Pandemi Covid-19 mempercepat disrupsi pada bidang ketenagakerjaan. Sistem vokasi dibenahi untuk menghasilkan angkatan kerja berkualitas.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan vokasi mesti didefinisikan ulang secara strategis untuk menghadapi disrupsi ketenagakerjaan yang kian cepat akibat pandemi Covid-19. Pelaku industri berperan penting dalam menghasilkan sumber daya manusia berkualitas yang relevan dengan tantangan zaman.
Laporan The Future of Jobs yang diterbitkan Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada Oktober 2020 memprediksi 85 juta pekerjaan akan punah dan digantikan mesin atau robot pada 2025. Seiring dengan hal itu, 97 juta jenis pekerjaan baru yang lebih relevan dengan konteks perkembangan teknologi dan industri akan muncul.
Otomasi dan disrupsi pasar tenaga kerja terjadi lebih cepat daripada yang diperkirakan akibat pandemi Covid-19. Hasilnya, disrupsi ganda bagi pekerja. Tanpa upaya proaktif, situasi ini memperparah kesenjangan sosial-ekonomi, terutama di Indonesia, yang mayoritas angkatan kerjanya berpendidikan sekolah menengah pertama ke bawah.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Ketenagakerjaan Anton J Supit, Minggu (29/11/2020), mengatakan, untuk menjawab tantangan itu, pemerintah dan dunia usaha harus duduk bersama. Tujuannya, mendefinisikan ulang peta jalan pendidikan vokasi di Indonesia. Sistem pendidikan vokasi harus dibenahi untuk menghasilkan angkatan kerja yang kompetitif.
Masalahnya, selama ini, dunia usaha belum paham atau tidak mau terlibat dalam sistem vokasi. Pekerja terampil diperoleh dengan cara merekrut atau membajak pekerja terampil dari perusahaan lain.
”Padahal, ketika bicara sistem vokasi, sifatnya ganda antara dunia praktik dan pendidikan. Satu kaki di sekolah, satu kaki di industri. Contohnya, sistem vokasi yang sudah teruji, seperti di Jerman, 70 persen pendidikan vokasi itu ada di lapangan, bukan sekolah,” ujar Anton.
Menurut data Badan Pusat Statistik, ada 9,77 juta penganggur di Indonesia pada Agustus 2020.
Anton menambahkan, peran aktif pelaku industri dibutuhkan. Selama ini, pendidikan vokasi di industri diterjemahkan lewat program magang dan on-the-job training. Namun, sistem vokasi yang strategis tidak cukup dijawab dengan program magang dasar. Perusahaan harus bersedia berinvestasi pada program pelatihan dan pendidikan komprehensif.
Hal itu bisa diwujudkan lewat program magang dengan pengajar khusus di tempat kerja yang memiliki kemampuan pedagogik serta fasilitas yang mendukung. Selain itu, mahasiswa atau siswa magang harus diberi uang magang yang memadai pula karena mereka ikut berkontribusi pada produktivitas perusahaan. Standar itu tidak bisa hanya diterapkan secara parsial seperti saat ini, tetapi secara massal lintas sektor.
Perusahaan harus bersedia berinvestasi pada program pelatihan dan pendidikan komprehensif.
Pelaku industri dari tiap sektor juga bisa berkontribusi lewat terlibat mendesain kurikulum atau desain besar pendidikan vokasi, serta berkomitmen mendukung link and match serta menyerap lulusan SMK atau kampus vokasi.
Anton mengatakan, pelaku industri kerap menilai program pelatihan dan pendidikan karyawan sia-sia. Mereka menganggap biaya yang dikeluarkan untuk menyiapkan pengajar dan fasilitas cukup tinggi, tetapi tidak menunjukkan hasil yang cepat.
”Ini persepsi yang keliru. Selama ini kita menyalahkan SMK karena mencetak pelajar yang setelah tamat malah tidak terserap dan menyumbang pengangguran. Padahal, selama kita tidak mau total mendukung dunia pendidikan, bagaimana mau maju,” kata Anton.
Menurut dia, upaya tersebut tidak bisa sekadar menunggu kesadaran dari pelaku usaha. Pemerintah harus proaktif menciptakan sistem vokasi baru yang terintegrasi, dengan regulasi yang mendukung dan mengikat para pelaku industri.
”Persepsi vokasinya harus disamakan dari atas ke bawah. Kalau mau menunggu kesadaran pelaku industri, terlambat. Jadi, pemerintah yang harus bergerak duluan, dari atas menekan ke bawah untuk mengikuti sistem yang benar,” katanya.
Hasil survei WEF menunjukkan, 94 persen perusahaan yang tergabung di Kadin Indonesia bersiap memasuki era otomasi kerja. Sebanyak 82 persen perusahaan melatih ulang pekerja, 76 persen perusahaan merekrut anggota staf temporer dengan keterampilan yang lebih relevan, dan 53 persen perusahaan memecat karyawan yang kurang terampil mengoperasikan teknologi.
Terintegrasi
Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan Bambang Satrio Lelono mengatakan, sistem vokasi yang terintegrasi antara pendidikan sekolah dan industri sudah mulai diterapkan.
Namun, penerapannya masih parsial, belum menjadi satu strategi besar lintas kementerian.
Sistem vokasi yang terintegrasi antara pendidikan sekolah dan industri sudah mulai diterapkan.
Sejak 2018, Kemenaker telah merumuskan desain besar pelatihan vokasi nasional untuk memetakan jenis pekerjaan yang akan hilang dan tumbuh serta estimasi sesuai dengan tuntutan perkembangan industri.
”Kami sudah punya desain dan pemetaannya, tetapi kami kesulitan untuk mengoordinasikan secara langsung karena kami sifatnya kementerian teknis,” kata Satrio.
Ia mengatakan, dalam vokasi, peran industri paling krusial sebagai pihak yang paling mengetahui kebutuhan. Sejauh ini, sejumlah pelaku industri sudah berkontribusi membantu menyusun kurikulum vokasi, serta ikut menjalankan pelatihan magang di perusahaan masing-masing. Namun, upaya itu belum maksimal.
Keterlibatan para pelaku industri sejauh ini masih sukarela, belum bersifat wajib seperti di Jerman yang dianggap sukses dengan model pendidikan kejuruan sistem ganda yang menggabungkan pelajaran teori di sekolah vokasi dengan praktik langsung.
”Kalau kita mau membenahi sistem dan membuatnya menjadi wajib, perlu ada kebijakan langsung dari pemerintah pusat disertai payung hukum. Sekarang ini tidak ada negara yang bisa maju tanpa tenaga kerja terampil,” kata Satrio.