Kebijakan pemakaian BBM ramah lingkungan di Indonesia jalan di tempat. Faktor selisih harga lebar antara BBM bertimbal dan nontimbal adalah salah satu penyebab.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banyak kendala dalam usaha pemakaian bahan bakar minyak atau BBM ramah lingkungan di Indonesia. Padahal, pemerintah sudah menerbitkan aturan kewajiban penggunaan BBM dengan nilai oktan minimal 91. Masalah harga menjadi salah satu sebab mengapa BBM kotor atau mengandung timbal masih dipakai di Indonesia.
Direktur Pengendalian dan Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Dasrul Chaniago, Jumat (11/12/2020), mengatakan, penggunaan BBM yang lebih ramah lingkungan sudah menjadi keharusan. Bahkan, kebijakan ini sudah digagas sejak tahun 1996 kendati realisasinya hingga kini masih tersendat.
Kementerian LHK telah menerbitkan peraturan bernomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, dan Kategori O. Dalam aturan penggunaan BBM bagi kendaraan roda empat itu, RON minimal yang dipersyaratkan adalah 91. Produk BBM di Indonesia yang memenuhi kriteria itu adalah jenis pertamax dengan RON 92.
”Salah satu sebabnya, harga BBM yang ramah lingkungan, yaitu RON 92, lebih mahal ketimbang RON 88 (premium). Ini mengakibatkan masyarakat masih membeli (premium) meskipun teknologi kendaraan sekarang tidak sesuai lagi dengan BBM bertimbal, seperti premium,” ujarnya dalam seminar web ”Rencana Aksi 2021 Mewujudkan Langit Biru Indonesia” yang diselenggarakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.
Dari catatan Kementerian LHK, jumlah SPBU yang menjual BBM dengan RON 95 baru 1.058 unit dari total SPBU di Indonesia 5.752 unit.
Penyebab lainnya, imbuh Dasrul, ketersediaan BBM yang ramah lingkungan belum memadai. Kementerian LHK mencatat, jumlah SPBU yang menjual BBM dengan RON 95 baru 1.058 unit dari total 5.752 SPBU di Indonesia. Adapun pangsa pasar BBM yang belum memenuhi standar, seperti premium dan pertalite dengan RON 91, 88 persen.
Dalam acara tersebut, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi membenarkan transportasi darat, seperti sepeda motor dan mobil, adalah penyumbang pencemaran udara terbesar. Sekitar 60 persen pencemaran udara di Indonesia disebabkan kendaraan yang memakai BBM dengan oktan rendah. Salah satu usaha Kementerian Perhubungan untuk menurunkan pencemaran adalah dengan menyediakan infrastruktur transportasi massal.
”Kami mendorong masyarakat menggunakan transportasi massal yang lebih ramah lingkungan, seperti kereta listrik, light rail transit (LRT), dan mass rapid transit (MRT). Dengan demikian, masyarakat diharapkan mengurangi pemakaian kendaraan pribadi,” ujar Budi.
Sementara itu, menurut Pelaksana Tugas Direktur Teknik dan Lingkungan Minyak dan Gas Bumi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Mustafid Gunawan, pemerintah berkomitmen menyediakan BBM yang lebih ramah lingkungan. Beberapa usaha yang dilakukan adalah proyek pengembangan kilang oleh PT Pertamina (Persero).
Sekitar 60 persen pencemaran udara di Indonesia disebabkan kendaraan yang memakai BBM dengan oktan rendah.
”Proyek tersebut untuk menghasilkan produk BBM yang sesuai dengan standar euro 4. Pertamina juga mengembangkan BBM yang disebut dengan green diesel, mandatori biodiesel 30 persen (B-30), serta pencampuran etanol 2 persen ke dalam bensin,” kata Mustafid.
Dalam siaran pers, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengumumkan peresmian Kilang Langit Biru Cilacap yang ada di Cilacap, Jawa Tengah. Kilang tersebut mampu memproduksi BBM dengan RON minimal 92. Keberhasilan proyek ini diharapkan bisa mengurangi defisit pada neraca perdagangan migas Indonesia.
”Proyek kilang ini berhasil menyerap tenaga kerja 3.000 orang, 70 persennya adalah tenaga kerja lokal,” kata Nicke.
Beberapa waktu lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyatakan, di masa mendatang akan ada penggantian energi yang lebih bersih untuk mengurangi beban lingkungan. Pernyataan tersebut menjawab pertanyaan sejumlah anggota Komisi VII DPR terkait rencana penghapusan bahan bakar minyak jenis premium dari pasaran. Namun, belum ada kejelasan lebih jauh kapan rencana tersebut diwujudkan.
Hingga kini, premium masih dijual bebas di pasar dengan harga Rp 6.450 per liter. Sepanjang 2019, Pertamina mengimpor premium 11,1 juta kiloliter senilai 4,78 miliar dollar AS. Tahun ini, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi menetapkan kuota premium 11 juta kiloliter.