Penyaluran BLT Dana Desa Diawasi Setiap Hari dan Dievaluasi Berlapis
Bantuan sosial rawan sekali diselewengkan. Kementerian Desa PDTT memperketat penyaluran dan pengawasan bantuan langsung tunai dari dana desa demi mencegah penyelewengan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Alokasi bantuan langsung tunai adari dana desa untuk periode Desember 2020 sebesar Rp 8,7 triliun. Pemerintah memastikan penyaluran BLT itu diawasi setiap hari dan dievaluasi secara berlapis.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar mengatakan, pengawasan penyaluran BLT dana desa dilakukan setiap hari dan dengan beberapa cara. Pertama, pemeriksaan harian oleh pendamping desa yang langsung ke aplikasi Kementerian Desa PDTT.
Kedua, pemeriksaan harian terhadap kepala desa oleh Tim Sapa Desa Kementerian Desa PDTT. Ketiga, pengecekan terhadap dinas pemberdayaan masyarakat desa di setiap kabupaten dan kota oleh seluruh pejabat eselon II Kementerian Desa PDTT.
”Selain itu, ada mekanisme penanganan pengaduan yang masuk dari Tim Sapa Desa, pengaduan langsung ke Kementerian Desa PDTT, atau lewat pemberitaan di media massa dan di media sosial,” kata Abdul Halim saat dihubungi di Jakarta, Minggu (6/12/2020).
Pengawasan penyaluran BLT dana desa dilakukan setiap hari dan dengan beberapa cara. Salah satunya pemeriksaan harian terhadap kepala desa oleh Tim Sapa Desa Kementerian Desa PDTT.
Hingga 3 Desember 2020, dana desa yang telah masuk ke rekening kas desa Rp 64,8 triliun dari alokasi tahun ini yang sebesar Rp 71,19 triliun. Dari total dana desa yang sudah masuk ke rekening kas desa, sebanyak Rp 44,5 triliun telah dibelanjakan dan tersisa Rp 26,6 triliun. Dari sisa itu telah dialokasikan untuk BLT bulan Desember 2020 sebesar Rp 8,7 triliun dan Rp 17,9 triliun untuk program Padat Karya Tunai Desa (PKTD).
Abdul Halim menambahkan, selain pengawasan, evaluasi terhadap penyaluran BLT dana desa juga dilakukan secara berlapis. Selain internal Kementerian Desa PDTT, evaluasi juga dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), donor independen, dan perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia.
Dalam seminar daring tentang penyaluran BLT dari dana desa yang diselenggarakan Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) dan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi), beberapa waktu lalu, terungkap ada temuan sejumlah aparat desa kebingungan dengan banyaknya aturan mengenai jaring pengaman sosial. Aturan itu khususnya tentang penggunaan dana desa untuk BLT. Selain itu, acuan data warga yang berhak menerima bantuan sosial dari Kementerian Sosial juga dianggap kurang mutakhir.
Menurut Sekretaris Jenderal Apdesi Agung Heri, sejumlah perangkat desa gagap merespons kebijakan pemerintah untuk menggunakan dana desa sebagai BLT. Kebingungan tersebut terletak pada panduan yang diterbitkan, antara lain, oleh Kementerian Sosial, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Desa PDTT. Begitu pula saat menentukan kriteria penerima BLT dana desa.
”Acuan yang diberikan Kementerian Sosial tidak sama dengan kriteria menurut masyarakat di desa yang bersangkutan. Kebijakan dibolehkannya dana desa untuk penyaluran BLT juga memaksa aparat desa mengubah anggaran pendapatan dan belanja desa,” ucap Agung.
Acuan data warga yang berhak menerima bantuan sosial dari Kementerian Sosial dianggap kurang mutakhir.
Manajer Program Pattiro Agus Salim menyatakan, perlu koordinasi lintas kementerian untuk menghindari tumpang tindih regulasi terkait penggunaan dana desa untuk BLT. Tiga kementerian yang dimaksud adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa PDTT, dan Kementerian Keuangan. Koordinasi tersebut diperlukan untuk merumuskan kembali kebijakan BLT dana desa di 2021 seandainya diperlukan.
BLT dana desa tahun ini telah menyasar lebih dari 8 juta keluarga penerima manfaat (KPM) yang tersebar di 74.335 desa. Profil penerima BLT dana desa tersebut, antara lain, 2,5 juta perempuan kepala keluarga dan 286.163 KPM yang memiliki anggota keluarga penyandang penyakit kronis dan menahun, serta sekitar 7 juta KPM dari kelompok petani.
Penerima lainnya berasal dari kelompok nelayan sebanyak 323.803 KPM. Selain itu, ada juga penerima dari kalangan buruh pabrik, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta guru.