Daya Saing Tenaga Kerja Tentukan Dampak Bonus Demografi
Faktor daya saing tenaga kerja dinilai menjadi tantangan besar bagi Indonesia dalam mengoptimalkan bonus demografi. Ada pekerjaan rumah yang mendesak dan mesti diselesaikan untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pengusaha dan tenaga kerja Indonesia dituntut fleksibel dan adaptif dalam menghadapi perkembangan industri. Guna mewujudkan Indonesia Emas tahun 2045, seluruh komponen masyarakat mesti bekerja sama mengoptimalkan bonus demografi dengan mengatasi segenap hambatan, terutama terkait daya saing tenaga kerja.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyatakan, pandemi Covid-19 mempercepat transformasi kerja sehingga semakin fleksibel dari segi waktu, tempat, dan keahlian.
”Transformasi ini berdampak pada hubungan pemberi kerja dan tenaga kerja. Orientasinya ialah melindungi hak pekerja dan keberlangsungan usaha,” ujarnya dalam webinar yang digelar harian Kompas dan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) dalam Kompas Talk bertema ”Strategi Ketenagakerjaan Menghadapi Bonus Demografi dan Perkembangan Industri”, Sabtu (28/11/2020).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Agustus 2020, sebanyak 38,69 persen penduduk bekerja di Indonesia merupakan lulusan sekolah dasar (SD) atau lebih rendah, lulusan sekolah menengah atas (SMA) 18,95 persen, dan lulusan sekolah menengah pertama (SMP) 18,27 persen. Sementara penduduk bekerja yang merupakan lulusan perguruan tinggi sebanyak 9,63 persen.
Adapun kelompok pengangguran terbuka yang berlatar belakang SD ke bawah sebanyak 3,61 persen, SMP 6,46 persen, SMA (9,86 persen), dan sekolah menengah kejuruan 13,55 persen. Tingkat pengangguran terbuka lulusan diploma 8,08 persen, sedangkan lulusan universitas 7,35 persen.
Situasi ketenagakerjaan tersebut dihadapi Indonesia yang semestinya sedang menikmati bonus demografi, yakni jumlah penduduk berusia produktif atau angkatan kerja (usia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk yang tidak produktif (usia di bawah 5 tahun dan di atas 64 tahun) yang diperkirakan terjadi pada kurun 2020-2030.
Kementerian Ketenagakerjaan memperkirakan, jumlah penduduk berusia 20-39 tahun sebanyak 107,56 juta jiwa dan mendominasi struktur kependudukan.
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban, kondisi yang dialami Indonesia belum bisa disebut sebagai bonus demografi. Sebab, apabila ingin menikmati bonus tersebut, sumber daya manusia yang tersedia mesti memadai, khususnya dari sisi kualitas.
Menurut Elly, tenaga kerja mau tidak mau harus beradaptasi dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan digital, pola pikir memecahkan masalah, dan strategi komunikasi sehingga dapat menguatkan kemitraan dengan pengusaha sebagai bagian dari solusi bersama.
Pakar sosiologi ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Tadjuddin Noer Effendi, berpendapat, Indonesia tengah membangun ekosistem yang mampu menggaet investasi dan menumbuhkan industri. Dalam hal ini pelatihan keterampilan menjadi kunci agar sumber daya manusia yang tersedia dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Merefleksikan situasi ketenagakerjaan saat ini, Direktur Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Mahatmi Parwitasari Saronto menyatakan, masih ada ketidakcocokan (missmatch) antara permintaan keahlian dan tenaga kerja yang ada saat ini. ”Kondisi missmatch ini dapat lebih lebar lagi ke depannya. Dampaknya, produktivitas pun tak meningkat,” katanya.
Tren ketenagakerjaan menuntut pekerja yang kreatif serta fleksibel secara kognitif dan emosional. Orientasi budaya dan pola kerja pun bergeser menjadi keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan (work-life balance) yang memberikan fleksibilitas waktu sehingga pekerja dapat menghabiskannya untuk keluarga dan mengembangkan diri tetapi tetap produktif.
Ketua Komite Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial untuk Upah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Aloysius Budi Santoso menambahkan, bentuk kesejahteraan pekerja pun akan bergeser. Tak hanya mempersoalkan upah, kesejahteraan pun meliputi peningkatan kompetensi pekerja dan keterikatan yang membuat pekerja merasa perusahaan sebagai rumah kedua.
Pengusaha dan pekerja juga mesti mencapai titik optimum ketika menghadapkan kepentingan masing-masing. ”Titik optimum ini berupa produktivitas dan daya saing yang tecermin dari produk akhir,” ujarnya.