Nelayan Anambas, Natuna, dan Ambon Tolak Kapal Cantrang
Nelayan tradisional di sejumlah wilayah bereaksi atas terbitnya aturan yang mengizinkan lagi pemakaian alat tangkap cantrang. Mereka menolak regulasi karena dikhawatirkan bakal menekan hasil tangkapannya.
Oleh
Pandu Wiyoga / Kristi Utami / Frans Pati Herin
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Nelayan di sejumlah wilayah di Indonesia bereaksi atas penerbitan aturan yang melegalkan kapal cantrang. Mereka umumnya menolak karena legalisasi kapal cantrang dikhawatirkan mengeruk sumber daya perikanan secara berlebihan, mengurangi hasil tangkapan nelayan setempat, dan merusak lingkungan.
Nelayan tradisional di Kepulauan Anambas dan Natuna, Kepulauan Riau, misalnya, berencana memperbanyak rumpon di perairan yang berjarak hingga 20 mil (sekitar 37 kilometer) dari garis pantai. Langkah itu untuk mengantisipasi pelanggaran zona tangkap oleh kapal cantrang. Sementara nelayan di Maluku mengancam akan menertibkan sendiri jika menemukan kapal yang menggunakan alat tangkap cantrang di tengah laut.
”Setahu kami, di Maluku tidak punya kapal cantrang. Kalau kami dapat di laut akan kami tertibkan dengan cara kami sendiri. Kami tidak takut,” ujar Syamsul Sia, Ketua Kelompok Nelayan Desa Kawa di Pulau Seram, Senin (14/12/2020).
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri mengatakan, rumpon akan digunakan untuk memagari perairan yang menjadi zona tangkap nelayan tradisional. Warga akan menawan dan menjatuhkan denda kepada awak kapal cantrang yang berani melanggar. ”Memasang rumpon itu bentuk perlawanan untuk mengamankan periuk nasi kami dari sapuan kapal cantrang,” kata Hendri saat dihubungi dari Batam.
Pemasangan rumpon secara serentak di Anambas dan Natuna itu dilakukan untuk mengirim pesan kepada pemerintah supaya lokasi nelayan tradisional jangan diganggu lagi. Pada 30 November 2020, pemerintah mengundangkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Republik Indonesia dan Laut Lepas.
Peraturan itu merevisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 71/2016 yang melarang penggunaan cantrang, dogol, dan pukat udang. Pada Pasal 23 Ayat 4 regulasi baru disebutkan, kapal cantrang berukuran di atas 30 gros ton (GT) diizinkan beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III WPP 712 Laut Jawa dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di WPP 711, Laut Natuna Utara.
Peraturan terbaru ditetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pada 18 November 2020 atau tujuh hari sebelum ia ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka kasus suap perizinan budidaya lobster oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Anambas Dedi Syahputra menyatakan, pemerintah seharusnya mengoreksi total kebijakan pengelolaan perikanan yang diterbitkan satu tahun terakhir. Ia kecewa suara nelayan Kepulauan Riau tidak didengarkan pemerintah dalam penyusunan regulasi.
Sebelumnya, pada 4 Desember 2020, kapal cantrang asal Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ditangkap warga di Pulau Serasan, Natuna, karena dituduh beroperasi di perairan yang berjarak hanya 8 mil (14,8 km) dari garis pantai. Kapal dilepas setelah awaknya membayar denda Rp 60 juta sebagai ganti rugi kerusakan rumpon.
Konflik nelayan
Secara terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Cabang HNSI Kota Tegal Riswanto mengatakan, kehadiran kapal pengawas perikanan sangat diperlukan untuk mencegah konflik zona tangkap di Laut Natuna. Menurut dia, saat ditangkap pada 4 Desember, kapal dari Juwana sebetulnya tidak sedang menangkap ikan, tetapi sedang berlindung dari cuaca buruk.
Beroperasinya kapal cantrang dari pantai utara Jawa di perairan Natuna bermula pada Februari 2020. Saat itu, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan memobilisasi 30 kapal cantrang dari pantai utara Jawa untuk mengisi kekosongan di Laut Natuna Utara, sekaligus untuk mencegah masuknya kapal ikan asing ke perairan tersebut.
Riswanto menuturkan, 30 kapal cantrang yang dimobilisasi pemerintah itu sudah pulang karena rugi. Modal yang diperlukan satu kapal berkisar Rp 700 juta-Rp 800 juta, sedangkan hasil tangkapan yang didapat hanya Rp 200 juta-Rp 300 juta. ”Harapannya, pemerintah membangun tempat pengolahan ikan di Natuna supaya kami tak perlu bolak-balik ke Jawa. Itu akan mengurangi ongkos bahan bakar,” ujarnya.
Menurut Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Muhammad Abdi Suhufan, konflik antara nelayan tradisional dan nelayan cantrang terjadi karena pemerintah tidak tegas. Konflik ini tidak hanya merugikan nelayan tradisional, tetapi juga nelayan cantrang yang terancam saat bekerja di laut.
Menurut Abdi, Presiden Joko Widodo seharusnya meninjau Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 59/2020 karena tidak sesuai dengan peraturan di atasnya, yakni Keputusan Presiden No 39/1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl. Kedua, Kementerian Kelautan dan Perikanan harus fokus memantau pergerakan kapal cantrang di atas 30 GT yang beroperasi di ZEE Laut Natuna Utara melalui sistem pemantauan kapal perikanan.