Sejumlah pihak berupaya mengenalkan pangan lokal sumber karbohidrat selain beras. Selain menekan ketergantungan pada beras, upaya ini bertujuan mempromosikan bahan pangan lokal yang beragam dan potensial.
Oleh
ARIS PRASETYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah serta organisasi nonpemerintah terus mengenalkan bahan pangan nonberas sebagai sumber karbohidrat. Selain mengurangi ketergantungan pada beras, usaha itu ditempuh untuk mengangkat pamor pangan lokal yang beraneka ragam dan berpotensi menopang kebutuhan pangan nasional.
Badan Ketahanan Pangan RI, mengutip Direktori Perkembangan Konsumsi Pangan 2020, menyebutkan, beras masih mendominasi pangan sumber karbohidrat masyarakat pada 2019, yakni dengan 94,9 kilogram (kg) per kapita per tahun. Urutan kedua adalah terigu dengan rata-rata konsumsi 17,8 kg per kapita per tahun, di susul singkong (8,6), ubi jalar (3,5), dan kentang (2,9).
Bahan pangan lain sebagai sumber karbohidrat, menurut data itu, dikonsumsi kurang dari 1,7 kg per kapita per tahun. Padahal, Indonesia memiliki bahan pangan lokal yang beraneka ragam dan berpotensi dikembangkan untuk mengurangi tingginya ketergantungan pada beras, seperti sagu, sorgum, dan jagung.
Terkait dengan itu, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, misalnya, mengembangkan sumber pangan nonberas di beberapa daerah. Pengembangan ini melibatkan badan usaha milik desa (BUMDes) dan sejumlah lembaga internasional.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar mencontohkan pengembangan komoditas jagung di Kabupaten Boalemo, Gorontalo, dan di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Lahan yang dikelola di kedua wilayah itu mencapai 12,5 hektar dan penanamannya dimulai sejak Oktober 2020.
Pengembangan sumber pangan nonberas penting untuk mengurangi ketergantungan pada beras.
”Pengembangan jagung ini melibatkan BUMDes setempat dengan program pemberdayaan yang meliputi sosialisasi kredit usaha rakyat, fasilitas pupuk bersubsidi, pendampingan usaha tani, pelatihan pemasaran digital, serta menggandeng pembeli,” kata Abdul Halim saat dihubungi, Minggu (22/11/2020).
Selain jagung, Kementerian Desa PDTT menggandeng sejumlah pihak untuk mengembangkan sagu di Papua, salah satunya International Fund for Agriculture Development (IFAD). Kementerian juga membudidayakan ubi jalar berikut pengolahannya di sejumlah desa di Papua.
”Di Nabire, Papua, kami menggandeng UK Aid melalui program Green Economy untuk pengolahan sagu dengan cara bertani sagu, pemberian alat parut sagu, serta pemasaran,” ujar Abdul Halim.
Sekretaris Jenderal Forum Badan Usaha Milik Desa Indonesia Rudy Suryanto berpendapat bahwa BUMDes punya peran penting mendukung program ketahanan pangan pemerintah. Menurut dia, BUMDes bisa menjadi medium antara petani selaku produsen tanaman pangan dan pembeli. Produk tanaman pangan bisa dibeli BUMDes dan dijual kembali ke masyarakat desa.
”Dengan demikian, perputaran uang, setidaknya, hanya di desa tersebut. Meski demikian, tak menutup kemungkinan produk petani bisa dipasarkan ke luar wilayah dengan BUMDes sebagai penjualnya,” kata Rudy.
Sorgum digambarkan sebagai karbohidrat yang kaya serat dan cocok bagi penderita penyakit diabetes. Selain itu, harga sorgum lebih murah dari harga beras.
Dalam webinar bertajuk ”Pangan Lokal Tampil Menawan”, Sabtu (21/11), Ester Umbu Tara, salah satu pegiat pangan lokal dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, menyampaikan bahwa petani di Kupang mencoba menggiatkan budidaya sorgum. Sorgum adalah tanaman biji-bijian yang tumbuh layaknya jagung mesti tak bertongkol. Sorgum bisa tumbuh subur di kondisi tanah yang kering atau kurang air.
