Menteri Luhut: Pemanfaatan Potensi Maritim Masih Lemah
Potensi ekonomi kelautan Indonesia perlu digarap optimal untuk mencapai target besar poros maritim dunia pada 2045. Untuk itu, seluruh sektor perlu dibenahi.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekayaan potensi maritim Indonesia masih belum optimal dimanfaatkan. Indonesia menghadapi banyak tantangan untuk mewujudkan poros maritim dunia pada 2045.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan, Indonesia kaya potensi di bidang maritim, tetapi pemanfaatannya masih lemah. Potensi yang besar, jika tidak dikelola, dinilai tidak akan ada hasilnya. Indonesia memiliki pekerjaan rumah dalam membenahi pengelolaan sumber daya maritim.
”Potensi kalau tidak dieksekusi, tidak ada gunanya. Dan (pengelolaan) ini tidak gampang. Satu per satu (masalah) kita benahi. Ini waktu untuk kita melakukan reformasi di banyak bidang,” katanya dalam Webinar: Grand Design Infrastruktur 2020: ”Harnessing Indonesian Maritime Resources for Blue Economy”, Kamis (17/12/2020).
Potensi kalau tidak dieksekusi, tidak ada gunanya.
Luhut menambahkan, salah satu potensi unggulan maritim adalah di sektor perikanan. Pemanfaatan dan pengelolaan perikanan harus memerhatikan kepentingan nasional. Ia mencontohkan, di Kepulauan Natuna yang terdiri atas 800 pulau, Indonesia menjajaki kerja sama perikanan dengan Jepang disertai fasilitas pengiriman langsung ke Tokyo.
Di sektor transportasi laut, Indonesia perlu terus menekan biaya kargo dengan mengurangi inefisiensi pelabuhan. Dicontohkan, pelabuhan di Singapura setiap tahun melayani lalu lintas peti kemas total 32 juta TEUs, yang 18 juta TEUs di antaranya dari Indonesia. Indonesia dinilai perlu melakukan konsolidasi untuk menekan biaya kargo melalui pengiriman langsung dari pelabuhan di Indonesia ke negara tujuan. Pelabuhan itu di antaranya Pelabuhan Kuala Tanjung, Tanjung Priok (DKI Jakarta), Patimban (Jawa Barat), Makassar (Sulawesi Selatan), dan Pelabuhan Tanjung Perak-Surabaya (Jawa Timur). Upaya itu akan menekan ketergantungan terhadap Pelabuhan Singapura dan menekan biaya kargo hingga 30 persen.
”Biaya infrastruktur masih bisa kita turunkan sebab masih banyak inefisiensi di sana,” katanya.
Potensi lain adalah energi terbarukan yang ramah lingkungan. Namun, pemanfaatannya belum optimal. Potensi pembangkit listrik ramah lingkungan sebesar 442 gigawatt (GW), tetapi kapasitas terpasang baru 10,4 GW atau 2,36 persen. Pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya baru 96,94 megawatt (MW) peak atau 0,05 persen dr potensi 207,8 GW. Panas bumi potensi 28,5 GW, tetapi baru termanfaatkan 2130 MW atau 2 GW (7.5 persen). Sementara itu, dari potensi pembangkit tenaga listrik tenaga hidro sebesar 75 GW, yang terlaksana 5,88 GW atau 7,9 persen.
Menurut Luhut, hidrogen memiliki potensi besar energi terbarukan, setelah baterai lithium. Pihaknya sedang menjajaki kerja sama dengan Australia dan Bank Jepang untuk Kerja Sama Internasional (JBIC) dalam menyinergikan pabrik pemurnian dan pengolahan mineral dengan pembangkit listrik tenaga hidro sehingga menghasilkan produk yang ramah lingkungan.
”Pembangkit listrik tenaga hidro adalah energi masa depan,” katanya.
Koordinator Tim Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri mengatakan, potensi ekonomi dari 11 sektor kelautan Indonesia mencapai 1,348 triliun dollar AS per tahun. 11 sektor itu mencakup perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata bahari, dan transportasi laut. Selain itu, industri jasa maritim, terumbu karang, sumber daya wilayah pulau kecil, dan sumber daya nonkonvensional.
Potensi ekonomi kelautan itu setara lima kali lipat APBN 2019, atau 1,3 kali produk domestik bruto (PDB) nasional saat ini. Akan tetapi, kontribusi nilai ekonomi kelautan bagi PDB baru sekitar 10,4 persen. Kondisi ini jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil, seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maladewa, Norwegia, dan Islandia yang memiliki kontribusi terhadap PDB di atas 30 persen.
Tantangannya adalah merevitalisasi ekonomi kelautan agar lebih produktif, efisien, dan berkelanjutan. Dicontohkan, gagasan tol laut yang tidak menumbuhkan penyebaran industri di luar Jawa pada akhirnya tetap akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
”Sektor kelautan dan perikanan harus bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, kesejahteraan, dan berkelanjutan,” kata Rokhmin.
Tantangannya adalah merevitalisasi ekonomi kelautan agar lebih produktif, efisien, dan berkelanjutan
Ia mengusulkan 6 program pembangunan ekonomi kelautan pada 2021-2024, antara lain revitalisasi usaha budidaya udang dan pengembangan budidaya lobster. Ada juga pengembangan industri pakan berbasis mikroalga dan biofuel berbasis mikroalga. Selain itu, pengembangan obyek wisata baru yang inovatif dan atraktif melalui peningkatan aksesibilitas, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta promosi dan pemasaran.
Tertinggal
Guru Besar Institut Teknologi Bandung Harun Al Rasyid Lubis mengemukakan, lima elemen poros maritim meliputi budaya maritim, infrastruktur maritim, sumber daya maritim, diplomasi maritim, pertahanan keamanan, dan penegakan hukum. Program poros maritim membutuhkan desain besar dengan pelaksanaan yang ketat.
Ia mencontohkan, investasi logistik Indonesia masih tertinggal. Padahal, rencana-rencana pembangunan konektivitas sudah banyak, termasuk kereta api cepat. ”Namun, semua rencana bisa hilang di tengah jalan dan berubah dalam 5-10 tahun ke depan jika tidak ada desain besar yang ketat,” kata Harun, yang juga Ketua Umum Masyarakat Infrastruktur Indonesia.