Senja di Ladang Minyak Nusantara
Kemampuan produksi minyak Indonesia kian menurun di tengah naiknya konsumsi. Harus ada terobosan agar Indonesia tak bergantung pada impor komoditas strategis ini. Perbaikan radikal hulu migas mutlak diperlukan.
Dulu, Indonesia pernah tercatat sebagai salah satu anggota negara-negara pengeskpor minyak atau OPEC. Produksi minyak mentahnya pernah 1,2 juta barel per hari dan sempat tercatat sebagai negara pengekspor gas alam terbesar di dunia. Kini, Indonesia berubah menjadi negara pengimpor bersih atau net importer minyak sejak 2004.
Perlahan, kisah kejayaan tersebut meredup. Per 5 Desember 2020, produksi minyak Indonesia hanya 681.867 barel per hari, seperti yang tercantum dalam laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Adapun produksi gas bumi sebanyak 6,3 miliar standar kaki kubik per hari. Produksi minyak dan gas bumi tersebut masing-masing masih di bawah target APBN 2020.
Apa yang membuat produksi minyak Indonesia menurun? Pemerintah dan pakar sama-sama satu suara: masa puncak produksi lapangan minyak di Indonesia sebagian besar sudah lewat. Pasalnya, usia sumur-sumur yang ada sudah tua mencapai puluhan tahun. Bahkan, ada yang sudah dikuras sejak lebih dari 50 tahun lalu.
Selain itu, tentu saja, belum ada penemuan cadangan baru berskala besar setelah penemuan Blok Cepu di era 2000-an. Versi pemerintah, sebuah penemuan cadangan baru disebut berskala besar apabila terdapat sebanyak 500 juta barel setara minyak. Tentu ada sebab kenapa tak ada cadangan baru lagi yang bisa ditemukan. Apa karena tak ada usaha eksplorasi? Atau, ada niat, tetapi tak kunjung terealisasi lantaran terganjal aturan sana-sini?
Tanpa ditemukannya cadangan baru, minyak tersebut akan habis dikuras kurang dari 10 tahun dan gas kurang dari 18 tahun.
Baca Juga: Pembenahan di Hulu Migas Mutlak Dilakukan
Data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan, sampai saat ini terdapat sekitar 1.000 lapangan minyak dan gas di seluruh wilayah Indonesia. Adapun total sumurnya lebih dari 30.000 sumur. Puluhan ribu sumur tersebut tersebar ke dalam 193 wilayah kerja.
Ironi
Status cadangan minyak sampai 1 Januari 2020 adalah 4,17 miliar barel dan gas bumi 62,4 triliun kaki kubik. Tanpa ditemukannya cadangan baru, minyak tersebut akan habis dikuras kurang dari 10 tahun dan gas kurang dari 18 tahun. Meski dalam satuan miliar dan triliun, cadangan minyak Indonesia hanya 0,2 persen dari total cadangan minyak dunia, sedangkan cadangan gas bumi hanya 1,5 persen dari cadangan dunia.
Lalu, apa pengaruh dari angka-angka tersebut di atas terhadap rantai pasok energi di Indonesia?
Mari simak data berikut. Pada 2019, dari total konsumsi energi di Indonesia sebanyak 525,5 juta barel setara minyak (MBOE), porsi minyak sebanyak 33,58 persen yang setara 173,4 MBOE atau di peringkat kedua setelah batubara yang sebanyak 37,15 persen. Pada 2025, kendati peran minyak dikurangi, ditargetkan berkurang menjadi 25 persen seperti yang tertuang dalam dokumen Kebijakan Energi Nasional, secara volume justru meningkat.
Pada 2025, konsumsi energi di Indonesia diperkirakan sebanyak 710,9 MBOE. Dengan demikian, porsi minyak bakal mencapai 177,7 MBOE. Volumenya kian besar pada 2050. Meski peran minyak lagi-lagi diturunkan menjadi 20 persen, konsumsi energi di tahun tersebut diperkirakan 1.423,8 MBOE. Artinya, volume minyak yang dibutuhkan akan mencapai 284,7 MBOE.
Jelas bahwa Indonesia memerlukan tambahan pasokan minyak di masa mendatang. Peningkatan tersebut alamiah seiring bertambahnya jumlah penduduk dan faktor pertumbuhan ekonomi. Tak hanya minyak, gas bumi dan batubara pun secara volume bakal bertambah.
Di sinilah letak ironinya Kebijakan Energi Nasional. Mengacu dokumen itu, peran sumber energi fosil, khususnya minyak dan batubara, terus dikurangi. Hal ini untuk mendorong pemanfaatan sumber energi terbarukan di Indonesia. Ini adalah konsekuensi dari Perjanjian Paris 2015 yang turut ditandatangani Indonesia.
