Gema Pesan Kesetaraan Menggedor lewat Senyap
Pandemi Covid-19 memukul setiap orang, termasuk penyandang disabilitas. Beragam gerakan dari pelaku bisnis pun membuka kesempatan bagi mereka untuk berkarya.
Di balik kilap bening plastik mika pelindung wajah, mimik Debby berubah-ubah dan bibirnya kerap menyunggingkan senyum. Tangan dan jarinya bergerak lincah dalam menyuratkan kata-katanya. Ditemani mesin kasir, dia melayani pelanggan di restoran cepat saji.
Gerak-gerik Debby terekam dalam video yang diunggah Burger King Indonesia di akun Instagram resminya. Dia menjadi karyawan gerai di Sunset Road, Bali. Di tengah video itu, seorang pelanggan berkacamata dan berkemeja putih memuji pelayanan Debby.
Video Debby merupakan salah satu rangkaian konten kampanye yang dibagikan Burger King Indonesia dalam rangka Hari Disabilitas Internasional yang diperingati pada 3 Desember 2020.
”Kami ingin menyampaikan pesan untuk mewujudkan equal opportunity for everyone (kesempatan setara bagi semua orang). Pesan ini turut kami sampaikan kepada semua pelaku bisnis,” tutur Tanushri Rastogi dari Brand and Marketing Team Burger King Indonesia saat dihubungi, Rabu (2/12/2020).
Kami ingin menyampaikan pesan untuk mewujudkan equal opportunity for everyone (kesempatan setara bagi semua orang).
Mulanya, Burger King Indonesia merekrut dua teman tuli di gerai di Bali pada 2018. Hingga saat ini, terdapat lebih dari 100 teman tuli yang bergabung di sejumlah gerai di Bali, Makassar, dan Jakarta.
Teman tuli merupakan sebutan bagi orang yang memiliki disabilitas pada pendengaran. Kata ”teman” membawa pesan kesetaraan dalam berbagai aspek kehidupan bahwa mereka hidup dan bekerja bersama orang normal yang kerap disebut sebagai teman dengar.
Selang dua tahun, kehadiran teman tuli membawa kebahagiaan di lingkup kerja Burger King Indonesia. Survei pun mengonfirmasi kepuasan pelanggan terhadap pelayanan mereka. Bonusnya, kinerja penjualan di gerai-gerai tempat mereka bekerja pun positif.
Berdasarkan perjalanan itu, Burger King Indonesia memutuskan, mayoritas teman tuli menjalankan gerai di gedung Skyline, Jakarta, per awal Desember ini. ”Kalau ke sana, akan terasa energi positif yang menyenangkan,” ujar Tanushri.
Biasanya, pelatihan bagi karyawan gerai Burger King Indonesia berlangsung selama dua pekan. Pelatihan bagi teman tuli membutuhkan waktu 4-6 pekan bergantung dari kinerjanya. Desain pelatihan dan prosedur pun sudah disesuaikan sehingga teman tuli dapat mengikutinya. Beruntungnya, manajer pelatihannya dapat menggunakan bahasa isyarat.
Pandemi Covid-19 semakin menguatkan pentingnya kesetaraan kesempatan dalam roda perekonomian bagi semua orang. Menurut Tanushri, pandemi berdampak pada tiap orang. Oleh sebab itu, jangan sampai melupakan teman tuli.
Kampanye bergaung sejak 1 Desember 2020 lewat surat terbuka Burger King Indonesia kepada seluruh pelaku bisnis restoran dan kedai makan se-Tanah Air.
”Kami sadar, ada pebisnis yang sudah berniat (untuk menggandeng penyandang disabilitas) tetapi masih dilanda kekhawatiran. Kampanye kami ingin menunjukkan kinerja yang positif dari karyawan teman tuli. Kami pun menyediakan toolkit di laman SunyiBersuara.id bagi perusahaan lain yang ingin merekrut teman tuli. Ayo kita mulai bersama,” tuturnya.
Pendiri gerakan Sahabat Isyarat, Ayu Medina, menyatakan, diksi ”teman tuli” lebih dipilih dan disukai dibandingkan ”tunarungu”. Mereka ingin menekankan perbedaan cara komunikasi dengan ”teman dengar” yang bisa berkomunikasi dengan mendengarkan.
”Ada juga budaya tuli yang membuat mereka dapat menelepon, memanggil orang lain, dan memperoleh atensi,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (3/12/2020).
