 3,3. Padahal, di satu sisi, potensi migas Indonesia masih menarik untuk dikembangkan.
”Perbaikan iklim investasi dan kemudahan berusaha di sektor hulu migas harus terus-menerus diperbaiki secara kesinambungan. Beberapa hal yang harus dilakukan adalah penyederhanaan birokrasi, kontrak bagi hasil yang fleksibel, insentif fiskal dan nonfiskal, serta perbaikan data migas,” kata Pelaksana Tugas Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Pande Putu Oka Kusumawardani.
Kusumawardani menambahkan, industri hulu migas masih sangat penting bagi Pemerintah Indonesia. Sektor tersebut telah menyumbang penerimaan bagi negara sebesar Rp 180 triliun pada tahun 2019. Selain itu, kontribusi sektor migas terhadap produk domestik bruto pada tahun yang sama sebesar Rp 773 triliun atau 4,9 persen.