Alih-alih terlindungi, kesejahteraan petani justru sedang dipertaruhkan. Sebab, sejumlah pasal yang melindungi petani di sejumlah undang-undang justru dihapus dan direvisi melalui UU Cipta Kerja.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Ketika pemerintah berupaya menarik investasi besar-besaran dengan membahas dan mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja secara maraton, para petani sayur, petambak garam, nelayan, dan peternak unggas nasional sedang berduka. Oleh karena harga jual hasil panennya hancur, investasi dan jerih payah mereka melayang sia-sia.
Situasi itu tecermin dalam data produk domestik bruto. Ketika perekonomian nasional terkontraksi 5,32 persen pada triwulan II-2020, lalu terkontraksi lagi 3,49 persen triwulan III-2020, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan tumbuh positif 2,19 persen secara tahunan (yoy) pada triwulan II-2020 dan 2,15 persen pada triwulan III-2020.
Akan tetapi, tidak demikian dengan subsektor peternakan dan perikanan yang terkontraksi dua triwulan berturut-turut, terutama dipicu oleh turunnya permintaan di tengah pandemi Covid-19. Subsektor peternakan tumbuh minus 1,83 persen pada triwulan II-2020 dan minus 0,16 persen pada triwulan III-2020, sementara subsektor perikanan tumbuh minus 0,63 persen dan minus 1,03 persen selama dua triwulan itu.
Kontraksi di subsektor peternakan dan perikanan itu dipicu oleh ketidakseimbangan pasar, baik akibat suplai yang berlebih, permintaan yang jauh berkurang, maupun oleh keduanya. Situasi yang dialami para peternak unggas, misalnya, disumbang oleh suplai yang berlebih sekaligus kecenderungan turunnya permintaan di tengah pandemi.
Pada sebagian nelayan dan petani hortikultura, anjloknya harga sayuran dan ikan didorong oleh turunnya permintaan pasar seiring berkurangnya aktivitas di hilir dan hambatan distribusi seiring pembatasan mobilitas, terutama di bulan-bulan awal pandemi atau kurun April-Juni 2020. Namun, problem fluktuasi harga komoditas pertanian bukan terjadi di Indonesia atau kali ini saja.
Tantangannya adalah bagaimana memastikan atau setidaknya menjamin usaha para pelaku di hulu, yakni usaha petani, peternak, pembudidaya, atau nelayan, tetap menguntungkan. Sebab, tanpa peluang untung jangan harap niat swasembada bakal tercapai atau usaha pertanian akan terus berlangsung. Sebagaimana pedagang atau pelaku industri, petani juga mesti untung dan memiliki harapan memperbaiki kesejahteraan agar usahanya berlanjut dengan produksi dan produktivitas yang semakin baik.
Sayangnya, kesejahteraan petani sering kali bukan prioritas atau tidak menjadi roh dalam sejumlah kebijakan pemerintah terkait pertanian. Misi menyejahterakan petani kerap terabaikan karena alasan menjamin kebutuhan masyarakat dan menstabilkan harga di tingkat konsumen. Penetapan harga eceran tertinggi (HET) dan pembukaan keran impor sejumlah bahan pangan, misalnya, berulang menekan harga di hulu dan menyingkirkan petani dari ladang dan sawah garapannya.
Kini, ketika pemerintah berambisi membuka lapangan kerja seluas-luasnya dengan mengundang investor melalui Undang-Undang Cipta Kerja, apakah pemerintah juga berambisi menyelamatkan investasi petani? Padahal, investasi yang sudah mereka keluarkan jumlahnya tidak kecil dan sektor pertanian masih menjadi penyedia lapangan kerja utama.
Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2020, pertanian menjadi sektor penyerap terbesar tenaga kerja di Indonesia, yakni menyerap 29,76 persen dari 128,45 juta penduduk bekerja. Ketika serapan tenaga kerja di sektor lain turun selama pandemi, seperti industri pengolahan, konstruksi, dan jasa pendidikan, penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian justru bertambah 2,23 persen secara tahunan.
Akumulasi modal yang dikeluarkan petani secara nasional juga bukan angka yang kecil. Mari kita hitung modal yang dikeluarkan petani padi sebagai contoh. Jika setiap petani mengeluarkan modal Rp 14 juta untuk menanam padi di lahan seluas 1 hektar, total modal yang dikeluarkan petani se-Indonesia untuk menanam padi di lahan seluas 7,4 juta hektar sebesar Rp 103,6 triliun dalam satu musim tanam.
Dengan asumsi petani menanam dua kali dalam setahun, investasi yang dikeluarkan petani padi Indonesia Rp 207,2 triliun per tahun. Angka itu setara dengan 33,8 persen total realisasi investasi yang dicatat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sepanjang Januari-September 2020 yang sebesar Rp 611,6 triliun dan sekitar 25,3 persen target investasi yang ditetapkan pemerintah Rp 817,2 triliun tahun ini.
Bayangkan jika modal yang dikeluarkan oleh petani jagung, bawang, sayur dan buah-buahan, tebu; petambak garam; pembudidaya ikan; peternak unggas, domba, dan sapi; serta komoditas pertanian lain dijumlahkan seluruhnya. Apakah nilainya belum cukup besar untuk menggugah keberpihakan pemerintah melalui kebijakan yang melindungi usaha petani?
Alih-alih terlindungi, kesejahteraan petani justru sedang dipertaruhkan. Sebab, sejumlah pasal yang melindungi petani di sejumlah undang-undang justru dihapus dan direvisi melalui Undang-Undang Cipta Kerja. Sekali lagi, apakah ambisi pemerintah mengundang investor dan membuka lapangan kerja sebanding dengan ambisi melindungi investasi petani? Sebuah pertanyaan untuk refleksi.