Cadangan minyak mentah Indonesia hanya 3 miliaran barel atau 0,2 persen dari total cadangan minyak dunia. Indonesia harus bersaing dengan negara lain berebut dana investasi yang terbatas akibat pandemi Covid-19.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Perubahan radikal. Demikian dikatakan salah satu CEO perusahaan minyak dan gas bumi Indonesia dalam sebuah webinar beberapa waktu lalu. Indonesia perlu perubahan radikal untuk memperbaiki tata kelola hulu minyak dan gas bumi demi menarik investasi.
Kenapa perlu radikal? Sebab, persaingan investasi sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) kian ketat. Pandemi Covid-19 telah mengubah banyak hal. Permintaan minyak dunia merosot dan harganya jatuh, bahkan sempat negatif. Agar tak merugi kian banyak, perusahaan memangkas dana investasi hingga 30 persen.
Dengan kian terbatasnya dana tersebut, praktis kue investasi pun mengecil. Dana yang terbatas itu diperebutkan banyak negara. Setiap negara berlomba-lomba membuat investor melirik, tertarik, dan, yang paling penting, menanamkan uangnya untuk berinvestasi.
Mengutip hasil riset Wood Mackenzie dan IHS Markit, dari skala 0 sampai 5 untuk daya tarik fiskal, Indonesia ada di angka 2,4 atau di bawah rata-rata dunia yang di angka 3,3. Secara rata-rata, daya tarik Indonesia bisa dibilang rendah dibandingkan dengan negara lain. Kondisi ini menyulitkan bagi Indonesia untuk memenangi persaingan perebutan dana investor yang tak lagi banyak tersebut.
Setiap negara berlomba-lomba membuat investor melirik, tertarik, dan, yang paling penting, menanamkan uangnya untuk berinvestasi.
Seperti yang dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani di acara pembukaan ”International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2020” pada Rabu (2/12/2020), Indonesia memberikan sejumlah insentif fiskal untuk menarik minat investor. Beberapa di antaranya adalah pengurangan pajak penghasilan dari semula 25 persen menjadi 22 persen atau 20 persen, membebaskan bea masuk bandara dan berbagai fasilitas lainnya di kawasan ekonomi khusus, serta kebebasan pilihan kontrak bagi hasil apakah akan memilih cost recovery (biaya operasi yang dapat dipulihkan) atau gross split (bagi hasil berdasar produksi bruto).
Akan tetapi, urusan insentif fiskal dianggap belum menyelesaikan masalah. Bagi sejumlah investor atau pelaku usaha, urusan nonteknis juga sangat penting dan berpengaruh pada kelancaran proyek. Misalnya, perizinan rumit dan berbelit juga harus dibereskan. Belum lagi gangguan di lapangan. Gangguan di sini bisa bermakna aktivitas yang sengaja dibuat oleh oknum tak bertanggung jawab.
Salah satu direksi perusahaan pengeboran migas pernah membuat perumpamaan, 1.000 perizinan tak menjadi soal asal ada kejelasan dan kepastian waktu penyelesaiannya. Sebaliknya, meski hanya perlu satu izin, tapi tak ada kejelasan dan kepastian kapan terbitnya izin tersebut, hal itu justru merepotkan. Ada ketidakpastian, sementara biaya operasional terus berjalan, misalnya untuk membayar gaji karyawan.
Menyangkut soal ketidakpastian, Indonesia sudah kerap memberi ”pelajaran” kepada investor hulu migas. Contohnya adalah soal kontrak bagi hasil. Saat ini dikenal dua skema kontrak bagi hasil, yaitu cost recovery dan gross split. Setelah diterapkan cost recovery, pemerintah mewajibkan penggunaan gross split mulai 2017. Belakangan, pemerintah membatalkan kewajiban itu dan membebaskan pilihan.
Sebaliknya, meski hanya perlu satu izin, tapi tak ada kejelasan dan kepastian kapan terbitnya izin tersebut, hal itu justru merepotkan.
Apa lantas keputusan pembebasan pilihan skema bagi hasil sudah final? Belum tentu. Dari pengalaman yang sudah-sudah, bisa jadi kebijakan itu berubah (kembali). Apalagi, dasar aturannya adalah peraturan setingkat menteri. Lazimnya di Indonesia, berganti menteri berganti pula kebijakannya.
Satu hal lagi contoh ketidakpastian di sektor hulu migas Indonesia, dan ini yang paling substantif, adalah nasib Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Beberapa pasalnya sempat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2012, khususnya mengenai kedudukan Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Sembari menunggu hasil perbaikan UU tersebut, dibentuklah Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang bersifat ad hoc untuk menggantikan peran dan fungsi BP Migas.
Pemerintah harus menyadari ini. Apalagi, cadangan minyak Indonesia yang hanya 3 miliaran barel atau hanya 0,2 persen dari total cadangan terbukti minyak dunia. Bukan zamannya lagi ”sok jual mahal” atau lelucon ”kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah” dipertahankan.
Perubahan radikal adalah ungkapan yang tepat untuk membenahi tata kelola hulu migas di Indonesia. Jangan lagi ada stigma bahwa hal yang pasti di Indonesia untuk berbisnis adalah ketidakpastian itu sendiri.