Dengan telah diterbitkannya regulasi yang melegalkan cantrang, yang krusial saat ini bagaimana pengawasan di lapangan. Jika tidak, masalah pro-kontra terkait cantrang akan berlarut dan hanya merugikan nelayan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Kebijakan tidak konsisten terkait pelarangan alat tangkap perikanan diyakini hanya merugikan nelayan. Dengan penerbitan regulasi yang melegalkan cantrang, persoalan krusial saat ini yakni bagaimana pengawasan diterapkan.
Hal itu dikatakan Guru Besar Bidang Manajemen Sumberdaya Perikanan Universitas Diponegoro Semarang, Suradi Wijaya Saputra, Selasa (15/12/2020). Menurut dia, saat cantrang dilarang, kenyataannya kapal-kapal cantrang tetap beroperasi. Hal ini terjadi karena pada akhirnya cantrang tetap diizinkan digunakan dengan sejumlah syarat.
"Pada akhirnya, yang sangat dirugikan nelayan itu sendiri. Supaya tidak terlalu banyak kontradiksi dan lelah dalam pro-kontra, mari jalankan peraturan ini. Saya kira keputusan itu sudah melalui kajian, sehingga yang paling penting saat ini pengawasan. Masalah terbesar selama ini adalah pengawasan," kata Suradi.
Adapun pelegalan penggunaan cantrang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI dan Laut Lepas yang terbit 18 November 2020.
Berdasarkan regulasi itu, alat-alat penangkapan ikan yang kembali dilegalkan, di antaranya pukat hela dasar (trawls) udang, payang, serta cantrang dan sejenisnya yang tergolong pukat tarik (seine nets).
Aturan itu menggantikan Permen KP Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di WPP RI. Dalam Permen KP ini, alat tangkap cantrang, dogol, dan pukat hela dasar udang tergolong alat tangkap aktif dan dilarang beroperasi di seluruh WPP RI. Larangan itu untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab, optimal, dan berkelanjutan.
Suradi menuturkan, pengawasan penting agar tidak terjadi konflik sosial antara nelayan yang menggunakan alat tangkap aktif dan di luar jenis itu. Seluruh pemangku kepentingan mesti bersinergi untuk memastikan pengawasan dapat diterapkan.
"Pengawasan harus dilakukan dari awal, sejak perizinan. Semua harus dicek awal sebelum ke laut. Dinas perikanan dan kelautan, kepolisian perairan, dan lainnya harus diefektifkan," kata Suradi.
Yang selama ini menjadi masalah ialah mata jaring yang terlalu kecil pada cantrang membuat ikan rucah lebih banyak terbawa ketimbang ikan komersial. (Suradi Wijaya Saputra)
Menurut Suradi, yang selama ini menjadi masalah ialah mata jaring yang terlalu kecil pada cantrang membuat ikan rucah lebih banyak terbawa ketimbang ikan komersial. Apabila ketentuan tak diikuti, hal itu memang dapat mengganggu ekosistem karena ikan yang masih bisa tumbuh besar justru terjaring.
"Terkait terumbu karang, nelayan cantrang tak akan beroperasi di situ karena jaringnya akan rusak. Hanya memang, jika mereka beroperasi di dekat ekosistem karang, akan menimbulkan pengadukan. Air menjadi keruh dan dapat mengganggu proses tumbuh terumbu karang. Bisa tertutup lumpur," lanjutnya.
Pemilik kapal asal Kabupaten Pati, Jateng, Purnomo (46) mengakui, alat tangkap cantrang lebih ekonomis ketimbang alat tangkap lain, misalnya, purse seine. Adapun saat ini dan beberapa rekannya memiliki empat kapal purse seine dan satu kapal cantrang.
"Cantrang lebih ekonomis karena modalnya kecil dan setahun bisa delapan perjalanan, sedangkan purse seine modal besar dan setahun hanya sekali perjalanan. Sekali perjalanan, cantrang membutuhkan modal sekitar Rp 100 juta, dengan pendapatan berkisar Rp 150 juta-Rp 200 juta. Sementara purse seine, satu perjalanan berkisar Rp 700 juta-Rp 1 miliar. Penjualannya tentu diharapkan di atas Rp 2 miliar," ujar Purnomo.
Yang utama saat ini, lanjutnya, pemerintah konsisten dalam membuat kebijakan. Dengan terus menerus berubah, banyak hal yang mesti diurus. Kini, prinsipnya ia siap mengikuti aturan yang ada, termasuk hanya melaut pada jalur yang diperbolehkan. Namun, tak dimungkiri, lanjut Purnomo, ada oknum nelayan cantrang yang nakal sehingga ke luar wilayah penangkapan. Untuk itu, pengawasan dan pembinaan perlu diterapkan.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng, Fendiawan, menuturkan, pihaknya akan melakukan pendataan ulang untuk kapal cantrang, baik di bawah maupun di atas 30 gros ton (GT). Menurut dia, dari komunikasi dengan para nelayan cantrang, mereka siap menaati aturan.
"Terutama untuk menghindari konflik horizontal antarnelayan. Sebagian besar kapal di Jateng ukurannya di atas 30 GT, dan itu perizinannya ada di pusat. Saat ini, belum ada pembatasan kuota kapal yang boleh beroperasi, sehingga pendataan sangat penting untuk memastikam kondisi di lapangan," katanya.