Jasa wisata ”open trip” dalam pusaran pagebluk. Senang tatkala banyak pengunjung, merana saat terjadi lonjakan kasus.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pagebluk membuat denyut jasa open trip kembang kempis. Kini semakin lumrah terjadi pembatalan atau penjadwalan ulang keberangkatan wisatawan seiring gas rem kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Mengencangkan protokol kesehatan hingga membengkaknya biaya operasional menjadi pilihan supaya usaha tak mati suri.
Istilah open trip mengacu pada perjalanan wisata yang bisa diikuti siapa pun menuju satu tujuan. Liburan panjang menjadi angin segar bagi pelaku wisata, termasuk jasa open trip. Akan tetapi, lonjakan kasus membuyarkan semuanya karena harus ada pengetatan guna menekan laju penyebaran. Mau tidak mau, suka tidak suka, beragam penyesuaian terjadi supaya tak melulu buntung.
Kelompok Sadar Wisata Bintang Harapan, Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, misalnya, mengikuti pembatasan wisatawan hanya 50 persen. Dari biasanya 15 orang dalam satu rombongan menjadi 7 orang saja. Demikian juga kapal sebagai sarana transportasi yang beralih dari bobot 225 gros ton ke bobot 125 gros ton.
Penyesuaian tersebut berimbas pada sebagian penginapan di Pulau Harapan yang belum menerima tamu karena minim kunjungan. Bahkan, menurut Mahfud (31), pemandu wisata setempat, belum banyak peminat open trip untuk liburan akhir tahun. ”Kami tergantung kebijakan pemerintah saja. Sekarang ada promosi kecil-kecilan tentang wisata sehat, aman, dan produktif supaya wisatawan kembali datang,” kata Mahfud, Sabtu (28/11/2020).
Selama pagebluk banyak bantuan dari Taman Nasional Kepulauan Seribu supaya roda ekonomi warga yang lesu karena sepinya sektor pariwisata tetap berjalan. Contohnya mengumpulkan siput dengan bayaran Rp 100.000 per hari, sumbangan kerupuk ikan, masker, pakaian selam, dan kano.
Pagebluk, katanya, mengajarkan warga bahwa mereka butuh belajar keterampilan lain untuk bertahan di tengah ketidakpastian. Bukan semata mengandalkan bantuan apalagi berupa uang yang habis sekejap mata.
Pagebluk juga membuat penyedia jasa open trip ke kawasan Gunung Bromo dan kawah Gunung Ijen, Jawa Timur, terseok-seok. Protokol kesehatan wajib seketat mungkin supaya wisatawan nyaman dan aman, serta tak kena semprit pengelola taman nasional setempat.
Biasanya di kawasan Gunung Bromo satu perjalanan terdiri atas 6 orang. Sejak pagebluk, jumlah peserta hanya 4 orang dengan kuota 700 orang per hari. Sementara di Gunung Ijen hanya 1 orang dengan kuota 300 per hari. ”Apalagi wisatawan dari zona merah bakal lebih ketat. Biasanya pemandu wisata dan wisatawan jalan bareng dari awal, tetapi sekarang ketemu di titik awal menuju spot wisata,” ujar Noviantri Setyo (22), pemandu wisata setempat
Setidaknya sudah terdaftar 40 orang setiap harinya untuk perjalanan ke kawasan Gunung Bromo dalam rentang 23 Desember hingga 3 Januari. Sementara ke kawah Gunung Ijen ada 20 orang setiap hari dalam rentang waktu yang sama. Jumlah perjalanan pribadi lebih banyak lagi terdiri dari setidaknya tiga orang dalam satu keluarga.
Gas rem
Noviantri justru mengkhawatirkan gas rem kebijakan pemerintah selama ini. Imbasnya banyak pembatalan dan penjadwalan ulang oleh wisatawan khususnya dari Jabodetabek. Karena itu, sebisa mungkin mereka meminta penjadwalan ulang supaya uang muka tidak hangus. Setidaknya sudah ada dua pembatalan perjalanan untuk akhir tahun.
”Kami sediakan banyak mobil supaya pembatasan berjalan dengan baik ketimbang kena penalti dari taman nasional meskipun jumlah keuntungan tidak begitu banyak,” ucapnya.
Pembatalan dan penjadwalan ulang merepotkan sekaligus mengeringkan kantong penyedia jasa open trip seperti Ridho July dari Liburan Lagi. Gas rem kebijakan membuat penyedia jasa harus mengembalikan uang muka, termasuk meminta kembali setoran ke rekanan hotel, kapal, dan lainnya. Karena itu, dia berharap pemerintah jelas dalam upaya penanggulangan pagebluk seperti informasi yang jelas kepada warga tentang protokol kesehatan dan kebijakan tepat sasaran.
”Agen perjalanan melihat kebijakan pemerintah dan dampaknya seperti apa. Ketidakpastian membuat pelanggan yang sudah mendaftar mengurungkan niat karena khawatir,” katanya.
Ridho, misalnya, sejak Oktober membuka lagi jadwal perjalanan yang tertunda dengan tetap ikut kebijakan yang berlaku. Itu berimbas pada biaya operasional yang membengkak dengan tarif normal.
Contohnya sewa mobil kapasitas 5 atau 10 orang dengan tarif Rp 1.000.000. Sesuai protokol kesehatan mobil hanya diisi setengah kapasitas. Salah satu jalan keluarnya adalah kerja sama antar-penyedia jasa open trip guna menekan biaya operasional. ”Orang liburan tidak sebanyak sebelumnya. Supaya bisa bertahan harus fleksibel sesuaikan harga dengan kondisi,” ucapnya.