Peremajaan perkebunan sawit rakyat merupakan program strategis yang diutamakan pemerintah.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan skema pungutan ekspor menambah sumber dana yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS. Pemerintah berkomitmen mengutamakan penggunaan dana ini untuk meremajakan perkebunan sawit rakyat.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud menyatakan, peremajaan sawit rakyat merupakan program strategis nasional.
”Artinya, peremajaan menjadi program utama untuk direalisasikan BPDPKS. Harapannya, peremajaan dapat meningkatkan produktivitas kebun menjadi di atas 5-6 ton per hektar,” ujarnya saat konferensi pers secara dalam jaringan, Selasa (8/12/2020).
Agar dapat terwujud, pemerintah bersama BPDPKS akan meningkatkan sosialisasi bagi petani agar lebih mudah mengakses program peremajaan perkebunan rakyat. Bahkan, ada rencana menggandeng pihak ketiga untuk terjun langsung dan mengajak petani mengikuti program.
Regulasi baru yang mengatur skema pungutan ekspor produk kelapa sawit adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57 Tahun 2020 tentang Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan. Pada sejumlah komoditas, eksportir akan dikenakan pungutan lebih tinggi dibandingkan dengan aturan sebelumnya.
Aturan baru menetapkan, apabila harga referensinya sama atau di bawah 670 dollar AS per ton, maka pungutan ekspornya 55 dollar AS per ton. Besaran pungutan ini naik seiring dengan kenaikan harga referensi secara progresif. Harga referensi tertinggi yang menjadi acuan di atas 995 dollar AS per ton dengan pungutan ekspor 255 dollar AS per ton.
Aturan lama menetapkan nilai pungutan ekspor seragam di angka 55 dollar AS per ton di setiap harga referensi.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 95 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang Dikenakan Bea Keluar menyatakan, harga referensi CPO sebesar 870,7 dollar AS per ton sepanjang Desember 2020. Artinya, ekspor CPO akan dikenakan bea keluar sebesar 33 dollar AS per ton dan pungutan senilai 180 dollar AS per ton.
Musdhalifah menambahkan, salah satu pertimbangan perubahan aturan tersebut adalah tren harga minyak mentah dunia (brent crude oil) yang cenderung turun. Sebaliknya, harga CPO dunia cenderung meningkat karena produksi minyak kanola, kedelai, dan rapeseed yang rendah.
Harga CPO dunia cenderung meningkat karena produksi minyak kanola, kedelai, dan rapeseed yang rendah.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Sistem Manajemen Investasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Ludiro menambahkan, pemerintah juga melihat kenaikan kebutuhan dana untuk keberlanjutan program yang menyangkut kelapa sawit. Contohnya, program B-30 (campuran bahan bakar biodiesel sebanyak 30 persen) dan peremajaan sawit rakyat.
Sementara Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman menyatakan, kenaikan tarif pungutan tidak akan berdampak negatif terhadap kinerja ekspor produk kelapa sawit. Dia memperkirakan, ekspor kelapa sawit akan naik dari 32 juta ton pada tahun ini menjadi 36 juta ton pada 2021.
Terkait dengan peremajaan perkebunan kelapa sawit rakyat, BPDPKS telah menyalurkan dana hingga Rp 1,96 triliun per 6 Desember 2020. Dana ini mencakup lahan seluas 71.237 hektar dan 30.680 pekebun.
Target peremajaan perkebunan sawit rakyat pada 2021 seluas 180.000 hektar. Setiap petani yang mengikuti program ini akan mendapatkan Rp 30 juta per hektar.
BPDPKS telah menyalurkan dana hingga Rp 1,96 triliun per 6 Desember 2020. Dana ini mencakup lahan seluas 71.237 hektar dan 30.680 pekebun.
Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Agam Faturrochman menilai, tarif pungutan ekspor tergolong tinggi. Pelaku usaha meminta aturan tersebut dikaji ulang dan menyarankan agar regulasi bea keluar dicabut.