Jangkauan Layanan Keuangan Diperluas
Di tengah pandemi Covid-19, upaya mendorong penyaluran kredit mesti dilakukan secara hati-hati dan sejalan dengan permintaan.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah bertekad memperluas jangkauan layanan keuangan untuk mendorong keuangan inklusif sekaligus menjaga stabilitas sistem keuangan. Namun, langkah itu mesti dilakukan dengan menilik kondisi terkini.
Sebab, memaksakan lembaga keuangan menggenjot penyaluran kredit di tengah permintaan yang rendah tetap berisiko menimbulkan kredit macet.
Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 114 Tahun 2020 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif pada 7 Desember 2020. Perpres ini menggantikan Perpres No 82/ 2016.
Produk hukum ini untuk memacu kesejahteraan masyarakat seiring dengan peningkatan indeks inklusi keuangan.
Perpres No 82/ 2O16 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif diganti karena inklusi keuangan pada 2019 telah mencapai 76,2 persen. Pencapaian ini melampaui target inklusi keuangan 75 persen. Adapun pada perpres yang baru, target inklusi keuangan pada 2024 ditetapkan 90 persen.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto selaku Ketua Harian Dewan Nasional Keuangan Inklusif menegaskan, pepres baru tersebut akan mendorong penguatan akses pembiayaan untuk pengembangan usaha mikro dan kecil.
”Penguatan integrasi kegiatan ekonomi dan keuangan inklusif akan dilakukan melalui layanan keuangan sebagai bagian dari upaya mencapai tujuan keuangan inklusif,” kata Airlangga dalam siaran pers yang dikutip Minggu (13/12/2020).
Adapun tujuan penerbitan Strategi Nasional Keuangan Inklusif adalah menciptakan sistem keuangan yang inklusif untuk mendukung sistem keuangan yang dalam dan stabil. Tujuan lain adalah mendukung pertumbuhan ekonomi, mempercepat penanggulangan kemiskinan, serta mengurangi kesenjangan antarindividu dan antardaerah.
Tujuan penerbitan Strategi Nasional Keuangan Inklusif adalah menciptakan sistem keuangan yang inklusif untuk mendukung sistem keuangan yang dalam dan stabil.
Kelompok masyarakat yang diprioritaskan dalam program dan kebijakan keuangan inklusif adalah masyarakat berpenghasilan rendah, pelaku usaha mikro dan kecil, pekerja migran, perempuan, anak telantar, dan penyandang disabilitas. Ada pula masyarakat lanjut usia, mantan narapidana, masyarakat di daerah perbatasan, serta kelompok pelajar, mahasiswa, dan pemuda.
Baca juga: Selamat Tinggal Bantal dan Celengan…
Airlangga memaparkan, ada empat cara yang perlu ditempuh lintas lembaga pemerintah bersama ekosistem sistem keuangan dalam mencapai tujuan Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Strategi itu adalah peningkatan akses layanan keuangan formal, peningkatan literasi dan perlindungan konsumen, perluasan jangkauan layanan keuangan, serta peningkatan produk dan layanan keuangan digital.
Berdasarkan survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks inklusi keuangan pada 2019 sebesar 76,19 persen.
Jangan dipaksa
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Aviliani mengatakan, pemerintah sebaiknya tidak perlu memaksakan penyaluran kredit untuk mendorong inklusi keuangan dalam waktu dekat. Itu karena masyarakat Indonesia masih didominasi kelas bawah yang belum memiliki pengetahuan cukup dalam kewirausahaan.
”Pemerintah harus lebih fokus pada program-program padat karya yang melibatkan masyarakat dan berkontribusi pada kegiatan ekonomi,” ujarnya.
Baca juga: Inklusi Keuangan Tak Sebatas Pembukaan Rekening Tabungan
Aviliani mengingatkan agar pemerintah dan OJK berhati-hati mendorong penyaluran kredit lembaga keuangan untuk menggenjot inklusi keuangan. Pasalnya, krisis akibat pandemi Covid-19 menekan permintaan kredit masyarakat. Hingga kini, situasi ini belum pulih atau belum kembali normal.
Krisis akibat pandemi Covid-19 menekan permintaan kredit masyarakat.
”Mekanisme penyaluran kredit harus dibiarkan sejalan dengan permintaan karena pasokan kredit akan lancar selama permintaan ada sehingga mencegah peningkatan risiko kredit macet,” ujarnya.
Berdasarkan data Bank Indonesia, kredit yang disalurkan perbankan per Oktober 2020 sebesar Rp 5.484,9 triliun atau tumbuh minus 0,9 persen secara tahunan. Kontraksi ini lebih dalam dibandingkan dengan per September 2020, yakni tumbuh minus 0,4 persen secara tahunan menjadi Rp 5.529,4 triliun.
Baca juga: Inklusi Keuangan Memacu Pemulihan Ekonomi
Dalam Rapat Koordinasi Nasional Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) 2020 pekan lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan, peningkatan akses keuangan penting untuk mendorong pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di daerah, mendorong keadilan sosial, serta mendorong peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyatakan akan mengoptimalkan keberadaan TPAKD di daerah-daerah yang sejauh ini berkontribusi positif mendukung akselerasi program pemulihan ekonomi nasional.
Aviliani menilai, kehadiran TPAKD dapat mengurangi praktik rentenir di tengah masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan. Namun, pola pendekatan terhadap masyarakat sebaiknya tidak menggunakan persyaratan khusus atau rumit.
Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Sunarso menyampaikan, BRI juga memiliki sasaran keuangan inklusif secara internal perusahaan. BRI membidik debitor yang belum tersentuh produk perbankan.