Hasil evaluasi tim Kementerian Kelautan dan Perikanan menemukan, tidak semua eksportir benih lobster memenuhi persyaratan. Pemerintah diminta fokus membenahi budidaya.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Kementerian Kelautan dan Perikanan tengah mengevaluasi 65 perusahaan eksportir benih bening lobster menyusul penghentian sementara penerbitan surat penetapan untuk ekspor. Berdasarkan hasil evaluasi sementara, tidak semua perusahaan itu memenuhi persyaratan.
Penghentian sementara ekspor benih lobster ditempuh sebagai tindak lanjut kasus dugaan suap perizinan usaha budidaya dan ekspor benih lobster. Dalam kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini menyatakan, evaluasi, di antaranya mencakup pelaksanaan budidaya pembesaran lobster, perizinan budidaya, perizinan ekspor benih, hingga penentuan kuota ekspor benih.
Dari 65 perusahaan itu, baru 41 perusahaan yang telah mengekspor benih lobster. Dari 41 perusahaan itu, izin ekspor 12 perusahaan dihentikan sementara karena terindikasi memanipulasi data. Dokumen ekspor memuat 1,5 juta ekor, tetapi sebenarnya 2,7 juta ekor (Kompas, 23/9/2020).
”Yang pasti, tidak semua (perusahaan eksportir) bisa diloloskan jadi eksportir, saya melihat di beberapa lokasi perusahaan itu tidak memenuhi persyaratan budidaya,” kata Zaini, Senin (7/12/2020).
Ekspor benih lobster diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 yang ditetapkan 4 Mei 2020. Sesuai peraturan ini, ekspor, antara lain, mensyaratkan penetapan kuota dan lokasi penangkapan benih sesuai hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan setiap tahun.
Eksportir semestinya telah membudidayakan lobster di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat atau pembudidaya setempat, memperoleh benih dari nelayan kecil yang terdaftar, dan melepasliarkan sebagian lobster hasil panen.
Menurut Zaini, eksportir benih masih membutuhkan waktu untuk ekspor, yakni setelah budidaya berhasil. Ia mengakui, ada permintaan dari beberapa kalangan dan nelayan agar ekspor benih lobster dibuka lagi. Namun, eksportir benih wajib melakukan budidaya.
Tidak adil jika benih lobster yang dibudidayakan oleh perusahaan hanya 15.000 ekor, tetapi yang diekspor jutaan ekor. ”Eksportir benih lobster wajib melakukan budidaya supaya tidak liar,” katanya.
Di sisi lain, pihaknya tengah mengevaluasi komposisi jumlah benih lobster tangkapan yang wajib dibudidayakan dan boleh diekspor. Potensi benih lobster di Indonesia ditaksir 418 juta ekor per tahun, sedangkan kebutuhan benih untuk budidaya sekitar 10 juta ekor per tahun.
Pihaknya sedang mengkaji batasan kuota ekspor ke Vietnam. ”Kami tak akan gegabah, perbaiki sistem dulu sehingga ekspor benih lobster sesuai dengan yang diinginkan. Celah-celah (pelanggaran) ditutup,” kata Zaini.
Fokus budidaya
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati berpendapat, pemerintah perlu fokus membenahi tata kelola budidaya sebelum membuka kembali ekspor benih lobster. Pembenahan harus mencakup upaya mengoptimalkan budidaya lobster dengan memanfaatkan keramba-keramba yang telantar dan terbengkalai sehingga tidak memicu pembukaan lahan secara masif yang mengganggu daya dukung lingkungan.
Sejak keran ekspor benih dibuka, pembudidaya lobster seakan dibiarkan bertarung dengan eksportir untuk mendapatkan benih lobster. Nelayan penangkap benih lebih cenderung memasok benihnya ke eksportir karena harga jual lebih tinggi. Ada kecenderungan perdagangan benih lobster hanya untuk mengejar keuntungan cepat dan sesaat ketimbang mengembangkan budidaya lobster yang memiliki nilai tambah jauh lebih tinggi.
Susan mengingatkan, alih-alih menekan penyelundupan benih lobster, kebijakan pembukaan keran ekspor benih lobster nyatanya tak mampu membendung penyelundupan. Pembukaan keran ekspor bahkan memicu kasus korupsi yang melibatkan oknum pejabat negara dan pelaku usaha.
”Kalau kita belum bangkit dengan budidaya lobster dan tata kelola yang baik, jangan pernah bermimpi untuk ekspor benih lobster karena ruang paling menguntungkan hanya akan dinikmati segelintir orang. Negara ini harus belajar bahwa sekali ekspor (benih dibuka), maka terjadi korupsi berjemaah,” katanya.
Upaya menekan penyelundupan benih lobster seharusnya dilakukan dengan penegakan hukum. Dibukanya keran ekspor benih dinilai hanya melegalkan penyelundupan benih melalui mekanisme perizinan. ”Akibatnya, ekspor benih secara hukum seolah sah, tetapi ujungnya sama-sama merusak,” katanya.
Secara terpisah, Ketua Umum Himpunan Pembudidaya Laut Indonesia Effendy Wong mengemukakan, kebijakan seharusnya menitikberatkan pada budidaya. Apabila ekspor benih tetap dipaksakan, langkah itu justru hanya akan menguatkan negara kompetitor yang selama ini mengandalkan benih dari Indonesia. Di sisi lain, penyelundupan benih harus diberantas.