Sumber energi terbarukan akan dinaikkan perannya dalam bauran energi nasional menjadi 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050. Sebaliknya, peran minyak diturunkan dari 25 persen pada 2025 menjadi 20 persen pada 2050. Sementara peran batubara diturunkan dari 30 persen pada 2025 menjadi 25 persen pada 2050. Kendati secara persentase turun, Indonesia justru membutuhkan lebih banyak batubara dan minyak di masa mendatang karena total konsumsi energi nasional semakin besar.
Jelas bahwa Indonesia memerlukan tambahan pasokan minyak di masa mendatang. Peningkatan tersebut alamiah seiring bertambahnya jumlah penduduk dan faktor pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Serapan Gas Menjadi Masalah
Eksplorasi
Lalu, dari mana Indonesia akan memenuhi kekurangan minyak tersebut? Sampai hari ini, Indonesia masih bergantung pada impor untuk minyak. Dari konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang sebanyak 1,5 juta barel per hari, kemampuan dalam negeri rata-rata hanya 745.000 barel per hari. Sisanya dari impor, baik itu berupa minyak mentah atau impor BBM.
Berdalih dengan masih besarnya potensi migas di Indonesia, pemerintah memasang target ambisius, yaitu produksi minyak 1 juta barel per hari dan gas bumi 12 miliar kaki kubik per hari pada 2030. Menurut pemerintah, masih ada 68 cekungan sedimen di Indonesia yang sama sekali belum diteliti. Ada kemungkinan cekungan tersebut mengandung migas atau sebaliknya.
Total di Indonesia ada 128 cekungan. Di luar 68 cekungan yang sama sekali belum diteliti, 20 cekungan sudah berproduksi, 27 cekungan dibor dengan penemuan, dan 13 cekungan dibor tanpa penemuan. Ke-68 cekungan yang belum diteliti itu sebagian besar terletak di bagian timur Indonesia, yaitu di laut lepas dan dalam.
Pertanyaannya, apakah mungkin target produksi 2030 bisa dicapai? Ada nada sinis, ada pula nada optimistis. Namun, target 1 juta barel per hari bukan hal baru. Pada 2012, di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2012 untuk mendorong tercapainya produksi minyak sebesar 1,01 juta barel per hari pada 2014. Faktanya, produksi minyak Indonesia pada 2014 sebanyak 795.000 barel per hari.
Baca Juga: Investasi Hulu Migas Berpotensi Lesu
Namun, selain dengan eksplorasi besar-besaran, minyak takkan keluar dengan sendirinya dari perut bumi. Jadi, eksplorasi adalah kunci. Catatan lainnya, pemerintah mesti memperbaik tata kelola hulu migas di dalam negeri. Bisnis hulu migas yang sarat dengan modal dan teknologi tinggi membutuhkan sokongan investor karena pendanaan negara ataupun BUMN, dalam hal ini adalah PT Pertamina (Persero), sangat terbatas.
Investor akan berbondong-bondong masuk ke Indonesia apabila Indonesia memang benar-benar menarik untuk penanaman modal. Sayangnya, mengutip data dari Wood Mackenzie dan IHS Markit, dari 0 sampai 5, skala Indonesia untuk daya tarik fiskal hulu migas sebesar 2,4 atau di bawah rata-rata dunia yang sebesar 3,3.
Selain itu, iklim hulu migas Indonesia terlanjur dikenal serba tak pasti. Kontrak bagi hasil yang berubah-ubah dari biaya operasi yang dapat dipulihkan (cost recovery) menjadi wajib memakai bagi hasil berdasar produksi bruto (gross split) sejak 2017. Lantaran pergantian jabatan Menteri ESDM, kewajiban gross split ditiadakan dan kontraktor diberi kebebasan memilih cost recovery atau gross split.
Mengutip data dari Wood Mackenzie dan IHS Markit, dari 0 sampai 5, skala Indonesia untuk daya tarik fiskal hulu migas sebesar 2,4 atau di bawah rata-rata dunia yang sebesar 3,3.
Baca Juga: Perubahan Radikal
Tak hanya itu, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang membahas klaster ESDM, termasuk UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, disebutkan, kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dilaksanakan didasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Tak ada kejelasan bagaimana nasib kontrak cost recovery dan gross split yang sudah berjalan. Semua ini terjadi di tengah revisi UU No 22/2001 yang tak jelas juntrungannya kapan selesai.
Jelas bahwa untuk memperbaiki tata kelola hulu migas Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang kuat, tegas, dan konsisten. Tinggal niat pemimpinnya saja mau dibawa ke mana nasib migas Indonesia.