Uang Beredar Meningkat Bukanlah Tanda Ekonomi Sudah Pulih
Peningkatan uang beredar bukanlah sinyal pemulihan ekonomi. Hal ini mengingat pendorong utama peningkatan uang beredar itu adalah kenaikan utang pemerintah.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerbitan surat utang yang secara jor-joran dilakukan pemerintah sepanjang tahun ini belum mampu menggerek geliat aktivitas ekonomi secara riil. Ini terlihat dari peningkatan uang beredar dalam arti luas pada Oktober 2020 yang tidak disertai dengan ekspansi kredit perbankan secara signifikan.
Bank Indonesia mencatat, likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) pada Oktober 2020 meningkat 12,5 persen dibandingkan Oktober 2019 menjadi Rp 6.780,8 triliun. Adapun hingga Oktober 2020, pertumbuhan kredit perbankan masih terkontraksi atau minus 0,47 persen secara tahunan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai, peningkatan uang beredar bukanlah sinyal pemulihan ekonomi. Hal ini mengingat pendorong utama peningkatan uang beredar itu adalah kenaikan utang pemerintah.
”Aktivitas ekonomi secara riil masih melambat, sementara yang dominan meningkatkan uang beredar adalah surat berharga negara atau surat utang pemerintah baru sehingga belum ada tanda-tanda pemulihan yang signifikan,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Senin (30/11/2020).
Aktivitas ekonomi secara riil masih melambat, sementara yang dominan meningkatkan uang beredar adalah surat utang pemerintah baru sehingga belum ada tanda-tanda pemulihan yang signifikan.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan, posisi utang pemerintah sampai akhir Oktober 2020 sebesar Rp 5.877,71 triliun. Berdasarkan realisasi tersebut, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 37,84 persen.
Menurut Bhima, penambahan utang belum sejalan dengan pemulihan ekonomi yang salah satu indikatornya dari ekspansi kredit perbankan. Kredit perbankan masih tumbuh minus secara tahunan. Padahal, penyaluran kredit perbankan penting untuk menggerakkan ekonomi.
”Ini artinya masih dominan dari sisi utang pemerintah yang sebagian diberikan sebagai stimulus tetapi belum mampu menggerakkan sektor riil atau uang beredar yang sifatnya lebih berkualitas,” katanya.
Adapun peredaran uang dalam arti sempit (M1) juga tumbuh 18,5 persen pada Oktober 2020 seiring dengan peningkatan peredaran uang kartal di masyarakat. Uang kartal yang beredar di masyarakat sepanjang Oktober 2020 tercatat mencapai Rp 707,2 triliun.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengemukakan, peningkatan uang beredar menunjukkan kondisi likuiditas di sistem perbankan. Simpanan tumbuh, tetapi fungsi intermediasi perbankan dalam menyalurkan kredit masih belum optimal.
Selain didorong ekspansi pemerintah, peningkatan uang beredar dalam arti luas juga didorong peningkatan uang kuasi yang sejak awal Januari 2020 hingga Oktober 2020 tercatat meningkat Rp 430,8 triliun. ”Peningkatan uang kuasi tersebut dipengaruhi oleh peningkatan simpanan berjangka serta tabungan baik dalam bentuk rupiah maupun valas,” ujarnya.
Secara keseluruhan, peningkatan M2 dipengaruhi oleh kenaikan giro rupiah, simpanan berjangka, dan tabungan yang dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan perusahaan yang cenderung menahan belanja. Mereka cenderung menempatkan dananya ke perbankan dalam rangka mengantisipasi ketidakpastian pandemi Covid-19.
Hal tersebut juga terefleksi dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) pada Oktober 2020 sebesar 11,6 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya menjadi Rp 6.366,5 triliun. DPK ini tumbuh di kala pertumbuhan kredit terkontraksi pada periode yang sama.
”Kondisi perekonomian domestik belum menunjukkan tren pemulihan yang cukup signifikan. Ini mempertimbangkan kecenderungan dari agen ekonomi, yakni konsumen dan perusahaan, yang menempatkan dananya ke perbankan,” kata Josua.
Kondisi perekonomian domestik belum menunjukkan tren pemulihan yang cukup signifikan. Ini mempertimbangkan kecenderungan dari agen ekonomi, yakni konsumen dan perusahaan, yang menempatkan dananya ke perbankan.
Dalam keterangan tertulis, Direktur Departemen Komunikasi BI Junanto Herdiawandi menyatakan, berdasarkan faktor yang memengaruhi, peningkatan M2 pada Oktober 2020 disebabkan oleh kenaikan ekspansi keuangan pemerintah. Hal tersebut tecermin dari pertumbuhan tagihan bersih kepada pemerintah pusat secara tahunan yang meningkat dari 76,7 persen pada September 2020 menjadi 81,6 persen pada Oktober 2020.
Sementara itu, aktiva luar negeri bersih pada Oktober 2020 tumbuh 13,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tahunan ini tercatat lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan aktiva luar negeri bersih secara tahunan pada September 2020 sebesar 16,7 persen.