Industri Makanan Halal Paling Aman Terdampak Covid-19
Industri makanan halal bertahan di tengah pandemi Covid-19. Dibandingkan tahun lalu, penurunan permintaan sektor ini relatif kecil.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri makanan halal tergolong kokoh dan paling minim terdampak pandemi Covid-19. Makanan halal juga menjadi salah satu sektor yang berpeluang mengembangkan perekonomian Islam di masa depan.
DinarStandard, perusahaan riset dan lembaga penasihat yang berbasis di Amerika Serikat, meluncurkan Laporan Ekonomi Islam Global atau State of The Global Islamic Economy Report (SGIE) tahun 2020/2021. Dalam laporan ini terungkap bahwa jumlah pengeluaran umat Islam pada 2020 menyusut hingga 8 persen setelah sebelumnya tumbuh 3,2 persen. Pada 2019, umat Islam menghabiskan 2,02 triliun dollar AS untuk sektor makanan, farmasi, kosmetik, busana muslim, pariwisata, dan media.
Sektor yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19 adalah perjalanan pariwisata yang anjlok sampai 70 persen. Sementara, industri makanan halal menjadi sektor yang paling minim terdampak pandemi Covid-19 dengan penurunan hanya 0,2 persen.
”Perjalanan pariwisata turun 70 persen. Diikuti oleh sektor farmasi dan kosmetik yang turun 6,9 persen. Sektor makanan halal terdampak paling minim,” kata CEO dan Managing Director DinarStandard Rafi-uddin Shikoh dalam Konferensi Reimaging: Halal in Asia di Singapura, Rabu (2/12/2020).
Menurut Director of DinarStandard Reem El Shafaki, sektor makanan halal menjadi salah satu andalan untuk mengembangkan ekonomi Islam di masa depan. Apalagi, selama pandemi Covid-19 ini, makanan halal semakin diminati karena dinilai lebih aman dan menyehatkan.
”Investasi makanan halal semakin meluas. Makanan halal kini mudah ditemui di supermarket di Inggris. Produk-produk dari negara lain, seperti Nestle atau Ajinomoto, juga mengembangkan produk halalnya di Asia Tenggara,” katanya.
Tahun lalu, wiraswasta asal Semarang, Jawa Tengah, Puji Nastiti (28), pernah berkunjung ke Bangkok, Thailand, untuk berlibur. Menurut dia, Bangkok merupakan salah satu kota yang ramai dikunjungi wisatawan muslim. Ini terlihat dari turis berjilbab yang mudah ditemukan di sana.
Sayangnya, mencari makanan halal di Bangkok tidak semudah yang ia bayangkan. Terlebih di kawasan penjual makanan cepat saji. Setelah sempat berkeliling, ia akhirnya mendapatkan makanan halal, yakni Mango Rice, setelah bertanya pada pemandu wisatanya.
”Untungnya, saya ketemu sama penjual-penjual yang baik. Mereka selalu kasih tahu kalau makanan yang mereka jual mengandung daging babi atau non-halal lainnya. Tapi teman saya sempat makan sosis babi di sana karena tidak dikasih tahu penjualnya,” ujarnya.
Menurut Puji, ketersediaan makanan halal menjadi salah satu prasyarat utama dalam memilih destinasi pariwisata. Pertimbangannya datang ke Bangkok saat itu karena wisatawan muslim dari Indonesia kerap berkunjung ke sana. Ia berasumsi, tidak akan sulit menemukan makanan halal di kota tersebut.
Kembangkan pariwisata
Selain makanan halal, Reem juga menyampaikan terbukanya peluang pada sektor perjalanan ramah muslim. Saat ini, beberapa negara di Asia telah mengembangkan pariwisata ramah muslim. Misalnya Thailand yang memperkenalkan rute perjalanan baru untuk umat muslim. Belum lagi Korea Selatan yang telah menggelar pekan restoran halal hingga edisi keempat.
Peluang sektor mode, media, dan rekreasi juga masih terbuka. Saat ini banyak merek terkemuka di dunia yang memproduksi pakaian-pakaian muslim. Misalnya Speedo dan Nike yang meluncurkan pakaian renang untuk muslimah.
Dari sisi media dan rekreasi, Disney+ sudah menampilkan tokoh pahlawan super muslimah, yakni Ms Marvel.
SGIE juga merumuskan peluang skenario dalam ekonomi Islam global selama pandemi Covid-19 ini. Peluang tersebut ada yang memiliki sinyal kuat, ada juga yang lemah. Dalam sektor produk halal, misalnya, diprediksi akan terjadi pergeseran global pada rantai pasokan.
”Saat ini, rantai pasokan pada lima negara pengekspor terbesar seperti Amerika Serikat, India, Brasil, atau Rusia sangat terganggu akibat pandemi. Mereka kini mulai fokus pada sektor keamanan pangan dan farmasi,” kata Rafi.
Untuk sektor finansial islami, peluang digitalisasi perbankan menunjukkan sinyal yang kuat. Gaya hidup halal juga punya peluang dikembangkan, antara lain dengan muncul peluang dari gim daring kontekstual, meskipun sinyalnya lemah.
”Konsumen sekarang banyak beralih pada media daring. Hal ini menjadi peluang bagi sektor media dan rekreasi, khususnya gim daring,” ujar Rafi.
Indonesia peringkat empat
Dalam SGIE juga dicantumkan hasil evaluasi dari Indikator Ekonomi Islam Global atau Global Islamic Economy Indicator. Indikator ini bertujuan untuk mengukur sumbangsih ekosistem nasional terhadap pengembangan aktivitas bisnis dan perekonomian Islam.
Hasilnya, Malaysia menempati urutan pertama, diikuti oleh Arab Saudi (2), Uni Emirat Arab (3), Indonesia (4), dan Jordania (5). Malaysia unggul dalam berbagai indikator, seperti ekosistem finansial islami, makanan halal, finansial islami, perjalanan ramah muslim, serta farmasi dan kosmetik.
”Selain Malaysia, negara tetangga mereka, yakni Indonesia, juga cukup kuat dalam ekosistem ini. Sementara Arab Saudi masih bertahan pada peringkat dua,” tambah Rafi.
Negara lain yang juga melejit di sektor ini adalah Singapura yang untuk pertama kalinya berhasil menembus peringkat ke-15 dalam Indikator Ekonomi Islam Global tahun ini. Singapura dinilai cukup kuat dalam mengembangkan sektor makanan halal serta media dan rekreasi.
”Singapura telah menghasilkan lebih dari 255 miliar dollar AS per tahun dalam sektor perdagangan halal,” kata CEO CollabDeen Fateh Ali.
Founder Have Halal, Will Travel, Melvin Goh menyebutkan bahwa kawasan Asia Tenggara merupakan pemain penting dalam ekonomi Islam global. ”Thailand yang berperingkat ke-14 memiliki nilai ekspor halal di atas Malaysia. Mereka juga mempunyai 4,48 juta turis muslim pada 2019,” ujarnya.