Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan Masih Belum Matang
Program JKP masih perlu dimatangkan karena terkait perlindungan semua pekerja yang kehilangan pekerjaan akibat PHK. Penghitungannya harus dibuat secara detail dan tidak gegabah.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan rancangan peraturan turunan kluster ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tinggal menyisakan isu program Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Pemerintah butuh waktu lebih lama untuk merumuskan program asuransi sosial baru itu, khususnya terkait aspek pendanaan, syarat kepesertaan, dan pendataan peserta.
Sementara itu, tiga rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait kluster ketenagakerjaan lainnya sudah rampung dirumuskan. Ketiga RPP itu adalah RPP tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing; RPP tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja; dan RPP tentang Pengupahan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi, Jumat (27/11/2020), menyatakan, berhubung Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) adalah program baru, pemerintah butuh waktu lebih lama untuk merumuskannya. ”Apalagi, program perlindungan pekerja korban pemutusan hubungan kerja (PHK) itu sangat bergantung pada kemampuan fiskal negara," ujarnya saat dihubungi di Jakarta.
JKP adalah skema asuransi perlindungan baru untuk pekerja korban PHK yang akan diselenggarakan BP Jamsostek. Manfaatnya berupa pemberian uang tunai selama enam bulan pasca-PHK, pelatihan kerja, dan akses informasi pasar kerja. Pendanaan dan iuran JKP akan ditanggung pemerintah lewat APBN dan pemberi kerja lewat rekomposisi iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).
JKP ini merupakan kompensasi atas berkurangnya hak pesangon pekerja yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Awalnya, pekerja mendapat pesangon maksimal 32 kali upah sesuai masa kerja. Kini, pekerja mendapat pesangon maksimal 25 kali upah sesuai masa kerja. Perusahaan memberi 19 kali upah dan pemerintah menanggung 6 kali upah lewat JKP.
Menurut Anwar, persoalan pembiayaan program JKP berkaitan pula dengan isu pendataan dan cakupan pekerja yang berhak mendapatkan JKP. Semakin banyak kelompok pekerja yang berhak mendapat JKP, semakin besar pula kebutuhan dana yang harus dipenuhi pemerintah.
”Pemerintah masih mencari opsi terbaik apakah peserta BP Jamsostek yang berstatus penerima upah atau juga bukan penerima upah. Hal ini penting karena terkait kebutuhan pendanaan. Jangan sampai negara kebobolan karena fiskal tidak mampu,” tuturnya.
Problematik
Pemerintah sejauh ini merumuskan pekerja yang berhak mendapatkan JKP adalah mereka yang terdaftar sebagai peserta BP Jamsostek. Anwar menilai, hal itu problematik karena tingkat kepatuhan perusahaan mendaftarkan pekerjanya di BP Jamsostek masih rendah. Masih banyak pekerja formal yang tidak menjadi peserta BP Jamsostek, terlebih pekerja informal.
JKP harus menjadi momentum untuk mendorong kepatuhan perusahaan mendaftarkan pekerjanya ke BP Jamsostek. ”Kalau tidak terdaftar, pemerintah juga akan kesulitan untuk memverifikasi datanya. Ini spirit yang mau tidak mau mulai sekarang harus dibangun bersama-sama,” katanya.
Kendati isu syarat kepesertaan dan pendataan itu masih alot dibahas, lanjut Anwar, program JKP ingin melindungi semua pekerja yang kehilangan pekerjaan akibat PHK. Oleh karena itu, penghitungannya harus dibuat secara detail dan tidak gegabah.
Kendati isu syarat kepesertaan dan pendataan itu masih alot dibahas, program JKP ingin melindungi semua pekerja yang kehilangan pekerjaan akibat PHK. Oleh karena itu, penghitungannya harus dibuat secara detail dan tidak gegabah.
Direktur Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan Retno Pratiwi mengatakan, isu terkait syarat kepesertaan menjadi salah satu perhatian utama. Dengan kemungkinan menjamurnya pekerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT) di masa mendatang, pemerintah juga mempertimbangkan pekerja PKWT ikut mendapat JKP.
”Ini masih kami pikirkan karena kurang lebih 53 persen pekerja berstatus PKWT, bukan pekerja tetap,” katanya.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, JKP harus adil terhadap semua kelompok pekerja. Dalam penyusunan RPP JKP, pemerintah harus mampu menjamin akses pekerja terhadap perlindungan setelah kehilangan pekerjaan, baik yang terdaftar di BP Jamsostek maupun yang tidak.
”Pekerja yang tidak didaftarkan oleh perusahaannya di BP Jamsostek harus bisa melapor ke pemerintah bahwa dia di-PHK tetapi tidak didaftarkan di BP Jamsostek,” katanya.