Mengenalkan Pangan Lokal Nonberas agar Naik Kelas
Indonesia memiliki sumber pangan lokal yang sangat beragam. Meski demikian, sumber pangan nonberas masih kurang dikenal.
Nasi, hasil olahan beras, jamak dikenal sebagai makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal, sumber pangan selain beras sangat beragam di Indonesia, seperti jagung, sorgum, sagu, dan umbi-umbian.
Beberapa pihak mencoba memopulerkan sumber pangan nonberas agar naik kelas dan lebih populer.
Menurut data Kementerian Pertanian, konsumsi beras per kapita di Indonesia saat ini sebesar 111,58 per kilogram (kg) per tahun. Angka ini merupakan angka tertinggi per kapita dibandingkan dengan konsumsi sumber karbohidrat lain. Beras identik dengan makanan pokok orang Indonesia.
”Tak heran, kebanyakan orang di kampung kami di Kupang (Nusa Tenggara Timur) merasa malu saat memberi suguhan kepada tamu dari kota kalau bukan nasi,” kata Ester Umbu Tara, salah satu pegiat pangan lokal, dalam webinar bertajuk ”Pangan Lokal Tampil Menawan”, Sabtu (21/11/2020).
Ester memulai dari sorgum yang banyak dibudidayakan petani di Kupang, NTT. Sorgum adalah tanaman biji-bijian yang tumbuh seperti jagung, tetapi tidak bertongkol. Sorgum bisa tumbuh subur di kondisi tanah yang kering atau kurang air.
”Kami ingin membuat sumber pangan tandingan beras. Pada 2017, kami mulai dengan sorgum. Waktu itu, sorgum belum banyak ditanam meski sudah biasa dikonsumsi masyarakat bersama beras atau jagung,” ujar Ester.
Baca juga : Membaca Ketahanan Pangan di Tengah Pandemi
Lewat wadah bernama Bapalok.com atau akronim dari Bacarita Pangan Lokal, Ester mulai mengampanyekan sorgum yang juga menjadi sumber karbohidrat selain beras atau jagung. Sorgum digambarkan sebagai karbohidrat yang kaya serat dan cocok bagi penderita diabetes. Selain itu, harga sorgum lebih murah dibandingkan dengan beras.
”Permintaan mulai naik. Kendala saat itu, petani-petani kami kurang mengantisipasi tingginya permintaan sehingga pasokan sempat terhenti sementara,” kata Ester.
Kendala saat itu, petani-petani kami kurang mengantisipasi tingginya permintaan sehingga pasokan sempat terhenti sementara.
Theopilla Aris Praptami dari Parara Ethnical Store menambahkan, sumber pangan nonberas di Indonesia yang beragam belum dikenal luas masyarakat. Oleh karena itu, Parara mencoba menjadi wadah untuk mengenalkan beragam sumber pangan tersebut kepada masyarakat luas.
Parara, singkatan dari Panen Raya Nusantara, adalah gerakan bersama yang terdiri dari 30 organisasi masyarakat sipil dan 108 komunitas produsen untuk mempromosikan kearifan lokal serta produk komunitas yang adil dan lestari.
”Kami promosikan pangan lokal berikut aspek kelestariannya. Beberapa cara yang kami lakukan adalah menyelenggarakan festival panen raya setiap dua tahun sekali, sekaligus mendirikan toko untuk menjual produk lokal agar lebih dikenal luas di kancah nasional,” ujar Tami, panggilan Theopilla Aris Praptami.
Menurut Tami, beragam sumber pangan lokal warisan nenek moyang Nusantara, selain mampu mencukupi kebutuhan pangan, dalam praktiknya juga terbukti lebih ramah lingkungan. Aspek kelestarian dan keberlanjutan berhasil dijaga dan dipertahankan dalam budidaya tanaman lokal tersebut.
Baca juga : Warisan Tradisi Uma Lengge
Aspek kelestarian dan keberlanjutan berhasil dijaga dan dipertahankan dalam budidaya tanaman lokal tersebut.
Kampanye
Apa saja yang dilakukan pegiat pangan lokal agar sumber pangan nonberas itu bisa dikenal masyarakat?
Ester aktif berkampanye di media sosial, termasuk membuat laman khusus, serta menerbitkan buku resep aneka ragam pangan lokal. Tak hanya itu, dengan mengundang sejumlah juru masak atau koki, berbagai masakan menggunakan bahan pangan lokal dibuat dan dikenalkan kepada masyarakat, termasuk ke sekolah-sekolah.
”Dari situ, kami menerima berbagai masukan tentang cara penyajian, rasa, ataupun beragam olahan. Kami juga memberikan kuisioner untuk pengembangan pangan lokal tersebut,” katanya.
Hal yang tak kalah penting, tambah Tami, adalah pembuatan narasi tentang pangan lokal. Publik layak tahu sejarah pangan lokal tersebut, mulai dari riwayat penanaman, manfaat untuk kesehatan, hingga dampaknya terhadap aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Narasi semacam itulah yang perlu digalakkan.
”Untuk budidaya, selama sumber pangan lokal nonberas memberi keuntungan, tentu banyak orang yang akan tertarik untuk memproduksinya,” ujar Tami.
Publik layak tahu sejarah pangan lokal tersebut, mulai dari riwayat penanaman, manfaat untuk kesehatan, hingga dampaknya terhadap aspek sosial, ekonomi, dan budaya.
Terkait pasar produk pangan nonberas, Yusup Martani dari Martani Maguantara, yang menjadi perantara atau penjual produk-produk petani, meyakini, selalu ada peminat produk pangan lokal. Oleh karena itu, hal paling penting untuk mengenalkan produk pangan lokal adalah dengan terus berusaha, berinovasi, dan membuat produk sebaik mungkin. Apabila berbagai hal itu sudah dilakukan, Yusup percaya, pasar akan tercipta dengan sendirinya.
”Bisa dimulai dari tetangga di sekitar kita. Apabila dari mereka ada yang suka produk pangan lokal yang kita buat, artinya akan ada pasarnya,” kata Yusup.
Baca juga : Merintis Ketahanan Pangan di Ibu Kota