Berbisnis dengan Hati, Cara Jitu Melanggengkan Usaha
Berbisnis hendaknya bukan semata mengejar kekayaan dan keuntungan pribadi, melainkan menjadi sarana membantu sesama. Berbisnis dengan hati inilah yang dilakukan Sudhamek AWS, Chairman PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
”Apakah prinsip berbisnis dan ajaran agama bisa disatukan? Apakah ajaran agama bisa diterapkan dalam bisnis?” Saat berusia 12 tahun, Sudhamek AWS mendengar ayahnya mengajukan pertanyaan itu kepada kakak-kakaknya.
Saat itu tahun 1968, pertanyaan dari sang ayah yang merupakan anggota Legiun Veteran Republik Indonesia tersimpan baik dalam memorinya. Tak hanya tersimpan, pertanyaan itu kemudian dijawab dengan pengalaman hidup Sudhamek.
Pertanyaan tersebut terus terngiang hingga krisis moneter tahun 1998 menyadarkan Sudhamek. Baginya, bukan soal bisa atau tidak, melainkan integrasi ajaran agama yang bersifat universal adalah sebuah keniscayaan untuk meraih kesuksesan dan keberlanjutan bisnis.
”Itulah yang saya temukan dalam perjalanan hidup saya. Di situ pulalah saya bertekad, apabila Kacang Garuda yang sekarang menjadi Garudafood ini berkembang, saya akan mempraktikkan hal tersebut (nilai universal) bagi semua karyawan,” kata Sudhamek, Rabu (2/12/2020).
Chairman PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk ini menceritakan pengalaman hidupnya secara virtual dalam peluncuran buku Mindfulness-Based Business: Berbisnis dengan Hati. Lewat buku yang ditulisnya tersebut, Sudhamek menyampaikan gagasan mengenai pentingnya menjaga keseimbangan sisi spiritualitas dalam pengelolaan bisnis atau organisasi.
Konsep mindfulness atau kesadaran agung, kata Sudhamek, merupakan prinsip praktik bisnis, termasuk berorganisasi dan menjalankan suatu profesi. Bukan semata mencapai keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya, melainkan bagaimana menumbuhkan benih kebaikan bagi kepentingan bersama.
”Bahkan sejatinya bisnis pun berdimensi vertikal karena apa yang diupayakan, pada saatnya, akan dipertanggungjawabkan di hadapan Yang Mahakuasa. Itulah mengapa saya memberi imbuhan ’agung’ dalam istilah mindfulness, karena ada dimensi kesadaran transendental pada Sang Mahaagung,” ujarnya.
Kesadaran secara utuh juga mengajak kita semua untuk merenungkan apa tujuan hidup ini. Bagi Sudhamek, tujuan hidup adalah menjadi orang yang lebih baik, kekayaan hanyalah sarana untuk kita berbuat lebih banyak kebaikan.
Sudhamek mengingatkan, mindfulness-based business bukan berarti diisi oleh malaikat, melainkan manusia yang bertekad menjalankan hidup dengan pola baru. Hidup dengan manajemen pikiran yang membuat kualitas batin menjadi lebih baik sehingga bisnis yang kita kerjakan akan sukses.
”Saya setiap sore, saya melakukan self-audit (pemeriksaan diri), dengan cara itu kualitas batin tambah baik sehingga tindakan semakin baik dan kita bisa sukses. Beda kalau ukurannya besar kecil (profit) karena serakah enggak akan ada habisnya. Semua ini logis, tinggal Anda mau tidak mempraktikkannya,” tuturnya.
Pendiri BenihBaik.com Andy F Noya menyampaikan, buku Mindfulness-based Business menunjukkan, bisnis dan nilai-nilai universal memang pada nyatanya bisa berjalan beriringan. Buku ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda, baik yang menjadi pebisnis maupun profesional.
”Banyak anak muda sekarang yang menjadi pebisnis, dalam usia 30 tahun sudah menjadi milioner. Ini baik karena mereka menciptakan lapangan kerja, tetapi di sisi lain, perusahaan juga harus bisa berdampak sosial,” kata Andy.
Perbedaan
Berbisnis dengan hati, dijelaskan Sudhamek, berbeda dengan berbisnis yang berorientasi pada profit. Jika selama ini dikenal prinsip berbisnis adalah mencari keuntungan besar dengan modal kecil, bisnis dengan hati melihat pada keberlanjutan usaha yang perlu dirawat bersama.
”Jangan berpikir sukses sendirian karena itu enggak akan langgeng. Bisnis didirikan bukan untuk satu dua tahun, kalau profit sebesar-besarnya itu pasti mengorbankan orang lain,” ucapnya.
Etika moralitas juga menjadi pembeda. Keuntungan dari bisnis yang berorientasi profit akan dianggap sebagai keuntungan pribadi yang dinikmati oleh dirinya sendiri. Sementara berbisnis dengan hati, keuntungan yang didapat dari hasil usaha akan digunakan untuk membantu orang lain.
Dari segi pendekatan, bisnis berorientasi profit akan sangat antroposentrik, memosisikan manusia sebagai spesies terpenting yang berhak untuk mengatur alam. Berbisnis dengan hati akan memosisikan manusia sebagai satu bagian dari ekosistem sehingga tidak bisa semena-mena.
”Secara paradigma juga demikian, bisnis seharusnya berpikir tentang kita, bukan diri sendiri. Mindfulness-based business ini bukan berarti berjalan dengan mudah, melainkan ketika mulai dipraktikkan, kita akan sama-sama merasakan manfaatnya,” kata Sudhamek.
Berlatar belakang sebagai aktivis, pengusaha, dan pejabat negara, Sudhamek memperlihatkan, mindfulness bisa diterapkan di empat dunia yang berbeda. Mulai dari komunitas bisnis, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi keagamaan dan lintas iman, serta pejabat negara sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Gagasan mindfulness-based business dipetakan Sudhamek menjadi delapan bab dalam bukunya. Mulai dari tercetusnya pemikiran spiritualitas dalam bisnis hingga langkah-langkah implementasi yang telah ia terapkan. Setiap bagian disertai dengan studi kasus yang dapat memperlihatkan mindfulness practices kepada pembaca sehingga lebih mudah dipahami.