”Kami ingin membuat sumber pangan tandingan beras. Pada 2017, kami mulai dengan sorgum. Waktu itu, sorgum belum banyak ditanam meski sudah biasa dikonsumsi masyarakat bersama beras atau jagung,” ujar Ester.
Lewat wadah bernama Bapalok.com, yang merupakan akronim dari Bacarita Pangan Lokal, Ester mulai mengampanyekan sorgum yang juga berfungsi sebagai sumber karbohidrat, selain beras atau jagung. Sorgum digambarkan sebagai karbohidrat yang kaya serat dan cocok bagi penderita diabetes. Selain itu, harga sorgum lebih murah dari harga beras.
”Permintaan mulai naik. Kendala saat itu adalah petani-petani kami kurang mengantisipasi tingginya permintaan sehingga pasokan sempat terhenti sementara,” kata Ester.
Sementara itu, Theopilla Aris Praptami dari Parara Ethnical Store menambahkan, beragamnya sumber pangan nonberas di Indonesia belum begitu dikenal luas masyarakat. Oleh karena itu, Parara mencoba menjadi wadah untuk mengenalkan beragam sumber pangan tersebut kepada masyarakat luas.
Parara, yang merupakan kependekan dari Panen Raya Nusantara, adalah gerakan bersama yang terdiri dari 30 organisasi masyarakat sipil dan 108 komunitas produsen untuk mempromosikan kearifan lokal dan produk komunitas yang adil dan lestari.
”Kami promosikan pangan lokal berikut aspek kelestariannya. Beberapa cara yang kami lakukan adalah menyelenggarakan festival panen raya setiap dua tahun sekali, sekaligus mendirikan toko untuk menjual produk lokal agar lebih dikenal luas di kancah nasional,” ujar Tami, panggilan akrab Theopilla Aris Praptami.
Menurut dia, beragam sumber pangan lokal warisan nenek moyang Nusantara, selain mampu mencukupi kebutuhan pangan, dalam praktiknya juga terbukti lebih ramah lingkungan. Aspek kelestarian dan keberlanjutan berhasil dijaga dan dipertahankan dalam budidaya tanaman lokal tersebut.
Kampanye
Apa saja yang dilakukan pegiat pangan lokal agar sumber pangan nonberas itu bisa dikenal masyarakat?
Ester aktif berkampanye di media sosial, termasuk membuat laman khusus serta menerbitkan buku resep aneka ragam pangan lokal. Tak hanya itu, dengan mengundang sejumlah juru masak atau koki, berbagai masakan menggunakan bahan pangan lokal dibuat dan dikenalkan kepada masyarakat, termasuk ke sekolah-sekolah.
”Dari situ, kami menerima berbagai masukan tentang cara penyajian, rasa, ataupun beragam olahan. Kami juga memberikan kuisioner untuk pengembangan pangan lokal tersebut,” katanya.
Hal yang tak kalah penting, tambah Tami, adalah pembuatan narasi tentang pangan lokal. Publik layak tahu sejarah pangan lokal tersebut, mulai dari riwayat penanaman, manfaat untuk kesehatan, hingga dampaknya terhadap aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Narasi semacam itulah yang perlu digalakkan. ”Untuk budidaya, selama sumber pangan lokal nonberas memberi keuntungan, tentu banyak orang yang akan tertarik untuk memproduksinya,” ujar Tami.
Publik layak tahu sejarah pangan lokal tersebut, mulai dari riwayat penanaman, manfaat untuk kesehatan, hingga dampaknya terhadap aspek sosial, ekonomi, dan budaya.
Terkait pasar produk pangan nonberas, Yusup Martani dari Martani Maguantara, yang menjadi perantara atau penjual produk-produk petani, meyakini, selalu ada peminat produk pangan lokal. Oleh karena itu, hal paling penting untuk mengenalkan produk pangan lokal adalah dengan terus berusaha, berinovasi, dan membuat produk sebaik mungkin. Apabila berbagai hal itu sudah dilakukan, Yusup percaya pasar akan tercipta dengan sendirinya.
”Bisa dimulai dari tetangga di sekitar kita. Apabila dari mereka ada yang suka produk pangan lokal yang kita buat, artinya akan ada pasarnya,” kata Yusup.