Kenaikan harga batubara diharapkan menjadi pertanda pulihnya ekonomi sejumlah negara yang sempat terpuruk akibat pandemi Covid-19. Namun, peningkatan nilai tambah batubara di dalam negeri tetap harus diterapkan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menetapkan harga batubara acuan bulan Desember 2020 sebesar 59,65 dollar AS per ton atau naik dari bulan November 2020 yang sebesar 55,71 dollar AS per ton. Kenaikan ini dipicu salah satunya oleh meningkatnya permintaan pasar, terutama dari negara Jepang, India, China, dan Korea Selatan. Kenaikan permintaan batubara bisa menjadi pertanda mulai pulihnya perekonomian global.
Menurut Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agung Pribadi, selain permintaan pasar batubara naik, faktor lain yang menjadi pemicu adalah adanya kerja sama jual beli batubara asal Indonesia dengan China. Kenaikan harga batubara ini seakan menjadi sinyal positif dari perekonomian yang sempat lesu akibat pandemi Covid-19. Sejak September 2020, harga batubara pulih perlahan.
”Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan India sedang gencar mengimpor batubara asal Indonesia untuk memenuhi pasokan energi di negara tersebut. Ini menjadi pertanda bahwa industri di negara-negara tersebut mulai pulih,” ujar Agung saat dihubungi, Jumat (4/12/2020).
Di awal tahun ini, harga batubara dibuka pada angka 65,93 dollar AS per ton. Harga batubara terus merangkak naik hingga Maret 2020 menjadi 67,08 dollar AS per ton. Pandemi Covid-19 yang mengakibatkan pergerakan barang dan jasa dibatasi secara ketat di banyak negara menjerumuskan harga batubara hingga di level 49 dollar AS per ton pada September 2020.
Pandemi Covid-19 yang mengakibatkan pergerakan barang dan jasa dibatasi secara ketat di banyak negara menjerumuskan harga batubara hingga di level 49 dollar AS per ton pada September 2020.
Sementara itu, dalam siaran pers Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), telah terjadi kesepakatan ekspor batubara asal Indonesia dengan China Coal Transportation and Distribution (CCTD) pada akhir November lalu. Kesepakatan diwujudkan lewat penandatanganan kerja sama secara virtual.
Beberapa perusahaan batubara Indonesia yang terlibat dalam kerja sama ini adalah PT Adaro Energy Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Kideco Jaya Agung, PT Indo Tambangraya Megah, PT Multi Harapan Utama, PT Berau Coal Energy Tbk, dan PT Toba Bara Sejahtera Tbk.
Dalam kerja sama tersebut, APBI dan CCTD sepakat dalam hal kerja sama jual beli batubara sebanyak 200 juta ton di 2021. Nilai kesepakatan tersebut mencapai 1,46 miliar dollar AS. Kerja sama tersebut disepakati akan berlangsung selama tiga tahun.
”Kesepakatan ini diharapkan memberi manfaat bagi pelaku industri batubara dalam kepastian ekspor batubara Indonesia ke China dan menjadi sentimen positif bagi pemulihan ekonomi di Indonesia,” ujar Ketua APBI Pandu Sjahrir.
Dalam kesepakatan itu, kata Pandu, ada kesepakatan untuk penetapan indeks harga batubara yang dapat dinegosiasikan secara berkala. Selain itu, kuantitas batubara Indonesia yang diekspor ke China akan ditinjau setiap tahunnya. Nilai ekspor batubara Indonesia ke China dalam kurun Januari sampai September 2020 mencapai 4,9 miliar dollar AS atau lebih rendah dari periode yang sama tahun 2019 yang senilai 5,8 miliar dollar AS.
Nilai ekspor batubara Indonesia ke China dalam kurun Januari sampai September 2020 senilai 4,9 miliar dollar AS atau lebih rendah dari periode yang sama tahun 2019 yang senilai 5,8 miliar dollar AS.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyampaikan bahwa pemerintah akan memberikan insentif royalti nol persen bagi perusahaan batubara yang berinvestasi di sektor hilirisasi batubara. Hilirisasi tersebut berupa gasifikasi batubara menjadi dimetil eter (DME) atau pengolahan batubara menjadi metanol. Produk DME bisa digunakan menggantikan fungsi elpiji.
”Royalti hanya diberikan untuk volume batubara yang digunakan dalam proyek hilirisasi. Di luar itu, tetap dikenai royalti sesuai ketentuan,” ujar Arifin.
Arifin menambahkan bahwa kebijakan royalti nol persen tersebut diberikan lantaran ongkos investasi hilirisasi batubara di Indonesia terbilang mahal. Untuk menghasilkan DME sebanyak 1,5 juta ton per tahun, perusahaan membutuhkan investasi sebesar hampir 2 miliar dollar AS atau setara Rp 28,2 triliun. Selain itu, hanya hilirisasi batubara yang merupakan proyek strategis nasional atau menghasilkan produk strategis yang berhak memperoleh royalti nol persen.
Pemerintah akhir-akhir ini mendorong perusahaan tambang batubara untuk melirik proyek hilirisasi batubara menjadi DME. DME ditujukan untuk mengurangi impor elpiji di mana dari 7 juta ton elpiji yang dikonsumsi di Indonesia, sebanyak 70 persen diperoleh dari impor. Batubara yang digunakan untuk proyek hilirisasi adalah batubara kadar rendah. Dari sumber daya batubara Indonesia sebesar 149 miliar ton, sekitar 30 persen atau 44,7 miliar ton adalah batubara kadar rendah.