Baca juga: Ekosistem Digital Bantu Berdayakan Penyandang Disabilitas
Mandiri
Begitu mendengar ada lowongan bagi pengemudi tuli pada tahun lalu, Mira Ratnawulan yang tinggal di Jawa Barat langsung melamarnya. Dia sangat terbantu dengan adanya kesempatan ini karena tidak perlu lagi bergantung kepada orangtua saya dan bisa mandiri secara ekonomi.
”Rasanya senang sekali bisa memiliki penghasilan sendiri untuk menghidupi saya dan keluarga,” tuturnya.
Selama proses perekrutan, Mira merasa terbantu, utamanya dalam mempelajari etika berkendara. Aplikasi dan teknologi yang menopang sistem kerja menyokongnya dan membuatnya merasa nyaman dalam bekerja.
Mira merupakan salah satu dari 200 lebih mitra penyandang disabilitas yang digandeng oleh Grab Indonesia. Menyambut Hari Disabilitas Internasional, Grab meluncurkan program peningkatan kapabilitas bagi penyandang disabilitas berupa pelatihan dalam memanfaatkan fitur GrabKios.
Gilang Rizky Hendraya, salah satu peserta program dari Jawa Tengah, memiliki motivasi untuk mengembangkan diri dan memperoleh penghasilan secara mandiri. Dia mengikuti pelatihan agar dapat mendalami fitur GrabKios sehingga dapat menawarkan produk digital seperti pulsa dan data, pembayaran tagihan, bahkan fasilitas kirim uang ke komunitas dan teman-temannya.
Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi memaparkan, pandemi Covid-19 berdampak pada 80,9 persen penyandang disabilitas. Sebanyak 86 persen penyandang disabilitas yang bekerja di sektor informal mengalami penurunan pendapatan sebesar 50-80 persen.
”Di tengah situasi ini, teknologi dan ekonomi digital dapat menjadi solusi, khususnya untuk menjalani usaha mikro, kecil, dan menengah,” ujarnya.
Pandemi Covid-19 berdampak pada 80,9 persen penyandang disabilitas. Sebanyak 86 persen penyandang disabilitas yang bekerja di sektor informal mengalami penurunan pendapatan sebesar 50-80 persen.
Baca juga: Perbaiki Data Penerima Bantuan Penyandang Disabilitas
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) 2018, jumlah penyandang disabilitas usia dua tahun ke atas sebesar 12,3 persen dari total penduduk Indonesia. Angka ini setara dengan 31,2 juta jiwa penduduk. Mayoritas penyandang disabilitas merupakan usia produktif (15-64 tahun) sebesar 62,5 persen. Kemudian disusul usia 65 tahun ke atas (27,5 persen) dan usia 2-17 tahun (9,9 persen).
BPS juga mencatat, mayoritas (69,9 persen) kaum difabel usia produktif bekerja di sektor informal. Mereka rata-rata bekerja di bidang jasa (46,4 persen), seperti pemijat, penjahit, dan kurir. Sementara sisanya ada di pertanian (43,3 persen) dan industri (10,3 persen).
Baca juga: Potret Kaum Disabilitas di Masa Pandemi
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan menilai, di tengah pandemi Covid-19, ekosistem ekonomi digital menunjukkan taringnya, terlebih karena inklusivitas. Oleh sebab itu, setiap pihak yang tercakup dalam ekosistem mesti berinovasi menggandeng penyandang disabilitas.
”Ini sebagai wujud tersedianya kesempatan yang setara bagi tiap orang dalam memajukan perekonomian digital,” katanya.
Founder Konekin, Marthella Rivera Roidatua, mengatakan, dalam berkolaborasi dengan Grab, Konekin membantu memvalidasi 60 peserta yang mengikuti pelatihan. Saat ini, sejumlah platform digital sudah terbuka bagi penyandang disabilitas untuk berkarya dan memperoleh pendapatan.
”Pengembangan sistem aplikasi agar dapat lebih mudah diakses menjadi hal yang penting,” katanya.
Terbukanya pintu kesempatan bagi mereka yang berhasrat ingin mandiri lewat karya, kerja, dan usaha menjadi potret yang menggedor sekaligus menenteramkan di tengah pandemi Covid-19. Kesetaraan dalam berkarya dan memperoleh rezeki merupakan hak setiap insan, tanpa pandang bulu.