Infrastruktur jaringan pipa gas bumi harus disiapkan untuk menyongsong target produksi 12 miliar kaki kubik per hari pada 2030. Sebab, masalah rendahnya serapan gas selama ini terletak pada terbatasnya infrastruktur.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Gas disebutkan akan menjadi jembatan penting dalam proses transisi energi di Indonesia. Transisi secara bertahap mengurangi peran pemanfaatan energi fosil ke sumber energi yang lebih bersih dan terbarukan. Transisi bakal tersendat apabila ada masalah dalam hal infrastruktur.
Meski pernah menjadi negara pengekspor terbesar gas alam di dunia, Indonesia sebenarnya tidak kaya-kaya amat cadangan gasnya. Per 1 Januari 2020, status cadangan terbukti gas bumi Indonesia sebesar 42,6 triliun kaki kubik dan apabila digabungkan dengan potensi yang ada akan menjadi 62,4 triliun kaki kubik atau hanya 1,5 persen dari total cadangan dunia. Dengan tingkat konsumsi saat ini, gas bumi tersebut akan habis dalam kurun kurang dari 18 tahun.
Konsumsi gas di Indonesia terbilang rendah apabila dibandingkan dengan kemampuan produksi. Sepanjang 2019, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, produksi gas bumi di Indonesia mencapai 7.000 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), sedangkan serapan domestik hanya 4.000 MMSCFD. Sisa produksi gas diekspor atau dijual ke pasar tunai (spot).
Pemerintah lantas berkeras untuk menaikkan produksi gas bumi menjadi 12.000 MMSCFD pada 2030. Target tersebut seiring dengan target produksi minyak menjadi 1 juta barel per hari di tahun yang sama. Sebagai catatan, produksi minyak Indonesia saat ini hanya ada di kisaran 750.000 barel per hari atau hanya mampu mencukupi separuh dari konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional yang mencapai 1,5 juta barel per hari.
Selisih lebar antara produksi minyak dan konsumsi BBM di dalam negeri kerap menyisakan defisit pada neraca perdagangan migas nasional.
Niat pemerintah menaikkan target produksi tentu sangat positif. Sebab, selisih lebar antara produksi minyak dan konsumsi BBM di dalam negeri kerap menyisakan defisit pada neraca perdagangan migas nasional. Menaikkan produksi adalah salah satu solusi untuk menutup celah defisit itu.
Akan tetapi, sejumlah pihak mempertanyakan strategi peningkatan target tersebut, khususnya gas bumi. Pasalnya, tanpa dibarengi dengan pembangunan infrastruktur gas bumi di dalam negeri, pemanfaatan gas bumi diperkirakan tidak akan optimal. Pada akhirnya, rencana menggantikan pemakaian solar dengan gas terhambat. Begitu pula gas akan lebih banyak diekspor ketimbang dimanfaatkan di dalam negeri.
Kekhawatiran di atas wajar adanya. Tengok saja rencana pembangunan infrastruktur gas yang tersendat, bahkan tidak jelas kelanjutannya. Yang baru-baru ini terjadi adalah rencana pembangunan jaringan pipa gas dari Cirebon, Jawa Barat, ke Semarang, Jawa Tengah. Rencana pembangunan jaringan pipa sepanjang 255 kilometer tersebut akhirnya batal.
Adalah PT Rekayasa Industri yang memenangi tender pipa gas Cirebon-Semarang itu pada 2006. Sempat menyatakan kesanggupan untuk mengerjakan proyek tersebut pada Februari 2020, tetapi pada Oktober 2020 perusahaan itu menyatakan mundur dari proyek. Alasannya adalah terdapat ketidakpastian pasokan gas yang bakal berdampak pada keekonomian proyek senilai 269 juta dollar AS tersebut.
Sempat menyatakan kesanggupan untuk mengerjakan proyek itu pada Februari 2020, tetapi pada Oktober 2020 perusahaan itu menyatakan mundur dari proyek.
Gagalnya proyek jaringan pipa gas Cirebon-Semarang ini menjadi pelajaran bagi pemerintah. Boleh-boleh saja memasang target tinggi produksi gas bumi. Namun, tanpa penyediaan infrastruktur yang memadai, mau diapakan dan dikemanakan gas tersebut?
Padahal, sedari dulu pemerintah selalu beralasan rendahnya penyerapan gas di dalam negeri lantaran minimnya infrastruktur. Selain masalah keterbatasan jaringan pipa gas, fasilitas terminal regasifikasi juga perlu diperkuat. Bentuk geografis Indonesia berupa kepulauan mengharuskan pengiriman gas dalam bentuk gas alam cair (LNG) sehingga memerlukan fasilitas regasifikasi di daerah penerima.
Ingat, pemerintah juga menargetkan terpasang 4 juta sambungan gas rumah tangga di Indonesia pada 2024. Lokasi yang diprioritaskan adalah DKI Jakarta dan sekitarnya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat. Sekali lagi, tanpa ketersediaan infrastruktur yang memadai, target tersebut takkan optimal pemanfaatannya.
Ketersediaan infrastruktur energi di dalam negeri sekaligus wujud dari idealisme bahwa energi harus menjadi modal pembangunan di dalam negeri. Bukan lagi energi yang perlakukan sebagai komoditas ekspor.