Melihat tren geliat perdagangan menjelang 2021, pemerintah perlu membuat peta jalan komprehensif yang menggabungkan antara kinerja investasi dan ekspor.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aktivitas ekonomi yang mulai bergerak secara global dan domestik berisiko meningkatkan impor, baik belanja barang modal, bahan baku/penolong, maupun barang konsumsi. Untuk menghindari defisit transaksi berjalan di kemudian hari, kinerja impor yang mulai meningkat itu harus diimbangi dengan kenaikan ekspor yang lebih tinggi.
Data Badan Pusat Statistik yang dirilis pada Selasa (15/12/2020) menunjukkan, neraca perdagangan Indonesia pada November 2020 surplus senilai 2,61 miliar dollar AS. Surplus ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan surplus Oktober 2020 yang sebesar 3,6 miliar dollar AS.
Secara kumulatif, sepanjang Januari-November 2020, neraca perdagangan Indonesia surplus 19,65 miliar dollar AS. Capaian itu berbeda dari periode yang sama tahun lalu yang defisit 3,51 miliar dollar AS.
Surplus itu tercapai karena kinerja ekspor dan impor pada November 2020 sama-sama meningkat, tetapi nilai ekspor mencapai 15,28 miliar dollar AS atau naik 6,36 persen dibandingkan dengan Oktober 2020. Sementara nilai impor lebih kecil, yaitu 12,66 miliar dollar AS, meski tumbuh 17,4 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal, Rabu (16/12/2020), mengatakan, impor yang mulai meningkat patut disyukuri karena di satu sisi menunjukkan ekonomi mulai pulih. Namun, peningkatan impor itu juga bisa menekan transaksi berjalan jika tidak diiringi dengan peningkatan kinerja ekspor.
”Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana agar setelah ini kita tidak kembali lagi ke business as usual, kembali ke struktur kita yang lama. Ketika ekonomi pulih, impor meningkat, tetapi ekspor harus meningkat lebih tinggi. Berarti struktur ekonominya perlu diubah,” tutur Faisal saat dihubungi di Jakarta.
Peningkatan impor itu juga bisa menekan transaksi berjalan jika tidak diiringi dengan peningkatan kinerja ekspor.
BPS mencatat, kenaikan impor nonmigas pada November 2020 terutama didorong oleh belanja barang modal senilai 2,43 miliar dollar AS. Impor barang modal meningkat 31 persen dibandingkan dengan Oktober 2020 meski masih turun tipis 2,85 persen dari November 2019.
Sementara itu, impor bahan baku/penolong meningkat 13,02 persen dibandingkan dengan Oktober 2020, tetapi turun 20 persen dibandingkan dengan November 2019. Impor barang konsumsi juga naik 25,52 persen secara bulanan, menjadi 1,35 miliar dollar AS.
Dari total nilai impor pada November 2020, belanja bahan baku/penolong mendominasi hingga 70,51 persen, barang modal 19,22 persen, dan barang konsumsi 10,27 persen.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, meski secara kumulatif belum pulih, porsi besar impor barang modal dan bahan baku menunjukkan investasi dan industri dalam negeri tidak lagi lesu. ”Pertumbuhan impor ini menggembirakan. Diharapkan, impor bahan baku akan menggerakkan industri dalam negeri dan impor barang modal berpengaruh positif pada investasi,” ujarnya.
Menurut Suhariyanto, peningkatan ekspor dan impor pada November 2020 bukan sekadar capaian musiman, melainkan menunjukkan permintaan global sedang tumbuh pesat setelah sekian lama terpuruk akibat pandemi. ”Ini tidak seasonal, memang negara-negara tujuan utama kita indeks manufaktur (PMI) mereka sudah pulih sehingga butuh banyak barang dari Indonesia,” katanya.
Menurut Faisal, melihat tren geliat perdagangan menjelang 2021, pemerintah perlu membuat peta jalan komprehensif yang menggabungkan antara kinerja investasi dan ekspor. Investasi yang ditargetkan masuk pada 2021 jangan hanya sekadar mengandalkan kuantitas atau nilai investasi, tetapi harus ada efek multiganda (multiplier effect).
Investasi yang masuk harus diarahkan pada sektor yang berorientasi ekspor, bukan sekadar investasi yang menyasar besarnya pasar domestik Indonesia. Sejauh ini, investor umumnya menanamkan modal untuk memanfaatkan besarnya jumlah penduduk Indonesia sebagai pasar potensial.
”Melihat impor barang modal pada November 2020 berupa mesin-mesin dari China, sebagian besar dipakai untuk industri yang orientasinya pasar domestik, bukan untuk produk yang bisa diekspor,” katanya.
Melihat tren geliat perdagangan menjelang 2021, pemerintah perlu membuat peta jalan komprehensif yang menggabungkan antara kinerja investasi dan ekspor.
Menurut Faisal, melihat barang yang paling banyak diekspor pada November 2020, sektor yang dapat dimaksimalkan adalah industri logam dan besi baja, terutama dari sisi hilir. Indonesia memiliki daya tawar dan keunggulan komparatif karena memiliki bahan baku yang dibutuhkan.
”Investasi di sektor pengolahan bisa mendorong ekonomi. Kalau mau lebih baik, tingkat pengolahan harus lebih tinggi lagi, bukan hanya setengah jadi seperti sekarang. Akan tetapi, menjadi produk jadi bernilai tambah yang siap diekspor dengan lebih menguntungkan,” ujarnya.
Produk lainnya, lanjut Faisal, adalah komoditas perkebunan. Namun, berbeda dengan industri logam yang memerlukan pembenahan di sisi hilir, komoditas perkebunan lebih butuh pembenahan di sisi hulu.
”Khusus komoditas, kalau produktivitas di hulu tinggi, industri hilirnya bisa bergerak. Contohnya, kokoa. Industri hilir terbatas karena kurang bahan baku dan terpaksa impor,” ujarnya.