Pembangunan Rendah Karbon Terhambat Harga Energi Fosil Murah
Pembangunan berbasis energi bersih dan terbarukan di Indonesia bisa menjadi solusi pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Syaratnya, dukungan insentif fiskal dan kolaborasi kuat antar-pemangku kepentingan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Uap keluar dari cerobong instalasi panas bumi milik PT Geo Dipa Energi yang dialirkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Jumat (15/3/2019). PLTP Dieng yang menghasilkan 60 megawatt akan ditambah kapasitasnya sebesar 10 megawatt. Pengembangan tersebut merupakan bagian dari eksplorasi energi terbarukan yang ramah lingkungan.
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan rendah karbon di Indonesia terhambat oleh murahnya harga energi fosil, seperti minyak mentah, gas bumi, dan batubara. Hal itu menyebabkan harga energi terbarukan kalah bersaing. Tanpa insentif fiskal, pembangunan rendah karbon sulit diharapkan mampu tumbuh pesat.
Demikian dikatakan Direktur Lingkungan Hidup pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Medrilzam dalam webinar bertajuk ”Membangun Indonesia Lebih Hijau dan Tangguh Pasca-krisis Covid-19”, Senin (14/12/2020). Menteri Keuangan 2013-2014 M Chatib Basri dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menjadi pembicara kunci webinar tersebut.
Pembangunan rendah karbon adalah kebijakan pembangunan yang program dan pelaksanannya menghasilkan pertumbuhan ekonomi rendah emisi gas rumah kaca. Pembangunan dengan cara ini menjadi bentuk penanggulangan perubahan iklim, perbaikan kualitas lingkungan, dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan rendah karbon menjadi salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
”Selain harga energi fosil yang murah, tantangan pembangunan rendah karbon lainnya adalah isu lingkungan di Indonesia belum menjadi isu prioritas, baik di level pusat maupun daerah, dalam konteks pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19,” kata Medrilzam.
Pembangunan rendah karbon tak bisa semata hanya diinisiasi pemerintah. Dukungan sektor swasta dan masyarakat umum sangat menentukan keberhasilan program tersebut.
Foto udara perumahan yang telah dilengkapi panel surya di kawasan Summarecon Serpong, Tangerang, Banten, Rabu (4/3/2020). Kesadaran konsumen terhadap lingkungan dari penggunaan energi terbarukan dimanfaatkan oleh pihak pengembang perumahan dengan memberikan penawaran bonus panel surya di setiap unit rumah yang dijual.
Hal yang tak kalah penting lainnya, lanjut Medrilzam, belum ada kebijakan fiskal yang kuat berupa insentif bagi pelaku usaha yang menerapkan pembangunan rendah karbon di Indonesia. Selain itu, pembangunan rendah karbon tak bisa semata hanya diinisiasi pemerintah. Dukungan sektor swasta dan masyarakat umum sangat menentukan keberhasilan program tersebut.
Sementara itu, Chatib berpendapat bahwa pandemi Covid-19 menjadi momentum tepat untuk menata ulang kebijakan pembangunan rendah karbon di Indonesia. Skema pembiayaan hijau, yang akan kian menjadi tren di masa mendatang, akan semakin banyak dan mudah didapat. Syaratnya, pemerintah harus memberikan insentif bagi pelaku usaha yang menerapkan pembangunan rendah karbon.
”Kecenderungan tentang menurunnya dukungan pembiayaan global terhadap sektor yang tidak ramah lingkungan kian menguat,” kata Chatib.
Kemudian, imbuh Chatib, isu pengenaan pajak karbon (carbon tax) adalah salah satu kunci kesuksesan pembangunan rendah karbon di Indonesia. Pengenaan pajak karbon yang rendah menyebabkan orang beralih ke pemakaian energi yang lebih bersih dan terbarukan menjadi sulit.
Dalam hal pembiayaan, menurut Febrio, target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia membutuhkan dana yang tak sedikit. Dengan target pengurangan emisi 29 persen pada 2030, tanpa dukungan dunia internasional, dana yang diperlukan Indonesia mencapai Rp 3.461 triliun. Oleh karena itu, diperlukan pendanaan yang cukup untuk mendukung pencapaian target tersebut.
Pandemi Covid-19 menjadi momentum tepat untuk menata ulang kebijakan pembangunan rendah karbon di Indonesia.
”Pendanaan bisa diperoleh dari dana publik, swasta, dan campuran keduanya. Instrumen pendanaan publik beberapa di antaranya adalah Indonesia Climate Change Trust Fund dan green Sukuk serta pendanaan multilateral,” ujar Febrio.
Kompas
Produksi Listrik dari Energi Baru Terbarukan Dunia
Dari sektor pengembangan sumber energi terbarukan di Indonesia, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris Yahya mengungkapkan, sampai triwulan II-2020, porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional mencapai 10,9 persen. Padahal, pada 2025, target yang dicanangkan pemerintah adalah 25 persen. Percepatan pengembangan energi terbarukan diperlukan untuk mencapai target tersebut.
”Untuk mencapai target tersebut, kami berfokus pada pengembangan energi terbarukan yang lebih cepat dibangun dan pembiayaan pembangunannya kompetitif, seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS),” kata Harris.
Hingga 2035, pemerintah menargetkan kapasitas terpasang pembangkit listrik dari energi terbarukan sebesar 47.500 megawatt (MW). Dari target tersebut, PLTS adalah pemilik porsi terbesar, yaitu mencapai 17.540 MW yang disusul pembangkit listrik tenaga air (PLTA) 7.815 MW, dan PLTP 7.170 MW.
Mengutip data dari Kementerian ESDM, potensi sumber energi terbarukan di Indonesia mencapai 417.800 MW. Potensi terbesar ada di tenaga surya yang mencapai 207.800 MW peak (MWp), lalu tenaga bayu 60.600 MW, bioenergi 32.600 MW, panas bumi 23.900 MW, dan gelombang laut 17.900 MW. Dari semua potensi itu yang termanfaatkan baru 10.400 MW atau sekitar 2,4 persen saja.