Investasi Saham Jadi ”Jalan Ninja” bagi Milenial Kala Resesi
Dinamika ekonomi selama pandemi menarik milenial untuk berinvestasi saham. Namun, investor baru diingatkan agar memahami kewajaran imbal hasil dan kondisi ekonomi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinamika ekonomi selama pandemi telah menarik masyarakat yang memiliki dana berlebih untuk berinvestasi di saham, tidak terkecuali kelompok milenial. Momentum ini harus terus diikuti dengan edukasi mengenai kewajaran imbal hasil dan kondisi fundamental ekonomi.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus menguat di atas 5.000 seiring membaiknya perekonomian. Hari ini, Senin (23/11/2020), IHSG dibuka naik ke level 5.583,33.
Head of Representative Office Jawa Barat, Indonesia Stock Exchange (IDX), Reza Sadat Shahmeini, dalam acara Market Review IDX Channel, hari ini, menyebut, perbaikan IHSG didukung kenaikan transaksi bursa harian yang rata-rata sudah di atas Rp 10 triliun.
”Ini menyikapi perbaikan ekonomi yang mulai terjadi di triwulan IV-2020 dan kita harapkan pada 2021 ekonomi kita terus bertumbuh,” katanya. Ia pun menyoroti pernyataan Bank Indonesia yang memproyeksikan Indonesia bisa keluar dari zona resesi di pengujung tahun karena perbaikan konsumsi, ekspor impor, dan investasi.
Dari segi investasi, Bursa Efek Indonesia melaporkan adanya pertumbuhan signifikan jumlah investor selama pandemi hingga lebih dari 1 juta single investor identification (SID) saham, reksa dana, dan obligasi. Total investor pemegang SID secara nasional pun sudah mencapai 3,5 juta.
Di Jawa Barat, Reza menyebut, selama masa pandemi, penambahan investor baru per bulan rata-rata mencapai dua kali lipat dari penambahan per bulan tahun lalu. Investor baru disebut banyak datang dari kalangan milenial usia 26-40 tahun.
Saat ini, kelompok tersebut mencakup 98.000 investor di Jabar atau sekitar 48 persen dari total investor. Ditambah generasi Z, yang di bawah usia milenial, investor berusia antara 18-40 tahun mencakup 68 persen total investor di Jabar.
Melanie (26), karyawan swasta di perusahaan produsen makanan di Bekasi, bisa dibilang merupakan salah satu dari investor baru tersebut. Pada April 2020, ia memberanikan diri masuk ke pasar modal untuk menyisihkan kelebihan pendapatannya.
Sejak saat itu, ia menyisihkan 10-20 persen pendapatannya untuk membeli saham. Sementara porsi untuk menabung yang biasanya mengambil porsi 20 persen pendapatannya, ia kurangi menjadi hanya 10 persen per bulan atau tidak ada sama sekali.
”Ada alasan kenapa saya memaksakan investasi. Investasi tidak lebih likuid dari tabungan. Kalau enggak dari sekarang, bisa-bisa penghasilan cepat habis karena banyak kebutuhan dari keluarga yang enggak bisa dihindari. Ketika kebutuhan datang, mau enggak mau pakai tabungan yang mudah diambil,” tuturnya kepada Kompas, Senin (23/11/2020).
Eriko (30), seorang pekerja medis di Depok, juga mengaku menambah porsi investasi di awal pandemi. Turunnya indeks pasar modal saat itu dijadikan momentum untuk membeli banyak saham guna investasi jangka pendek dan jangka panjang. Ia juga sempat berinvestasi di emas dan surat utang negara.
Dengan semakin turunnya suku bunga tabungan dan perbaikan ekonomi jelang akhir tahun, ia merasakan imbal hasil investasi sahamnya telah jauh membaik. Beberapa saham yang telah ia panen keuntungannya bahkan ia jual untuk menambah tabungan dana daruratnya.
”Investasi jadi ’jalan ninjaku’,” ujarnya, mengutip frasa dari tokoh animasi Jepang, Naruto. Investasi dinilai menjadi pilihan keuangan yang segala konsekuensinya siap ia tanggung.
Dosen Bisnis Ekonomi Universitas Prasetya Mulya, Antonius W Sumarlin, mengamati, pandemi berpotensi menambah investor baru dari kalangan masyarakat yang kini lebih gemar menabung.
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pada Juni 2020, jumlah rekening nasabah penyimpan di perbankan tumbuh 10,01 persen secara tahunan, dari 289,08 juta rekening menjadi 318,01 juta rekening. Menurut Antonius, pertumbuhan itu menjadi momentum.
”Ini momentum untuk mengedukasi orang yang punya tabungan agar, kalau dalam istilah marketing ada desire atau keinginan untuk berinvestasi,” ujarnya.
Momentum tersebut juga dinilai jadi kesempatan untuk meningkatkan edukasi terkait investasi. Salah satu hal mendasar yang perlu dipahami investor pemula, menurut Antonius, adalah nilai kewajaran imbal hasil. Kedua, terkait fundamental atau performa sektor atau perusahaan yang mengeluarkan saham.
”Orang yang pindah dari kebiasaan menabung ke investasi ini harus kenal kewajaran yield (imbal hasil). Jadi, fokus dengan kewajaran yield-nya, faktor kehati-hatian. Baru ngomongin sektor,” ujarnya.
Berdasarkan perkembangan kinerja saham sektor usaha, sejak 2 Maret sampai 20 November 2020, sektor pertambangan tercatat mengalami pertumbuhan paling positif dengan persentase hingga 18,6 persen. Disusul industri dasar 11,87 persen, agrikultur 7,82 persen, barang konsumen 7,34 persen, dan keuangan 5,52 persen.
Di sisi lain, beberapa sektor masih tumbuh negatif. Sektor properti dan real estat masih negatif sampai -16,36 persen, sektor perdagangan, jasa dan investasi sampai -5,1 persen, infrastruktur -0,73 persen, aneka industri -0,28 persen.