Alam dan budaya menjadi kekuatan potensial di Trenggalek, Jawa Timur. Ibarat intan dari perut bukit atau mutiara dari dasar teluk tetapi belum memendarkan kilau pesona karena keterbatasan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
Dua pertiga wilayah berupa perbukitan dan menghadap Samudra Hindia. Lintasan manusia purba dari Pacitan di barat ke Tulungagung di timur. Sima swatantra sejak abad ke-10. Inilah Trenggalek di pesisir selatan Jawa Timur, intan dari perut gunung atau mutiara dari dasar teluk tetapi berkabut keterbatasan.
Dari Surabaya, ibu kota Jatim, di pesisir utara ke Trenggalek memang perlu perjuangan waktu dan tenaga. Apalagi menggapai deretan pantai dan teluk yang menjadi bibir osean melalui jalan aspal berliku, naik dan turun curam, serta jarang membelah kampung atau desa. Namun, alam dan budaya Trenggalek seolah menyimpan ”energi cahaya” yang menunggu untuk meledak dan berpendar.
Meski bukan menjadi fondasi kehidupan ekonomi Trenggalek, pariwisata terus didorong sebagai jalan alternatif penghidupan hampir 697.000 jiwa rakyatnya. Selama ini, sektor pertanian, khususnya perkebunan dan pengolahan sumber daya alam, menjadi soko guru perekonomian Trenggalek yang sejak masa Kerajaan Medang di abad ke-10 dikenal sebagai kawasan penghasil gaplek, singkong dikeringkan yang siap ditumbuk menjadi tepung tapioka.
Raja Medang Pu Sindok pada 929 mengeluarkan Prasasti Kamsyaka atau Prasasti Kampak sebagai penetapan daerah bebas pajak meliputi kawasan yang saat ini ialah dataran tinggi tengah-selatan Trenggalek,, yakni Kampak, Watulimo, Munjungan, dan Panggul.
Raja Kahuripan Airlangga pada 1032 mengeluarkan Prasasti Baru untuk perdikan di wilayah saat ini dataran rendah tengah-utara Trenggalek. Raja Kadiri Kertajaya pada 1194 mengeluarkan Prasasti Kamulan untuk otonomi meliputi wilayah saat ini dataran tinggi tengah-utara-barat Trenggalek.
Dari sisi kesejarahan, Trenggalek dianggap penting oleh masa kerajaan klasik sebelum imperium Singhasari dan Majapahit. Meski hanya berupa tinggalan batu bertulis, bukan pusat peradaban atau lokasi kerajaan besar masa silam, tetapi arti penting Trenggalek telah disadari sejak lampau.
Terentang satu milenium kemudian sejak Medang, potensi Trenggalek yang penulis juluki ”Negeri Kampak”, dari lokasi temuan Prasasti Kamsyaka di Kecamatan Kampak, perlu terus diberdayakan dan ditingkatkan terutama pariwisata apabila diinginkan menjadi mesin perekonomian.
Misalnya, sensasi memanjat tebing Sepikul merobek kembali memori ketika kuliah selalu gemetar dan mandi keringat dingin saat mencoba belajar merayap pada dinding kapur Parangendog, Yogyakarta. Bertarung dengan ketakutan akan ketinggian dan menang, tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Menikmati mentari terbit atau tenggelam di lebih dari 100 pantai gugus Watulimo (timur) sampai Panggul (barat) antara lain Mutiara, Prigi, Damas, Sumbreng, Pelang, dan menikmati boga bahari serta kehidupan tani nelayan, nikmat apa yang bisa didustakan?
Saya masih yakin, ketika situasi sudah mereda, hasrat warga untuk berwisata akan membuncah. Trenggalek perlu segera siap merebut peluang dan kesempatan itu.
Bertualang ke sejumlah goa atau menikmati kelembutan durian, keharuman cengkih dan kopi dari perkebunan di perbukitan ketika masa panen jelas rasanya luar biasa. Produk kebudayaan dalam seni tradisi dan kuliner khas Trenggalek juga layak mendapat apresiasi dalam hati. Tari Turangga Yaksa, Tari Celeng Srenggi, Batik Cengkih, atau kuliner, yakni ayam lodho, nasi gegog, keripik tempe tipis, atau alen-alen (kerupuk cincin), otentik dan unik.
Pansela
Semua potensi kekayaan alam dan peradaban ternyata tidak membuat rakyat Trenggalek percaya diri. Dalam debat pemilihan bupati dan wakil bupati untuk Trenggalek disebutkan ada lebih dari 2.000 jiwa warga minggat karena ingin sejahtera dengan menjadi buruh migran mancanegara.
