Insentif Impor Kontraproduktif bagi Pembangunan Pergulaan Nasional
Kebijakan insentif impor dinilai bertentangan dengan arah pembangunan pergulaan nasional. Ada kemungkinan pelaku industri tidak patuh karena murahnya harga gula impor sehingga lebih menguntungkan dari sisi bisnis.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren penurunan harga gula dunia menjadi tantangan bagi Indonesia dalam meningkatkan produksi gula. Kebijakan insentif yang ada dinilai perlu dievaluasi karena kontradiktif terhadap cita-cita pengembangan industri gula dalam negeri.
Agus Pakpahan dari Dewan Pakar Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menyatakan, harga gula dunia pada 2030 lebih rendah dibandingkan dengan posisi pada 2016. ”Negara yang mampu mengembangkan gula secara efisien akan menjadi pemenang. Sebaliknya, Indonesia ke depan akan mengalami kesulitan yang sama tiap tahun,” katanya saat National Sugar Summit 2020 yang digelar secara daring, Rabu (25/11/2020).
Perkiraan tersebut berasal dari World Bank Commodities Price Forecast yang dipublikasikan pada 23 April 2020. Dokumen itu menyebutkan, harga gula dunia pada 2016 mencapai 0,4 dollar Amerika Serikat (AS) per kilogram (kg), sedangkan pada 2030 sebesar 0,38 dollar AS per kg.
Sementara itu, data yang dihimpun Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin menyebutkan, rata-rata mingguan pergerakan harga gula Indonesia sepanjang Januari-Oktober 2020 berada di rentang Rp 14.000 per kg-Rp 18.400 per kg. Pada periode yang sama, harga gula dunia bergerak di kisaran Rp 5.065 per kg-Rp 5.706 per kg.
Di sisi lain, pemerintah tengah mendorong produksi industri gula dalam negeri lewat Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Fasilitas Memperoleh Bahan Baku dalam Rangka Pembangunan Industri Gula. Lewat aturan ini, pemerintah memfasilitasi bahan baku impor gula kristal mentah dalam jangka waktu tertentu bagi industri gula baru dan yang memperluas lahan. Jangka waktu bagi industri di Jawa selama 5 tahun, sedangkan di luar Jawa mencapai 7 tahun.
Menurut Agus, kebijakan tersebut bertentangan dengan pembangunan pergulaan nasional. Ada kemungkinan pelaku industri tidak patuh karena murahnya harga gula impor sehingga lebih menguntungkan dari sisi bisnis.
Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat meminta pemerintah mengevaluasi penerapan aturan tersebut. Evaluasi itu dibutuhkan untuk meninjau signifikansi dampak beserta nilai tambah keberadaan pabrik dengan skema sesuai dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 10 Tahun 2017.
Berdasarkan data AGI, produksi gula nasional pada 2016 berkisar 2,2 juta ton, sedangkan pada 2020 sekitar 2,07 juta ton. Luas areal perkebunan tebu pun menurun dari 440.732 hektar pada 2016 menjadi 425.380 hektar pada 2020.
Dalam memantau implementasi Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 10 Tahun 2017, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim menyatakan, verifikasi permohonan rekomendasi persetujuan gula kristal mentah menjadi kunci. Verifikasi ini turut memvalidasi kepemilikan kebun dan/atau kemitraan.
”Selain itu, kami mengevaluasi perkembangan perkebunan tebu (industri), baik milik sendiri maupun kemitraan,” ujarnya saat dihubungi.
Berdaya saing
Agar gula produksi dalam negeri berdaya saing, Honorary Life Member of International Society of Sugar Cane Technologists Soedjai Kartasasmita menyatakan, riset di perkebunan dan pabrik industri berperan strategis. ”Pembangunan pabrik gula juga mesti memastikan sistem irigasi. Drip irrigation, misalnya, dapat menghemat air hingga 30 persen,” katanya dalam National Sugar Summit 2020.
Penelitian dan pengembangan pergulaan nasional, menurut Agus, merupakan bentuk investasi perusahaan dan perindustrian. Mestinya, alokasi untuk penelitian dan pengembangan mencapai minimal 2,5 persen dalam belanja modal.
Untuk menghadapi tantangan harga gula dunia yang cenderung menurun, dia juga mengusulkan untuk mengembangkan paduan gula berbasis tebu dan kelapa. Kebijakan pemerintah pun mesti mendorong produksi gula dari beragam sumber daya alam potensial di Indonesia.