Perkebunan Kopi yang Berwawasan Lingkungan Makin Diminati
Model pertanian dan bisnis kopi yang berkelanjutan dinilai relavan untuk dilakukan saat ini, yakni memastikan hulu rantai bisnis kopi memperhatikan konservasi alam dan kesejahteraan petani.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah tren kenaikan konsumsi kopi, produktivitas perkebunan kopi di Indonesia kian terancam perubahan iklim serta praktik pertanian dan bisnis yang tidak berkelanjutan. Untuk menghadapi ancaman tersebut, sejumlah pihak perlu bekerja sama untuk mengubah situasi.
Irvan Helmi, Chairman of Executive Board Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI), menyebutkan, sepuluh tahun terakhir produksi kopi dalam negeri hampir tidak ada kenaikan signifikan. Pada saat yang sama, permintaan kopi naik dua kali lipat.
”Kita bisa lihat bahwa tren kopi tinggi di semua segmen, mulai dari penjual kopi keliling sampai kedai kopi mewah,” kata Irvan dalam webinar bertajuk ”Kopi Konservasi untuk Menjaga Keberlanjutan Air dan Mensejahterahkan Petani”, Jumat (18/12/2020).
Di tengah konsumsi yang meningkat, perkebunan kopi di Indonesia tidak lepas dari ancaman perubahan iklim. Irvan mengatakan, dalam 30 tahun ke depan, kopi akan menjadi komoditas langka jika krisis iklim tidak cepat dikendalikan.
”Kopi arabika, misalnya, yang cocok di dataran bersuhu dingin karena ada kenaikan suhu akan berubah rasanya. Perubahan iklim juga akan menambah hama yang mengancam produktivitas pertanian,” imbuhnya.
Oleh karena itu, menjalankan pertanian dan bisnis kopi yang berkelanjutan dinilai relavan untuk dilakukan saat ini. Metode berkelanjutan ini, antara lain, memastikan hulu rantai bisnis kopi memperhatikan konservasi alam dan kesejahteraan petani. Hal ini sebagaimana telah disepakati pemerintah di banyak negara, termasuk Indonesia, melalui Deklarasi London.
Komitmen itu pun sudah dijalankan swasta, seperti Danone-Aqua melalui kegiatan tanggung jawab sosial berupa budidaya kopi. Agriculture and Economic Development Manager Danone Indonesia Budi Rahardjo menjelaskan, mereka bersama Yayasan Nirudaya, sebuah organisasi nirlaba, mengembangkan program Kopi Tirto.
Program budidaya dijalankan dengan kaidah konservasi di daerah tangkapan air dengan ketinggian 400-1.400 di atas permukaan laut. Salah satu metode yang dipakai untuk mendayagunakan daerah tangkapan air di sekitar perkebunan kopi adalah dengan membuat ”rorak” atau saluran buntu untuk menahan air saat hujan serta biopori untuk membantu peresapan tanah.
Peningkatan kemampuan kawasan perkebunan dalam menampung air tersebut kemudian dimanfaatkan bersama oleh perusahaan dan masyarakat, baik untuk pertanian maupun konsumsi.
”Inisiatif Danone-Aqua bersama Nirudaya ini adalah untuk bersama menjaga kualitas dan kuantitas air serta keberlanjutan lingkungan. Untuk itu, dibutuhkan pemahaman dari para mitra petani melalui berbagai pembekalan untuk dapat menerapkan sistem pertanian kopi yang ramah lingkungan,” ujarnya.
Program yang melibatkan lebih dari 120 petani ini tersebar di empat wilayah, yakni Jempanang Badung (Bali), Wonosobo (Jawa Tengah), Pandaan (Jawa Timur), dan Tanggamus (Bandar Lampung).
Selain menggalakkan konservasi lingkungan, kesejahteraan petani kopi juga dibantu dengan pelatihan pengolahan kopi hingga pengelolaan kawasan perkebunan untuk menghasilkan nilai ekonomi tambahan.
I Ketut Kartika Yasa, petani kopi asal Badung, Bali, yang turut hadir dalam kesempatan itu, mengungkapkan manfaat yang telah dirasakan sejak mendapatkan pelatihan tentang budidaya kopi konservasi.
”Sejak mengikuti program ini tahun 2019, petani kopi di Badung mulai merasakan manfaat dari segi peningkatan penghasilan. Kami tidak khawatir lagi dengan kekeringan karena tanaman kopi itu juga mampu menyerap atau menampung debit-debit air hujan yang akan mengalir ke sungai-sungai,” ujarnya.
Yasa juga berharap, kopi yang dibudidaya melalui program kopi konservasi ini bisa mendapatkan kualitas kopi yang terbaik.
Di sisi lain, masyarakat di wilayah tempat perkebunan kopi Yasa pun kini telah mendapatkan lapangan pekerjaan dan pemasukan tambahan setelah mereka membuka Ekowisata Jempanang D’Alas di Desa Plaga.