Dengan melegalkan lagi penggunaan cantrang, pemerintah dinilai tak konsisten. Kebijakan itu berpotensi memicu konflik sosial dan mengancam keberlanjutan sumber daya laut.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melegalisasi kembali penggunaan alat tangkap cantrang dan sejenisnya di wilayah pengelolaan perikanan RI. Kebijakan itu dinilai berpotensi menyebabkan konflik sosial antarnelayan dan mengancam keberlanjutan sumber daya laut.
Legalisasi penggunaan cantrang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI dan Laut Lepas yang terbit 18 November 2020. Berdasarkan regulasi itu, alat-alat penangkapan ikan yang kembali dilegalkan antara lain pukat hela dasar (trawls) udang, payang, serta cantrang dan sejenisnya yang tergolong pukat tarik (seine nets).
Aturan itu menggantikan Permen KP No 71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di WPP RI. Dalam Permen KP ini, alat tangkap berupa cantrang, dogol, dan pukat hela dasar udang tergolong alat tangkap aktif dan dilarang beroperasi di seluruh WPP RI. Larangan itu untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab, optimal, dan berkelanjutan.
Kebijakan legalisasi cantrang ini sekaligus menambah daftar panjang berubah-ubahnya aturan pemerintah dalam membuka dan melarang penggunaan alat tangkap jenis trawl dan alat tangkap lain yang berpotensi merusak. Sebelumnya, cantrang dan sejenisnya juga pernah dilegalkan dalam Permen KP No 11/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di WPP RI.
Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Cirebon Budi Laksana, Senin (14/12/2020), menilai, perubahan kebijakan tentang cantrang ini memunculkan kesan pemerintah main-main dalam tata kelola perikanan. Alat tangkap yang sebelumnya dilarang karena merusak kini dibuka kembali.
Selama ini penggunaan alat tangkap cantrang itu telah memicu konflik dengan nelayan tradisional karena sejumlah kapal cantrang menangkap di zona tangkapan ikan nelayan kecil dan tradisional.
Perubahan kebijakan tentang cantrang ini memunculkan kesan pemerintah main-main dalam tata kelola perikanan.
Ia juga mengingatkan, penggunaan alat tangkap cantrang menggerus sumber daya laut hingga ke dasar perairan merusak karang dan padang lamun yang menjadi rumah dan habitat ikan. Alat tangkap sejenis cantrang, seperti dogol, garok, dan arad juga kerap digunakan nelayan-nelayan kapal kecil, sehingga memicu konflik dengan nelayan pengguna alat tangkap ramah lingkungan.
”Konflik sosial nelayan dikhawatirkan terus menguat akibat legalisasi cantrang. Pemerintah seharusnya becermin dengan banyak konflik sosial nelayan akibat pemakaian cantrang,” ujarnya.
Oleh karena itu, Budi meminta pemerintah mengkaji ulang ketentuan itu, dengan melibatkan perwakilan nelayan kecil dan tradisional. Pemerintah dinilai jangan hanya fokus membuka ruang investasi bagi pengusaha kapal cantrang, tetapi mengancam kehidupan nelayan kecil dan tradisional.
”SNI juga siap mempertimbangkan gugatan uji materi apabila pemerintah tidak menggubris aspirasi nelayan kecil dan dampak buruk legalisasi cantrang,” katanya.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Mohammad Zaini menuturkan, kapal-kapal dengan alat tangkap cantrang dan sejenisnya masih terus beroperasi meskipun ada pelarangan terhadap alat tangkap tersebut. Selain itu, tidak ada jenis alat tangkap ikan yang ramah lingkungan jika penggunaannya berlebihan.
Oleh karena itu, pemerintah tengah menata penggunaan alat tangkap cantrang agar terkendali, mengawasi secara ketat, dan akan mengenakan sanksi pidana kepada pelaku usaha kapal cantrang yang melanggar.
Penataan itu mencakup jumlah kapal yang dibolehkan menggunakan cantrang, jalur penangkapan, dan ukuran kapal. Pemerintah tidak akan menerbitkan izin baru bagi kapal cantrang. Pengaturan izin cantrang dan sejenisnya hanya diberikan bagi kapal-kapal yang selama ini sudah beroperasi.
”(Kapal cantrang) kita legalkan saja, tetapi jumlahnya tidak boleh ditambah. Izin dibuka, tetapi diawasi betul, baik pengaturan lokasi maupun jalur. Jangan ada kapal cantrang yang masuk ke jalur nelayan tradisional,” katanya.
(Kapal cantrang) kita legalkan saja, tetapi jumlahnya tidak boleh ditambah. Izin dibuka, tetapi diawasi betul, baik pengaturan lokasi maupun jalur. Jangan ada kapal cantrang yang masuk ke jalur nelayan tradisional.
Zaini mengakui, terdapat kapal-kapal cantrang yang masuk ke area penangkapan nelayan tradisional dan memicu konflik antarnelayan. KKP memastikan, kapal cantrang berukuran di atas 30 gros ton (GT) hanya diperbolehkan beroperasi di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Adapun perizinan kapal cantrang di bawah 30 GT akan diatur berdasarkan kewenangan pemerintah provinsi.
Inkonsistensi kebijakan
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan menilai, perubahan aturan seharusnya dilakukan secara hati-hati dengan pertimbangan teknis yang matang. Beroperasinya kapal cantrang di sejumlah wilayah terbukti memicu konflik antarnelayan. Inkonsistensi aturan dinilai merupakan preseden buruk pada tata kelola perikanan.
”Aturan bisa berubah-ubah 180 derajat, tergantung dari siapa yang menjadi menteri dan menteri berteman dengan siapa,” ujarnya.
Abdi juga menyoroti penggunaan alat tangkap cantrang bagi kapal ukuran di bawah 30 GT beroperasi di perairan Laut Jawa atau WPP 712. Padahal, perairan Laut Jawa saat ini dalam kondisi eksploitasi berlebih sehingga mengancam keberlanjutan sumber daya ikan.
Peneliti DFW Indonesia Muhammad Arifuddin meragukan upaya pengawasan dan penegakan hukum pelaksanaan Permen KP baru itu. Aturan yang berubah-ubah akan menimbulkan kebingungan di lapangan, memicu persoalan baru, dan ruang transaksi di tengah laut.
”Aparat penegak hukum di lapangan akan kebingungan menegakan aturan karena kegiatan yang tadinya dilarang, tetapi kini dibolehkan,” kata Arifuddin.
Arifuddin juga meminta Presiden Joko Widodo mengevaluasi kebijakan legalisasi cantrang dan sejenisnya yang bertolak belakang dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl. Keppres itu telah mengamanatkan penggunaan trawl dan pukat tarik dihapuskan secara bertahap di laut Indonesia.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mempertanyakan dasar ilmiah kebijakan legalisasi cantrang. Kebijakan itu dinilai inkonsisten dan menimbulkan sejumlah persoalan serius.
Dalam dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2018, KKP menyebut cantrang dapat menyebabkan tiga hal, yakni mendorong penangkapan ikan yang tidak efektif dan eksploitatif, menghancurkan terumbu karang yang menjadi rumah ikan, dan memicu konflik sosial-ekonomi nelayan di tingkat akar rumput.