Evaluasi Ekspor Benur Ditargetkan hingga Akhir Tahun
Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu meninjau ulang kebijakan ekspor benih lobster. Kebijakan itu diharapkan tidak meminggirkan pembudidaya dan menghambat pengembangan budidaya lobster di Tanah Air.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan menghentikan sementara ekspor benih bening lobster untuk evaluasi kebijakan disambut gembira oleh para pembudidaya lobster. Sejalan dengan langkah itu, budidaya lobster di dalam negeri dinilai perlu dibenahi agar bisa bangkit dan mengejar ketinggalan.
Rapat koordinasi yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Menteri Kelautan dan Perikanan Ad Interim,Luhut Binsar Pandjaitan, Jumat (27/11/2020), antara lain, mendorong evaluasi kebijakan ekspor benih lobster. Rapat digelar menyusul pengunduran diri Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap perizinan budidaya lobster oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 25 November 2020.
Luhut mempersilakan ekspor benih bening lobster dihentikan sementara untuk perbaikan tata kelola. Namun, ia meminta agar evaluasi kebijakan bisa segera diselesaikan guna memberikan kepastian bagi pelaku usaha.
Menurut dia, tidak ada yang salah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) yang menjadi dasar kebijakan ekspor benih lobster.
”(Peraturan itu) sudah kami cek semua, tidak ada yang salah, semua dinikmati oleh rakyat. Kalau ada mekanisme yang salah, itu sedang kami evaluasi dan kami hentikan beberapa waktu. Setelah evaluasi akan kami lanjutkan lagi kalau memang bisa dilanjutkan,” katanya.
Luhut menambahkan, beberapa persoalan yang terlihat, antara lain, soal monopoli pengangkutan. Pihaknya sudah meminta Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan serta tim untuk mengevaluasi dan melaporkan hasilnya dalam sepekan. Ekspor benih lobster dinilai memberikan manfaat bagi nelayan di pesisir selatan, tetapi perlu diperhatikan siklusnya agar tidak terjadi penangkapan berlebih.
”Kita tidak perlu kecil hati atas kasus ini. Saya tahu Pak Edhy (Prabowo) orang baik. Saya senang bahwa beliau langsung ambil alih bertanggung jawab sebagai kesatria dan itu harus kita hormati,” katanya.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini menyatakan, pihaknya menargetkan evaluasi kebijakan ekspor benih lobster selesai paling lambat Desember 2020. Pihaknya mendapat arahan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi agar aturan yang sudah bagus ditegakkan, sementara kelemahan-kelemahan kebijakan diperbaiki agar tidak berulang. ”Kalau (evaluasi) sudah selesai semua, ekspor benih bisa segera jalan karena ditunggu nelayan,” katanya.
Beberapa poin masalah yang perlu dibenahi, kata Zaini, antara lain, pemenuhan persyaratan ekspor benih. Calon eksportir wajib membudidayakan lobster sebagai syarat untuk memperoleh izin ekspor benih. Eksportir dapat bermitra dengan pembudidaya sehingga tidak perlu menunggu proses budidaya selama 8-12 bulan. ”Aturan yang ada dievaluasi sehingga tidak ada celah pelanggaran. Kami perkirakan evaluasi sampai akhir tahun ini,” kata Zaini.
Sementara itu, sejumlah pembudidaya lobster menyambut penghentian sementara ekspor benih lobster. Ekspor benih justru dinilai menghambat usaha budidaya lobster di dalam negeri. Sejak Agustus 2020, sebagian pembudidaya bahkan berhenti tebar benih sekalipun memasuki musim produksi. Hal itu karena benih lobster langka dan mahal.
Menurut Sapardi, pembudidaya lobster di Desa Paremas, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pembudidaya sulit memperoleh benih lobster. Pasokan benih langka karena lebih banyak diekspor dan harga benih yang dijual ke pembudidaya setara dengan harga ekspor.
”Sampai sekarang, saya masih belum tebar benih lagi. Dengan dihentikannya ekspor benih lobster, harapannya pasokan benih ke pembudidaya kembali lancar dan terjangkau,” katanya.
Saat ini harga benih lobster jenis pasir berwarna kehitaman berkisar Rp 6.000-Rp 7.000 per ekor, sedangkan harga benih lobster jenis mutiara Rp 18.000-Rp 22.000 per ekor. Sebelum diekspor besar-besaran, benih lobster jenis pasir itu masih bisa dibeli pembudidaya Rp 1.500-Rp 3.000 per ekor, sedangkan benih jenis mutiara Rp 10.000-Rp 15.000 per ekor.
Hal senada dikemukakan Abdullah, pembudidaya lobster di Telong Elong, Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur. Sejak panen September 2020, ia belum tebar benih lobster karena harganya mahal. Sejak ekspor benih dibuka pemerintah, pembudidaya seakan diasingkan karena kebutuhan benih tidak terpenuhi.
Benih tangkapan hampir seluruhnya diekspor. Abdullah berharap penghentian ekspor benih berlangsung seterusnya sehingga mendorong usaha budidaya lobster di dalam negeri.
Menurut dia, benih tangkapan nelayan seharusnya dititikberatkan untuk usaha budidaya pembesaran lobster di dalam negeri. Nelayan benih lobster perlu didorong dan dibina untuk budidaya dengan modal seadanya.
Ekspor benih dalam jumlah besar ke Vietnam hanya akan menguntungkan negara kompetitor itu dalam jangka panjang. Sebaliknya, Indonesia justru dirugikan karena pembudidaya jadi kalah bersaing pasar.
Abdullah memprediksi, pada tahun 2021, Vietnam akan panen lobster dalam jumlah besar dan menguasai pasar lobster. Sebaliknya, Indonesia yang memasok benih semakin tertinggal. Oleh karena itu, Indonesia harus menghentikan pasokan benih ke Vietnam.
”Ekspor benih besar-besaran sama saja memberikan amunisi ke Vietnam. Tahun depan, saat Vietnam panen budidaya yang berlimpah, hasil budidaya lobster di Indonesia kalah bersaing. Sudah saatnya ekspor benih dihentikan,” katanya.
Sementara itu, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan menilai, mencuatnya pidana korupsi dalam perizinan ekspor benih lobster mengindikasikan bahwa selama ini Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya fokus pada regulasi benih lobster dan melupakan prioritas program strategis lain. Padahal, di masa krisis dan pandemi Covid-19, Kementerian Kelautan dan Perikanan mempunyai peran untuk memberikan perlindungan ekonomi kepada kelompok nelayan, pembudidaya, dan pelaku usaha perikanan lainnya.
Hingga September 2020, kemampuan belanja Kementerian Kelautan dan Perikanan dinilai masih rendah, yakni dengan penyerapan anggaran hanya 50,28 persen dari pagu APBN sebesar Rp 5,082 triliun. Belanja untuk kegiatan budidaya hanya Rp 328 miliar atau 32,24 persen dari pagu Rp 1,018 triliun. ”Tujuan pemerintah memfokuskan ulang anggaran dengan maksud menopang ekonomi pembudidaya akhirnya gagal tercapai,” kata Abdi.
Peneliti DFW-Indonesia, Muh Arifuddin, meminta Presiden Joko Widodo mendukung langkah Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan ”bersih-bersih” di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dia berharap agar Presiden tidak salah menempatkan orang untuk menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan pengganti Edhy Prabowo. ”Pilih figur yang bersih, mengerti masalah dan lapangan, serta bisa bekerja cepat” kata Arif.