Trenggalek bersama Tulungagung, Pacitan, dan Ponorogo di Jatim bagian barat daya memang menjadi kantong diaspora mini dalam sudut pandang ketenagakerjaan sebagai jalan untuk meraih kesejahteraan.
Trenggalek dan pesisir selatan Jatim sudah lama tertinggal dibandingkan dengan kawasan pantai utara. Untuk itulah, pada 2002 dicanangkan jalan lintas selatan (JLS) alias pantai selatan (pansela) dengan harapan menyamai derajat pembangunan kawasan pantau utara (pantura).
Hampir dua dasawarsa berlalu diiringi pemerintahan tiga presiden dan tiga gubernur Jatim, dari 675 kilometer prasarana yang direncanakan baru terbangun 383 kilometer atau 56 persen. Salah satu ruas yang belum bisa dibangun berada di Trenggalek sepanjang hampir 40 kilometer.
Prasarana memang solusi untuk mendorong mobilitas manusia, barang, dan jasa dalam kepentingan ekonomi. Untuk itu, penyelesaian pansela punya arti strategis bagi Trenggalek dan tentunya daerah tetangga di pesisir selatan. Ketika terjadi bencana besar di Pacitan jelang Desember 2017, jalur Ponorogo-Pacitan terputus akibat tanah longsor.
Namun, Pacitan akhirnya bisa ditembus dari timur atau Trenggalek. Ruas JLS Pacitan-Trenggalek sampai Kecamatan Panggul sudah lama selesai dan menjadi jalur utama warga pesisir dua kabupaten ini.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menegaskan keinginan politik menuntaskan JLS sebelum masa kepemimpinannya berakhir pada Februari 2024. Untuk mengatasi persoalan di pesisir selatan bagian barat daya, Khofifah didampingi Wagub Jatim Emil Elestianto Dardak yang sebelumnya menjabat Bupati Trenggalek.
Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin mengatakan, penuntasan JLS akan menjadi landas pacu peningkatan program kepariwisataan. Dalam masa wabah Covid-19 saat ini, Trenggalek berkeyakinan kebangkitan sektor pelesiran yang berkolaborasi dengan pertanian-perkebunan dan pengolahan akan mendorong pemulihan ekonomi.
”Saya masih yakin, ketika situasi sudah mereda, hasrat warga untuk berwisata akan membuncah. Trenggalek perlu segera siap merebut peluang dan kesempatan itu,” kata Arifin.
Daya desa
Statistik perekonomian memperlihatkan, sektor pertanian, khususnya perkebunan, berkontribusi amat besar dalam PDRB yang mencapai 27,22 persen. Sumbangan sektor lainnya ialah pengolahan (16,1 persen) dan perdagangan besar-eceran serta reparasi kendaraan (16,2 persen). Dari sini bisa diyakini bahwa kekuatan Trenggalek berada pada kekayaan desa-desa yang memberikan hasil bumi, ragam pengolahan, sekaligus seni budaya.
Desa-desa di Watulimo dan Munjungan dengan kontur perbukitan dan kaya perkebunan menjadi sentra hasil kebun. Desa Sawahan, misalnya, sudah mulai kondang menjadi salah satu tujuan wisata khusus para penggila durian karena memiliki hutan raja buah yang amat luas. Selain itu, Desa Kerjo yang banyak warganya membuat ayam lodho sehingga bisa menjadi tujuan wisata kuliner.
Desa Wonoanti menjadi salah satu sentra kerajinan bambu yang patut dicermati. Desa Ngentrong dikenal sebagai pelopor batik Trenggalek dengan berbagai motif, terutama cengkih dan turangga yaksa. Desa Dongko bisa menjadi tujuan wisata budaya karena melestarikan upacara baritan sekaligus kampung kelahiran Jaranan Turangga Yaksa yang telah diakui sebagai warisan budaya tak benda.
Wabah Covid-19 yang menyerang sejak pertengahan Maret memang masih memukul kehidupan dan perekonomian Jatim, termasuk Trenggalek. Pariwisata tercampak dan tertatih-tatih berusaha keras bangkit. Namun, seperti salah satu cukilan lirik lagu ”You’ll Never Walk Alone”, …. at the end of a storm there’s a golden sky …, di ujung badai berkilau langit keemasan, di akhir pagebluk, kehidupan tak akan lagi terpuruk.