Harga minyak rendah menguntungkan bagi negara berstatus pengimpor murni minyak, seperti Indonesia. Namun, di sisi lain, penerimaan negara bakal merosot apabila harga minyak terus-menerus rendah.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia terkena dampak ganda dari rendahnya harga minyak mentah dunia beberapa bulan terakhir yang terpengaruh pandemi Covid-19. Dampak tersebut adalah merosotnya penerimaan negara dan berkurangnya tekanan defisit neraca perdagangan minyak dan gas bumi.
Sempat ada di harga 60 dollar AS per barel pada awal tahun, harga minyak saat ini ada di kisaran 40 dollar AS per barel. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor migas tahun 2019 mencapai Rp 115,1 triliun. Angka penerimaan itu lebih rendah dari realisasi tahun 2018 yang mencapai Rp 159,8 triliun.
Tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan sebanyak Rp 127,3 triliun, tetapi diperkirakan angka tersebut tidak tercapai lantaran target disusun sebelum terjadi pandemi Covid-19.
Berdasar data Departemen Riset Industri dan Regional Bank Mandiri, harga minyak sampai akhir tahun ini diperkirakan berada di kisaran 40 dollar AS per barel sampai 45 dollar AS per barel. Tahun depan, harga minyak mentah diprediksi ada di kisaran 44,9 dollar AS per barel. Pemulihan ekonomi global diyakini akan mendorong permintaan minyak dunia sehingga diharapkan harga minyak turut terangkat.
Menurut Kepala Departemen Riset Industri dan Regional Bank Mandiri Dendi Ramdani, dampak dari kejatuhan harga minyak dunia akibat pengaruh pandemi Covid-19, khususnya bagi Indonesia, adalah penerimaan negara sulit meningkat. Dalam APBN 2021, pemerintah menetapkan asumsi harga minyak 45 dollar AS per barel dengan angka lifting (produksi siap jual) 705.000 barel per hari. Jika kemudian harga minyak lebih rendah, PNBP akan berkurang.
Tahun depan, harga minyak mentah diprediksi ada di kisaran 44,9 dollar AS per barel.
”Hitungan sensitivitas setiap penurunan harga minyak sebesar 1 dollar AS per barel adalah turunnya penerimaan negara sebesar Rp 4,4 triliun rupiah,” kata Dendi saat dihubungi, Minggu (22/11/2020).
Sisi lain, dampak rendahnya harga minyak, imbuh Dendi, adalah tekanan terhadap defisit neraca perdagangan migas Indonesia berkurang. Hal ini karena Indonesia berstatus sebagai negara pengimpor bersih (net importer) minyak sejak 2004. Namun, di saat yang sama, tekanan terhadap industri hulu migas nasional juga tinggi.
”Sangat sulit untuk mengharapkan timbulnya ekspansi atau investasi baru. Yang bisa dilakukan oleh industri hulu migas adalah mengoptimalkan sumur-sumur minyak yang ada serta menerapkan efisiensi untuk menekan biaya produksi,” kata Dendi.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyampaikan bahwa sektor migas masih punya peranan penting bagi perekonomian di Indonesia. Selain masih menjadi sumber energi primer, industri hulu migas juga berkontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja dan memiliki dampak ganda bagi perekonomian nasional.
”Banyak tenaga kerja yang terserap pada industri hulu migas kita. Selain itu, industri ini punya dampak ganda luar biasa, seperti keterlibatan sektor barang dan jasa untuk mendukung industri hulu migas itu sendiri,” ucap Komaidi.
Selain masih menjadi sumber energi primer, industri hulu migas juga berkontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja dan memiliki dampak ganda bagi perekonomian nasional.
Dalam webinar tentang industri hulu migas pekan lalu, Pelaksana Tugas Pusat Kebijakan Pendapatan Negara pada Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Pande Putu Oka Kusumawardani menyatakan bahwa kontribusi sektor migas terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2019 sebesar Rp 773 triliun atau 4,9 persen. Ada kecenderungan bahwa kontribusi sektor migas terhadap PDB nasional terus menurun. Pada 2011, kontribusi terhadap PDB sebesar 9,2 persen dan sampai triwulan III-2020 turun menjadi 4,2 persen saja.
”Naik turunnya kontribusi migas disebabkan oleh faktor pasokan dan permintaan global. Tekanan pandemi Covid-19 kian menurunkan kontribusi sektor migas terhadap PDB Indonesia,” kata Kusumawardani.
Beberapa masalah hulu migas Indonesia adalah terus merosotnya lifting minyak di tengah laju konsumsi yang terus tinggi. Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) nasional mencapai 1,5 juta barel per hari, sedangkan lifting minyak kurang dari 750.000 barel per hari. Indonesia mengandalkan impor untuk menutupi kekurangan tersebut.
Menurut pakar, merosotnya lifting minyak Indonesia disebabkan usia sumur minyak sudah tua (rata-rata 30 tahun, bahkan lebih) dan sudah melewati masa puncak produksi. Selain itu, tak ada lagi penemuan cadangan baru setelah Blok Cepu di era 2000-an. Menggiatkan eksplorasi serta pemberian kemudahan dan insentif pada sektor industri hulu migas Indonesia diharapkan dapat memulihkan industri tersebut dari kelesuan.