Penguatan Diplomasi Atasi Hambatan dan Diskriminasi Sawit
Indonesia dinilai perlu mengefektifkan diplomasi bilateral ke negara konsumen sawit di Eropa. Hal ini untuk mengatasi hambatan dan diskriminasi sawit Indonesia oleh Uni Eropa.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelapa sawit dan produk turunannya dari Indonesia selama ini menghadapi banyak hambatan dan diskriminasi dari Uni Eropa. Penguatan diplomasi, baik bilateral maupun akademik, dinilai penting untuk mengurangi hambatan ekspor komoditas tersebut.
Terkait diskriminasi Uni Eropa terhadap sawit Indonesia, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bustanul Arifin, Kamis (17/12/2020), menyatakan, Uni Eropa menggolongkan minyak kelapa sawit mentah sebagai bahan bakar nabati yang berisiko tinggi terhadap alih fungsi lahan secara tidak langsung dalam dokumen Arahan Energi Terbarukan (RED) II dan Delegated Regulation.
Bahan baku bahan bakar nabati yang memiliki risiko perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung (indirect land use change/ ILUC) tinggi serta meningkatkan emisi gas rumah kaca dilarang masuk Uni Eropa.
”Di sisi lain, Uni Eropa boleh mengimpor minyak nabati yang bersumber dari komoditas ILUC tinggi, tetapi tidak dihitung sebagai bagian dari target sumber energi terbarukan yang disepakati 32 persen pada 2030,” kata Bustanul pada diskusi publik virtual bertajuk ”Masa Depan Sawit Indonesia di Pasar Uni Eropa Pasca Covid-19”, Kamis (17/12/2020).
Bustanul menambahkan, kelapa sawit Indonesia dilarang masuk ke Uni Eropa karena dianggap menjadi sumber deforestasi 5 juta hektar hutan pada periode 2008-2016. Uni Eropa menetapkan ketentuan ILUC tinggi meskipun Indonesia telah berusaha memberikan klarifikasi terkait isu deforestasi ini.
Pada 2019, Uni Eropa memutuskan RED II tersebut mengikat semua negara anggotanya. ”Jadi, pilihan bagi Indonesia, ya, diplomasi bilateral. Meski melelahkan, Indonesia harus mendatangi dan mengefektifkan diplomasi bilateral dengan (negara seperti) Spanyol, Perancis, dan Swiss,” ujarnya.
Menurut Bustanul, selain diplomasi bilateral, dibutuhkan pula diplomasi akademik melalui kerja sama penelitian dan publikasi ilmiah internasional bereputasi. Diplomasi seperti ini dinilai penting untuk meningkatkan kredibilitas kebijakan.
Kepala Subdirektorat Produk Agro, Direktorat Pengamanan Perdagangan, Kementerian Perdagangan, Donny Tamtama menyatakan, diplomasi merupakan salah satu upaya pemerintah mengamankan akses pasar minyak kelapa sawit. ”Kami sudah melakukan diplomasi bersama Kementerian Luar Negeri serta kementerian dan lembaga lain, misalnya, melalui pertemuan dengan otoritas Uni Eropa dan joint letter dengan negara-negara produsen kelapa sawit,” katanya.
Kementerian Perdagangan mencatat, total nilai ekspor Indonesia ke dunia untuk kelapa sawit dan produk turunannya periode Januari-Oktober 2020 mencapai 15,95 miliar dollar AS. Nilai ekspor ini naik 6,9 persen dibandingkan dengan periode sama tahun 2019 yang 14,92 miliar dollar AS.
Nilai ekspor minyak sawit dan turunannya dari Indonesia ke Uni Eropa pada Januari-Oktober 2020 tercatat 2,48 miliar dollar AS atau naik 4,93 persen dibandingkan dengan periode sama tahun 2019 yang 2,37 miliar dollar AS.
Peningkatan ekspor ke Uni Eropa didukung nilai ekspor tandan kosong dan cangkang sawit yang naik 121 persen secara tahunan dan kernel sawit yang naik 85,53 persen secara tahunan. Sementara ekspor biodiesel turun 96,81 persen secara tahunan, yakni dari 287 juta dollar AS pada 2019 menjadi 9,14 juta dollar AS pada 2020.
Menurut Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan, hambatan perdagangan merupakan salah satu tantangan dalam pengembangan bahan bakar nabati. Hambatan perdagangan, termasuk RED II Uni Eropa, dapat menghambat pula perkembangan teknologi bahan bakar nabati.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud mengatakan, Indonesia akan mengedepankan beberapa hal utama pada ASEAN-EU Joint Working Group.
”Kami mendorong ada kajian lebih lanjut mengenai kontribusi vegetable oil (minyak nabati) terhadap keberlanjutan. Kami tidak hanya bicara kelapa sawit, tetapi semua minyak nabati, baik yang ada di Eropa, Amerika, maupun lainnya,” kata Musdhalifah.
Indonesia akan mengedepankan peran masing-masing minyak nabati terhadap pencapaian 17 target SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan). ”Kami mengajak melihat persoalan secara menyeluruh. Bukan hanya aspek lingkungan, melainkan juga sosial, ekonomi, dan keberlanjutan,” ujarnya. (CAS)