Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengubah strategi agar pariwisata dapat bertahan di tengah pandemi dan tumbuh secara berkualitas dan berkelanjutan. Tahun depan, pelaku usaha ditargetkan ikuti sertifikasi.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah membenahi strategi industri pariwisata agar dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19. Sektor yang paling terpuruk akibat pandemi ini diharapkan dapat tumbuh lebih berkualitas dan berkelanjutan.
Tahun depan, semua pelaku usaha di sektor pariwisata ditargetkan sudah terdaftar untuk mengikuti sertifikasi CHSE (cleanliness, health, safety, and environment sustainability). Sasarannya adalah usaha pariwisata, fasilitas terkait, lingkungan masyarakat, serta destinasi pariwisata guna memberikan jaminan kepada wisatawan dan masyarakat bahwa produk dan pelayanan yang diberikan sudah memenuhi protokol kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio, Kamis (3/12/2020), mengatakan, momentum pandemi mendorong perlunya restrategi besar-besaran untuk membenahi dunia pariwisata ke depan. Pariwisata yang selama ini lebih berorientasi pada kuantitas atau target jumlah wisatawan sebanyak-banyaknya akan berfokus pada pariwisata yang berkualitas.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menggandeng konsultan asing untuk memberi masukan perbaikan strategi pariwisata berkualitas. Menurut Wishnu, sejumlah negara telah memakai konsultan asing untuk menyusun strategi pariwisata di tengah pandemi.
”Kita harus merendah dan menerima pemikiran baru yang terjadi di luar. Jangan berpuas diri dengan apa yang sudah kita capai selama ini. Potensi kita sangat luar biasa kalau bisa dikembangkan dan distrategikan dengan baik,” kata Wishnu.
Menurut dia, pariwisata berkualitas sebenarnya sudah menjadi agenda yang tercantum di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Namun, pandemi makin meyakinkan bahwa perubahan strategi secara besar-besaran harus segera dilakukan.
Ia membandingkan, Indonesia dengan jumlah wisatawan sebanyak 16,11 juta orang pada 2019 menghasilkan devisa di bawah 20 miliar dollar AS. Sementara, di Australia, dengan jumlah wisatawan 10 juta orang pada tahun yang sama, devisa yang dihasilkan mencapai 45 miliar dollar AS.
”Artinya, belanja turis per kunjungan di negara lain itu sangat banyak. Kualitas di atas kuantitas itu yang harus kita kembangkan, bukan hanya mengandalkan jumlah kunjungan,” ujar Wishnutama.
Selama pandemi, pariwisata menjadi sektor yang paling terpuruk, selain transportasi dan perhubungan. Meskipun aktivitas ekonomi mulai bergerak, kunjungan wisatawan, khususnya mancanegara, masih landai beberapa bulan terakhir.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kunjungan wisatawan mancanegara per Oktober 2020 mencapai 158.200 orang. Jumlah ini naik tipis, yakni 4,57 persen, dibandingkan September 2020, tetapi anjlok 88,25 persen dibandingkan jumlah kunjungan pada Oktober 2019.
Sejak awal tahun ini hingga Oktober 2020, ada 3,718 juta kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia, jauh di bawah jumlah kunjungan selama Januari-Oktober 2019 yang mencapai 13,449 juta kunjungan.
Tren kunjungan wisatawan domestik mulai terasa, tetapi BPS belum rampung mengelola data kunjungan wisatawan lokal selama pandemi. Macetnya roda pariwisata salah satunya disebabkan oleh belum adanya jaminan rasa aman dan percaya bagi wisatawan untuk bepergian selama pandemi Covid-19.
Target sertifikasi
Penanggung jawab kegiatan sosialisasi dari Kemenparekraf, Herbin Saragi, mengatakan, tahun depan, semua pelaku usaha di industri pariwisata harus sudah menerapkan protokol kesehatan dan terstandardisasi CHSE.
Kemenparekraf mencatat, pendaftaran yang masuk dari pelaku usaha untuk mengikuti sertifikasi mencapai 10.000 orang. Dari jumlah tersebut, pemerintah menargetkan, 6.600 orang pelaku usaha akan tersertifikasi tahun ini. Sejauh ini, 3.728 pelaku usaha sudah diaudit dan menerima sertifikat CHSE.
”Tidak bisa hanya sebagian, tidak bisa sendiri-sendiri. Standarnya semua harus sama. Tahun ini targetnya masih 6.600 orang, tetapi kami harap tahun depan semua pelaku usaha sudah mendaftar dan mengikuti sertifikasi,” kata Herbin dalam acara Forum Indonesia MICE and Event Industry Summit 2020 yang digagas Indonesia Professional Organizers Society (IPOS).
Sertifikasi CHSE dimaksudkan memberi jaminan kepada wisatawan dan masyarakat bahwa produk dan pelayanan yang diberikan telah memenuhi protokol kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan. Sertifikasi ini diberikan kepada pelaku usaha pariwisata, destinasi wisata, komunitas atau lingkungan masyarakat, serta usaha atau fasilitas lain yang masih terkait.
Sertifikasi CHSE dimaksudkan memberi jaminan kepada wisatawan dan masyarakat bahwa produk dan pelayanan yang diberikan telah memenuhi protokol kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan.
Seritifikasi CHSE terdiri dari tiga tahap, yaitu penilaian mandiri, deklarasi mandiri, lalu penilaian dan pemberian sertifikat. Tahap terakhir termasuk proses audit dan uji verifikasi ke lapangan. Pelaku usaha dan pelaku pariwisata diimbau mendaftar secara mandiri untuk mengikuti tahapan sertifikasi. Sosialisasi pun terus digencarkan ke seluruh pelaku usaha.
Gencarkan sosialisasi
Wakil Rektor Universitas Prasetiya Mulya Agus Soehadi mengatakan, industri pariwisata akan menjadi sektor yang tumbuh paling cepat setelah Covid-19 kelak berlalu. Sejumlah riset dan survei menunjukkan, mayoritas masyarakat sudah tidak sabar ingin kembali berwisata dan berjalan-jalan setelah pandemi. Namun, untuk saat ini, industri pariwisata memang perlu berbenah terlebih dahulu menuju pariwisata berkualitas.
”Rasa aman dan nyaman harus dikedepankan agar orang tidak takut untuk berwisata. Protokol kesehatan menjadi keniscayaan dan harus dijadikan strategi berusaha paling utama di era pandemi. Pengalaman juga menjadi kunci penting agar wisatawan mau kembali lagi,” kata Agus.
Di sisi lain, sosialisasi harus dilakukan lebih gencar, bukan hanya di hotel-hotel dan ke perwakilan asosiasi pariwisata atau pemerintah daerah, melainkan hingga mencapai kantong-kantong masyarakat yang belum terjangkau. Keamanan dan kenyamanan berwisata tidak hanya bergantung pada layanan destinasi wisata, tetapi juga komunitas masyarakat yang ada di sekitar daerah wisata.
Herbin mengakui, saat ini sosialisasi belum menyentuh kantong-kantong masyarakat di daerah destinasi wisata karena keterbatasan dari pihak pemerintah pusat. Ke depan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menggencarkan sosialisasi di level masyarakat.
”Tangan kami kurang panjang untuk menjangkau sampai ke masyarakat. Jadi, kami akan kerja sama dengan pemerintah daerah. Mereka yang paling paham kondisi masyarakat setempat,” katanya.