Agar bisa keluar dari jebakan negara menengah, Indonesia harus memiliki sumber daya manusia yang inovatif. Untuk itu, perlu pembangunan yang berkualitas dan politik yang universalitas.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
Kompas/AGUS SUSANTO
Foto udara proyek Jalan Tol Cibitung-Cilincing (JTCC) di Desa Srimahi, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (16/7/2020).
JAKARTA,KOMPAS — Agar bisa keluar dari jebakan negara menengah, Indonesia harus memiliki sumber daya manusia yang inovatif. Untuk itu, perlu pembangunan yang berkualitas dan politik yang universalitas.
Hal ini mengemuka dalam peluncuran buku Kiprah Lemhannas RI, Indonesia Menoedjoe 2045: SDM Unggul adalah Koentji, dan Skenario Indonesia 2035, yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Kamis (3/12/2020. Selain ketiga buku itu, ada pula pra-peluncuran buku Tentara Kok Mikir? Inspirasi Out of the Box Letjen (Purn) Agus Widjojo.
Gubernur Lemhannas Agus Widjojo saat membuka acara mengatakan, buku-buku ini diharapkan bisa memotivasi bangsa Indonesia untuk lebih berprestasi. Indonesia punya nilai relevansi dan urgensi sangat tinggi dengan masa lalu, masa kini, dan akan bertahan hingga masa depan. ”Bagaimana SDM (sumber daya manusia) Indonesia untuk menciptakan masa depan,” kata Agus.
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro yang menjadi pembicara kunci mengatakan, SDM yang unggul harus memiliki kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi dan inovasi.
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro, Senin (5/10/2020), saat wawancara tatap muka daring melalui Zoom dengan Kompas.
Membangun Indonesia menjadi negara maju tidak mudah dari posisi Indonesia sebagai negara menengah. Untuk itu, perlu ada pembangunan ekonomi berkelanjutan dan ketahanan nasional yang tinggi. Kesempatan dalam beberapa tahun ke depan terbuka karena Indonesia mengalami bonus demografi, yaitu jumlah penduduk yang berusia muda dan produktif lebih besar dari yang tidak produktif. Akan tetapi, jumlah yang banyak harus juga berkualitas.
”Lebih susah dari middle income ke top income country, makanya lebih banyak yang gagal daripada berhasil,” kata Bambang.
Untuk mempersiapkan SDM unggul, ekonomi Indonesia harus berubah dari ekonomi berbasis sumber daya alam (SDA) ke ekonomi berbasis inovasi. Selama ini bangsa Indonesia sudah terlalu lama terbuai dengan SDA. Kebiasaan ini membuat bangsa Indonesia tidak inovatif dan ingin yang instan. Padahal, seharusnya ada inovasi untuk memberikan nilai tambah.
”Perlu ada triple helix, selama ini dana riset sangat kecil, yaitu hanya 0,25 persen dari PDB, bandingkan dengan Korea yang bisa di atas 4 persen per tahun,” kata Bambang. Hal ini membuat daya saing Indonesia berdasarkan Competitiveness Index berada di peringkat ke-50 dari 141 negara dan daya saing inovasinya berada di urutan ke-85 dari 131 negara.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Siswa kelas II di SDN Supit Urang 4 Lumajang, Kamis (03/12/2020), mengerjakan ujian akhir semester di rumahnya. Sekolahnya saat ini digunakan sebagai tempat pengungsian warga karena guguran awan panas Semeru.
Cecilia Sumarlin yang memaparkan buku Indonesia Menoedjoe 2045: SDM Unggul adalah Koentji dan Skenario Indonesia 2035 juga menyoroti SDM.
Ia menyoroti tolok ukur SDM unggul, yaitu penguasaan teknologi tidak hanya sebagai pengguna, tetapi juga pembuat. Selain itu, juga kemampuan berelasi, yaitu kemampuan kolaborasi dan menyelesaikan persoalan. Kreativitas didefinisikan sebagai kemampuan memiliki daya tahan, rasa ingin tahu tinggi, bisa melihat peluang, dan disiplin tinggi.
Perlu pemimpin transformatif
Ending Fadjar yang membahas buku Skenario Indonesia 2035 mengatakan, Lemhannas membuat perencanaan skenario untuk tahun 2035. Sebelumnya sudah ada perencanaan skenario untuk 2045. Namun, karena terjadi perubahan yang kian cepat bahkan anomali, diputuskan untuk melakukan peneropongan 15 tahun ke depan. Ada beberapa anomali, seperti pandemi, berkembangnya politik identitas, kelompok rendah nalar, konsensus empat pilar, dan generasi milenial.
Ending mengatakan, Lemhannas melihat ada dua faktor yang menjadi penentu masa depan Indonesia yaitu pembangunan dan politik. Kemungkinannya, apakah pembangunan berkualitas atau tidak berkualitas dan apakah politiknya bersifat identitas atau universalitas. Ada enam kekuatan yang memberi pengaruh, yaitu kepemimpinan, tata kelola, politik, kinerja ekonomi, pembangunan sosial, dan pengembangan teknologi.
SHARON UNTUK KOMPAS
Peletakan batu pertama sekolah vokasi di PT Gunung Raja Paksi dan penandatanganan nota kesepahaman (MOU) antara Sekretariat Jenderal Kementerian Perindustrian dan PT Gunung Raja Paksi, di Bekasi, Jumat (15/2/2019).
Berdasarkan empat kuadran yang terjadi, Lemhannas membuat empat skenario.
Pertama, skenario yang dinamakan Patah Pucuk. Skenario ini terjadi ketika pembangunan yang tidak berkualitas bersamaan dengan politik universalitas. Situasinya Indonesia terjebak dalam kelompok plutokrat. Kelompok plutokrat berorientasi jangka pendek dan populis demi melanggengkan kekuasaan. Stabilitas ekonomi rapuh dan pendidikan dan kesehatan terabaikan. Ruang partisipasi publik menurun.
Kemudian skenario terburuk yang dinamakan Zamrud Berserakan. Skenario terjadi saat pembangunan tidak berkualitas dan politik universalitas gagal dikembangkan. Situasinya, politik identitas menguat guna kontestasi kekuasaan, primodialisme lazim ditemukan, sementara ASN, Polri, dan TNI terpolarisasi. Manusia-manusia yang terbaik migrasi dan agama berada di atas pengetahuan. Akibatnya, Indonesia tercabik-cabik oleh konflik.
Selanjutnya, skenario yang terbaik, yaitu adanya pemimpin yang transformatif dan lintas generasi. Dengan pemimpin itu, kekuatan fiskal dan moneter dikerahkan untuk kesehatan dan pendidikan. Selain itu, ketahanan dan keberlanjutan ada di atas pertumbuhan. Akibatnya, produktivitas meningkat, reformasi birokrasi didorong, partisipasi publik tumbuh, kepercayaan publik menguat, masyarakat berpikiran terbuka, dan stabilitas kuat menghadapi guncangan.