Presiden: Jangan Cepat Puas, Kita Masih Tertinggal
Selain belum mengoptimalkan segenap potensi yang ada, Indonesia dinilai masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain dalam menangkap peluang pasar ekspor. Presiden Joko Widodo berpesan agar tidak cepat berpuas diri.
Oleh
M Paschalia Judith J / Anita Yossihara
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo berharap jajarannya dan para pelaku usaha untuk tidak cepat berpuas diri atas kinerja ekspor Indonesia. Sebab, selain memiliki potensi produk, kreativitas, kualitas, dan pasar yang besar, Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain.
”Kita tidak boleh cepat puas pada capaian saat ini karena potensi pasar ekspor yang belum tergarap masih banyak, masih sangat besar. Kita juga masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain dalam menangkap peluang ekspor,” kata Presiden saat berpidato pada pelepasan produk ekspor ke pasar global tahun 2020 dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (4/12/2020).
Acara itu digelar secara virtual dan diikuti oleh peserta dari 133 perusahaan, baik skala besar maupun kecil, yang tersebar di sejumlah kota di 16 provinsi. Pelepasan ditandai dengan jalannya truk kontainer di setiap lokasi yang di antaranya berada di Lamongan, Boyolali, Bandung, Jakarta, Pekanbaru, Medan, Denpasar, Bontang, Makassar, dan Manokwari.
Dalam pidatonya, Presiden menegaskan bahwa salah satu kunci untuk memperbaiki perekonomian nasional adalah dengan meningkatkan ekspor. Tak hanya bertujuan membantu pelaku usaha untuk tumbuh dan membuka lapangan kerja, peningkatan ekspor juga penting untuk menambah devisa serta mengurangi defisit neraca perdagangan.
Sebenarnya, menurut Presiden, neraca perdagangan Indonesia sepanjang Januari-Oktober 2020 surplus hingga 17,07 miliar dollar AS. Kondisi itu bisa dikatakan baik. Sebab, surplus terjadi saat pandemi Covid-19 belum sepenuhnya terkendali dan perekonomian global sedang lesu. Namun, Presiden meminta jajarannya untuk tidak cepat berpuas diri.
Presiden mencontohkan, pada 2019, Indonesia tercatat sebagai produsen kopi terbesar keempat di dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Namun, Indonesia hanya menempati posisi ke-8 eksportir kopi terbesar di dunia, kalah dari Brasil, Swiss, Jerman, Kolombia, bahkan Vietnam.
”Jadi, potret kinerja ekspor kopi Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan Vietnam yang pada 2019 mencapai 2,22 miliar dollar AS. Sementara kinerja ekspor kopi Indonesia tahun 2019 berada di angka 883,12 juta dollar AS,” ujarnya.
Begitu pula dengan komoditas ekspor lain, seperti garmen. Indonesia adalah produsen garmen terbesar ke-8 di dunia, tetapi hanya jadi eksportir garmen urutan ke-22 dunia. Indonesia juga dikenal sebagai produsen perikanan terbesar kedua di dunia, tetapi ekspor masih berada di peringkat ke-13 dunia.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyatakan, pelepasan produk ekspor tersebut merupakan upaya meningkatkan ekspor nonmigas serta memulihkan perekonomian nasional di tahun 2021.
Menurut dia, pada ekspor kali ini, sejumlah pelaku usaha mencatatkan ekspor perdana, sebagian pelaku usaha mendiversifikasi produknya. Dari total 133 pelaku usaha, ada 54 pelaku usaha kecil menengah yang ikut dalam ekspor kali ini, 7 pelaku usaha di antaranya baru pertama kali ekspor dengan produk makanan olahan seperti emping melinjo, jamu herbal, kemiri olahan, dan cengkeh.
Menurut Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri Indonesia sekaligus Kepala Sekolah Ekspor Handito Joewono, ada dua aspek pembentuk daya saing produk, yakni biaya dan keunggulan. Dalam mengembangkan daya saing, Indonesia mesti fokus pada produk-produk yang memiliki keunggulan komparatif, seperti produk dari sektor pertanian, perkebunan, serta kelautan dan perikanan.
Setelah memilih dan fokus pada produk-produk yang memiliki keunggulan komparatif, Indonesia membangun keunggulan kompetitifnya dengan meningkatkan kualitas melalui inovasi dan teknologi serta mengefisiensikan biaya. Efisiensi itu membutuhkan bantuan pemerintah, khususnya dalam pemangkasan ongkos logistik serta biaya tak terduga.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, keragaman industri penyokong pengolahan bahan mentah sumber daya alam yang ada di Indonesia juga menjadi keunggulan komparatif. Keunggulan ini dapat menarik investor yang berdampak pada hilirisasi industri dan keterlibatan Indonesia dalam rantai pasok global.