Resmi Merger, Tiga Bank Syariah BUMN Bentuk Bank Syariah Indonesia
Penggabungan BRI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri menjadi Bank Syariah Indonesia dilakukan guna menciptakan bank syariah berskala besar untuk tingkatkan penetrasi ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemegang saham PT Bank BRI Syariah Tbk telah memberikan restu penggabungan usaha perusahaan dengan PT Bank Syariah Mandiri Tbk dan PT Bank BNI Syariah Tbk. Entitas hasil penggabungan usaha ini akan menggunakan nama PT Bank Syariah Indonesia Tbk.
Dari ketiga bank syariah BUMN, aset terbesar dimiliki Bank Syariah Mandiri yang hingga Juni 2020 nilainya mencapai Rp 114,4 triliun, kemudian disusul oleh BNI Syariah Rp 50,78 triliun, dan BRI Syariah Rp 49,6 triliun.
Rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) yang berlangsung Selasa (15/12/2020) secara resmi menunjuk Direktur Utama Bank Syariah Mandiri Hery Gunardi sebagai Direktur Utama Bank Syariah Indonesia. Direktur Utama BRI Syariah Ngatari ditetapkan sebagai Wakil Direktur Utama 1 Bank Syariah Indonesia dan Direktur Utama BNI Syariah Abdullah Firman Wibowo sebagai Wakil Direktur Utama 2 Bank Syariah Indonesia. Seluruh direksi dan dewan komisaris yang telah ditunjuk akan bekerja efektif mulai 1 Februari 2021.
Sekretaris Perusahaan BRI Syariah Mulyatno Rachmanto mengatakan, penggabungan BRI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri dilakukan untuk menciptakan bank syariah berskala besar guna meningkatkan penetrasi ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Perusahaan baru akan beroperasi setelah persetujuan merger diperoleh dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
”Manajemen yang ditunjuk oleh pemegang saham dan pemerintah mencerminkan kebutuhan Bank Syariah Indonesia saat ini dan ke depan,” ujarnya dalam siaran pers di Jakarta.
Penggabungan BRI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri dilakukan untuk menciptakan bank syariah berskala besar guna meningkatkan penetrasi ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia.
Manajemen yang ditunjuk juga bertugas memastikan proses integrasi berjalan mulus serta memberikan layanan yang terbaik bagi para nasabah dan para pemangku kepentingan. Mereka juga diminta untuk mewujudkan visi Bank Syariah Indonesia menjadi 10 bank syariah terbesar di dunia.
RUPSLB BRI Syariah juga menyepakati penambahan tugas, tanggung jawab, fungsi, serta kewenangan dari Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk Bank Syariah Indonesia.
Sekretaris Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah Mukhaer Pakkanna mengingatkan, masalah yang akan dihadapi Bank Syariah Indonesia adalah mengatasi efek samping pandemi Covid-19. Pandemi membuat ada peningkatan risiko yang dihadapi lembaga-lembaga keuangan syariah, salah satunya terbukanya potensi kenaikan rasio pembiayaan bermasalah (nonperforming financing/NPF).
Untuk menghadapi risiko tersebut, manajemen bank syariah hasil merger harus segera berbenah setelah Februari nanti. Harapannya, pembenahan bisa membuat bank hasil merger bertahan selama pandemi dan segera bangkit setelah pandemi berakhir.
”Kenaikan risiko terhadap perbankan syariah tersebut dalam bentuk NPF akan menjadi salah satu yang menentukan kemampuan untuk bisa bertahan dan segera bangkit. Manajemen harus mulai meninjau kembali, mengevaluasi, dan merevisi target pertumbuhan sama seperti perbankan yang lain,” katanya.
Berdasarkan data OJK, NPF bank umum syariah dan unit usaha syariah hingga Agustus 2020 sebesar 3,3 persen (gross) dan 1,78 persen (nett).
Kenaikan risiko terhadap perbankan syariah tersebut dalam bentuk NPF akan menjadi salah satu yang menentukan kemampuan untuk bisa bertahan dan segera bangkit.
Produk bermanfaat
Secara terpisah, peneliti ekonomi syariah Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fauziah Rizki Yuniarti, berharap Bank Syariah Indonesia bisa memiliki produk bertarif murah untuk nasabah. ”Ini diperlukan agar bank hasil merger bisa turut berkontribusi pada pemulihan ekonomi nasional. Diharapkan juga bank ini mau memperbesar pagu pembiayaan untuk sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM),” ujarnya.
Menurut Fauziah, bank syariah hasil merger berpeluang memiliki tarif pembiayaan murah karena besarnya modal yang entitas ini miliki. Modal yang besar memperluas kemungkinan bank ini berhasil menarik dana murah dari publik.
Saat ini, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 17/12/PBI 2015 tentang Perubahan atas PBI No 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan UMKM mensyaratkan pembiayaan perbankan syariah ke UMKM minimum 20 persen dari total pembiayaan. Sayangnya, bank-bank syariah hanya berusaha sebatas memenuhi angka persyaratan tersebut.
Bank Syariah Indonesia diharapkan bisa memiliki produk bertarif murah untuk nasabah. Ini diperlukan agar bank hasil merger bisa turut berkontribusi pada pemulihan ekonomi nasional.
Fauziah berharap peningkatan porsi pembiayaan ke UMKM wajib masuk ke Rencana Bisnis Bank Syariah Indonesia sehingga tidak sekadar memenuhi persyaratan minimum Bank Indonesia di 20 persen.
”Hal ini akan menjawab keraguan masyarakat bahwa bank syariah BUMN hanya fokus ke konglomerat,” ujarnya.