Sektor pertanian Indonesia belum optimal memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas. Karena produksi tidak efisien, daya saing produk jadi lemah.
Oleh
M Paschalia Judith J / Aditya Diveranta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan hasil inovasi dan teknologi untuk mendorong produktivitas pertanian di Indonesia dinilai berjalan lambat. Padahal, keberadaannya strategis untuk meningkatkan produksi, produktivitas, efisiensi, dan sekaligus daya saing produk pertanian.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) sekaligus Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin, menyatakan, berdasarkan penelitian Fahmi dan kawan-kawan di Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), produktivitas faktor total atau total factor productivity (TFP) sektor pertanian selama kurun 1996-2017 cenderung lebih rendah dibandingkan TFP ekonomi secara keseluruhan.
TFP adalah rasio antara keluaran (output) total terhadap input total. Menurut penelitian itu, pertumbuhan TFP pertanian selama 1996-2017 negatif 0,65, sementara TFP perekonomian nasional kurun 1996-2019 tumbuh 0,13. ”TFP negatif berarti ada problem dalam mendorong produktivitas pertanian karena lambat mengadopsi teknologi dan inovasi,” kata Bustanul Arifin dalam webinar Kedaulatan Pangan dan Energi yang digelar Indef secara daring, Senin (30/11/2020).
Koefisien elastisitas keluaran kapital, di dalamnya termasuk teknologi, menurut penelitian itu, mencapai 0,9. Artinya, setiap kenaikan jumlah kapital sebesar 1 persen dapat meningkatkan keluaran sektor pertanian sekitar 0,9 persen. Sementara koefisien keluaran tenaga kerja hanya 0,1 yang berarti setiap kenaikan jumlah tenaga 1 persen mendorong keluaran sektor pertanian sebesar 0,1 persen.
Sayangnya, inovasi dan adopsi teknologi dalam pertanian berjalan lambat, antara lain, karena hambatan dalam penyebaran dan penerapannya di lapangan. Pertumbuhan TFP pertanian selama 2011-2017 bahkan negatif yang berarti ada penurunan produktivitas. ”Kalau tidak ada terobosan teknologi, dengan TFP yang negatif itu, kita (Indonesia) punya masalah besar. Kedaulatan pangan bisa terganggu,” kata Bustanul.
Pemanfaatan teknologi dan inovasi urgen untuk mengefisienkan produksi dan mendongkrak daya saing produk. Selama ini, karena kalah bersaing, produksi beberapa komoditas pertanian Indonesia berangsur turun dan redup. Kedelai, misalnya, semakin tersingkir oleh kedelai impor yang lebih unggul dari sisi harga. Gula berbasis tebu yang produksi oleh sebagian besar pabrik perusahaan pelat merah juga kalah dari sisi harga karena teknologi dan mesin yang sudah uzur.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo saat memberikan pengantar dalam diskusi tersebut menggarisbawahi pentingnya pemanfaatan teknologi di sektor pertanian. Teknologi menjadi solusi bertani di tengah perubahan iklim yang berdampak pada ketersediaan air dan permintaan pangan. ”Untuk mengairi persawahan, misalnya, kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan hujan,” ujarnya.
Oleh karena itu, kementerian mengoptimalkan pemanfaatan teknologi untuk mendorong kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional. Syahrul mencontohkan pemanfaatan kecerdasan buatan, citra satelit, dan internet of things dalam sejumlah program Kementerian Pertanian.
Syahrul berharap perguruan tinggi yang mengajarkan pertanian untuk turut menciptakan kurikulum yang adaptif terhadap perkembangan teknologi. ”Rencananya, pada tahun 2021, saya akan mengintervensi hal ini,” ujarnya dalam seminar yang sama.
Ketahanan pangan
Sejumlah warga bersama Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian DKI Jakarta menggelar panen hasil pertanian, perikanan, dan peternakan secara serentak di seluruh wilayah Jakarta, Senin. Dinas mencatat, 1.135 warga Jakarta di 228 lokasi bergabung dalam kegiatan tersebut.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan DKI Jakarta Suharini Eliawati menyebutkan, acara digelar untuk meningkatkan ketahanan pangan warga selama pandemi Covid-19. Sebanyak 62,3 ton produk pertanian, 0,7 ton produk perikanan, dan 160 ekor ternak dipanen dalam kegiatan tersebut.
Dia berharap hasil panen kali ini bisa dipakai untuk memenuhi permintaan pasar secara luas. ”Selain untuk ketahanan pangan warga, kami berharap hobi urban farming (pertanian kota) turut meningkatkan perekonomian warga dalam lingkup kecil. Dalam arti, bagus kalau hasil pertanian, peternakan, dan perikanan itu bisa bermanfaat untuk sesama warga,” ujarnya.
Lokasi panen terbanyak ada di Jakarta Timur, yakni 57 titik. Adapundi Jakarta Utara 52 titik, Jakarta Selatan 42 titik, Jakarta Barat 40 titik, Jakarta Pusat 31 titik, dan Kepulauan Seribu 6 titik. Warga memanen dalam jumlah yang beragam. Aryanto (51), perwakilan RT 013 RW 006 Kelurahan Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat, misalnya, memanen 6 kilogram kangkung, bayam, dan cabai.
Panen kali ini menunjukkan bahwa di tengah pandemi Covid-19, warga DKI bisa tetap produktif walau dalam berbagai keterbatasan.
Sementara, sejumlah warga di RW 006 Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, melaporkan panen pepaya 15 kg, terung 3 kg, dan ikan nila 15 kg. Tidak hanya sayur dan buah-buahan, sebagian memanen ikan hasil budidaya dengan menggunakan keramba jaring apung.
Deputi Gubernur Bidang Kebudayaan dan Pariwisata DKI Jakarta Dadang Solihin menilai, potensi yang ada di kalangan warga semestinya bisa lebih maksimal. ”Panen kali ini menunjukkan bahwa di tengah pandemi Covid-19, warga DKI bisa tetap produktif walau dalam berbagai keterbatasan,” ujarnya.