Pendidikan Vokasi Didorong Pasok SDM Berkualitas untuk Kebutuhan Industri
Sektor pendidikan vokasi perlu terus memperbaiki kualitas, di samping berkolaborasi dengan pelaku industri dan usaha untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di masa depan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebutuhan industri dan usaha terhadap tenaga kerja yang menguasai teknologi terus meningkat terlebih setelah pandemi ini. Karena itu, sektor pendidikan vokasi perlu terus memperbaiki kualitas, di samping berkolaborasi dengan pelaku industri dan usaha.
Hal ini menjadi fokus pembicaraan dalam acara Kompas Talks yang mengangkat topik ”Pendidikan Vokasi Hadapi Industri Masa Depan” melalui akun Instagram harian Kompas, Rabu (2/12/2020). Direktur Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri (Mitras DUDI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ahmad Saufi menjadi narasumber.
Ia mengatakan, revolusi industri 4.0 telah mendorong pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), mesin pembelajar, dan otomatisasi dalam menghasilkan produk dan jasa. Pandemi Covid-19 mempercepat kebutuhan dan adaptasi teknologi tersebut.
”Ada distraksi ganda yang membuat kita berubah. Ini membuat ada banyak pekerjaan yang hilang, tetapi banyak juga yang baru,” tuturnya.
Perusahaan konsultan manajemen multinasional McKinsey, tahun lalu, menyebutkan ada 23 juta pekerjaan di Indonesia yang akan diambil alih robot dalam 11 tahun ke depan. Di satu sisi, ketersediaan pekerjaan justru akan bertambah hingga 46 juta.
Oktober lalu, World Economic Forum (WEF) dalam laporan The Future of Jobs Report 2020 menyebutkan, pelaku industri dan usaha mengakui, pandemi Covid-19 mempercepat digitalisasi (84 persen), pekerjaan jarak jauh (83 persen), dan otomatisasi (50 persen).
Tren tersebut diperkirakan akan menambah 97 juta pekerjaan baru di 2025. Jumlah tersebut akan menggantikan sekitar 85 juta pekerjaan yang hilang karena pembagian kerja antara manusia dan mesin.
”Contoh keahlian yang akan banyak dibutuhkan adalah membaca big data untuk menganalisis pasar. Lalu, pemasaran, yang tadinya kolot memakai jasa iklan sederhana, sekarang perlu pakai tekno augmented reality, dan sebagainya,” tuturnya.
Untuk itu, siswa sekolah yang mampu menguasai big data, kecerdasan artifisial, dan otomatisasi akan banyak dicari. Di samping itu, calon tenaga kerja juga perlu memiliki keahlian sosial atau soft skill, seperti kemampuan bekerja sama dan kolaborasi, serta berimprovisasi pada perubahan.
Pendidikan hardskill dan softskill, menurut dia, juga disediakan dalam kurikulum pendidikan vokasi. Seperti diketahui, saat ini ada 17.000 lebih lembaga kursus nongelar, 14.000 lebih sekolah menengah kejuruan, serta 2.200 lebih politeknik dan sekolah tinggi vokasi.
Lembaga pendidikan vokasi itu perlu dihubungkan dengan kebutuhan tenaga kerja pada 5.500 industri besar, sekitar 60.000 industri menengah, dan 63 juta lebih pekerjaan di sektor UMKM. Tidak hanya sebagai pekerja, pendidikan vokasi juga mampu mencetak wirausaha baru.
”Sejak 15 Juli 2020, Direktorat Kemitraan Penyelarasan Dunia Usaha dan Industri membuat Forum Pengarah Vokasi. Forum ini beranggotakan perwakilan Kadin (Kamar Dagang dan Industri) dan Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) yang memberi saran dan masukan cara mengelola vokasi, pemagangan, penyelarasan kurikulum, hingga peningkatan keahlian guru,” tuturnya.
Untuk meningkatkan keterhubungan antara kebutuhan industri dan lembaga pendidikan, tahun ini Kemendikbud juga telah meluncurkan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Program tersebut memberi hak bagi mahasiswa perguruan tinggi untuk belajar di luar program studi selama tiga semester.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J Supit berpendapat, pemerintah pun perlu membuat manpower planning (perencanaan tenaga kerja) untuk jangka panjang.
”Pemerintah perlu memetakan seperti apa permintaan barang dan jasa saat ini, lalu bagaimana kebutuhan tenaga kerjanya. Ini tentunya membutuhkan gerak cepat dan terarah,” tuturnya.
Perencanaan tenaga kerja juga diperlukan untuk mengantisipasi peningkatan jumlah pengangguran karena pemutusan hubungan kerja (PHK). Sejak pandemi, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia meningkat menjadi 9,77 juta orang. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Agustus 2020, menurut Badan Pusat Statistik, berada di angka 7,07 persen dari total angkatan kerja sebanyak 138,22 juta orang.