Konsistensi diperlukan dalam menegakkan aturan. Kementerian Perhubungan melarang kendaraan dengan dimensi dan beban berlebih melintas di jalan raya mulai 1 Januari 2023.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
Berlebihan itu tidak baik. Di bidang transportasi, fenomena berlebihan ini terjadi dalam bentuk kendaraan angkutan dengan dimensi dan beban berlebih.
Tarik ulur dan diskusi perihal rencana penerapan aturan yang melarang kendaraan dengan dimensi dan beban berlebih (over dimension overload/ODOL) berkali-kali terjadi. Hal ini terjadi karena ada berbagai faktor yang dipertimbangkan.
Kebijakan larangan kendaraan dengan dimensi dan beban berlebih melintas sebenarnya akan diberlakukan mulai awal 2021. Namun, ditunda menjadi 1 Januari 2023. Di tengah pandemi Covid-19, diskusi dan perbincangan perihal kendaraan dengan dimensi dan beban berlebih kembali muncul.
Pengusaha meminta agar penerapan kebijakan ditunda lagi, setidaknya dimulai pada 1 Januari 2025. Namun, sejauh ini, pemerintah masih menyatakan tak akan ditunda atau tetap mulai 1 Januari 2023.
Di tengah pandemi Covid-19, diskusi dan perbincangan perihal kendaraan dengan dimensi dan beban berlebih kembali muncul.
Menurut pengusaha, pandemi menekan perekonomian global, termasuk Indonesia. Kinerja bisnis juga mengalami dampaknya. Dengan demikian, berbagai hal mesti disesuaikan dengan kondisi terkini, termasuk penerapan kebijakan.
Pengusaha yang selama ini menggunakan kendaraan angkutan untuk mendukung kinerja bisnis mereka juga menyebutkan, kesiapan truk sebagai alasan meminta kebijakan tersebut ditunda. Mereka berdalih, truk yang digunakan akan bertambah jika aturan kendaraan dengan dimensi dan beban berlebih diberlakukan. Artinya, waktu tunggu di pelabuhan menjadi lebih lama dan ruang tunggu yang diperlukan juga lebih luas.
Pemerintah, melalui Kementerian Perhubungan, meminta pelaku usaha tetap menjalani tahapan rencana pemberlakuan bebas ODOL pada 2023. Berdasarkan data Kemenhub, pada periode 2020 sampai dengan 2023 sebenarnya toleransi kendaraan dengan dimensi dan muatan berlebih masih berlaku. Namun, persentasenya semakin kecil.
Kendaraan bermuatan barang penting (semen, baja, kaca lembaran, air minum dalam kemasan, beton ringan, kertas, pupuk, dan keramik) pada 2020 diberi toleransi kelebihan muatan 40 persen. Artinya, kendaraan dengan kelebihan muatan melampaui 40 persen akan ditilang. Adapun muatannya akan ditransfer ke kendaraan lain. Bahkan, kendaraan bisa juga dilarang melanjutkan perjalanan. Toleransi kelebihan muatan ini dikurangi secara bertahap menjadi 20 persen pada 2021, kemudian berkurang menjadi 10 persen pada 2022 dan 5 persen pada 2023.
Sementara batas toleransi kelebihan muatan bagi kendaraan bermuatan bahan pokok mulai dari 50 persen pada 2020. Selanjutnya, secara bertahap berkurang menjadi 30 persen pada 2021, 15 persen pada 2022, dan 5 persen pada 2023. Bahan pokok dimaksud adalah beras, kedelai, bahan baku tahu tempe, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar.
Apabila dicermati, keinginan mewujudkan Indonesia bebas kendaraan dengan dimensi dan muatan berlebih memiliki dasar kuat. Apalagi, praktik ini memiliki banyak dampak negatif. Dampak tersebut bukan hanya secara ekonomi, melainkan juga menyangkut keselamatan warga.
Dari sisi ekonomi, misalnya, kendaraan dengan dimensi dan muatan berlebih mengakibatkan kerusakan infrastruktur jalan, jembatan, dan pelabuhan. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, negara harus mengeluarkan biaya Rp 43 triliun untuk memperbaiki jalan rusak akibat truk-truk dengan dimensi dan muatan berlebih yang melintas di jalan.
Dampak tersebut bukan hanya secara ekonomi, melainkan juga menyangkut keselamatan warga.
Sementara dari aspek keselamatan, Korps Lalu Lintas Kepolisian RI mencatat kecelakaan truk yang dipicu praktik dimensi dan beban berlebih secara nasional meningkat dari 109.215 kasus pada 2018 menjadi 116.395 kasus pada 2019. Melihat data itu, kita berharap jangan sampai kendaraan dengan dimensi dan beban berlebih yang membahayakan keselamatan warga masih terus melaju di jalanan.
Dalam berbagai hal, konsistensi aturan merupakan jawaban atas keberhasilan suatu rencana.