Aturan teknologi finansial mesti mengakomodasi inovasi sekaligus mengutamakan perlindungan konsumen dan manajemen risiko yang baik. Dengan demikian, selain industri tumbuh secara sehat, konsumen pun terlindungi.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerangka regulasi yang seimbang dibutuhkan dalam mengatur industri teknologi finansial nasional. Pengaturan diharapkan mengakomodasi inovasi, tetapi tetap memitigasi risiko yang dapat muncul seiring pesatnya perkembangan teknologi finansial di Indonesia.
Inovasi tersebut mencakup isu pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), literasi keuangan, dan inklusi keuangan. Sementara mitigasi risiko, antara lain, meliputi isu perlindungan konsumen, operasional, dan keamanan siber.
Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Imansyah mengatakan, saat ini ada beberapa ketentuan yang telah dikeluarkan OJK terkait industri teknologi finansial. ”Saya melihat (ketentuan) ini perlu ditambah, dibuat ketentuan lagi," ujarnya dalam sesi diskusi ”Fintech Regulatory Framework for Augmenting Fintech Lending Ecosystem”.
Diskusi itu merupakan satu dari tujuh sesi diskusi pada Investree Conference (i-Con) 2020 yang digelar Investree, perusahaan rintisan teknologi finansial yang bergerak di bidang pinjam-meminjam antarpihak, Jumat (20/11/2020). Konferensi mengusung tema ”Beyond Lending : Accelerating SMEs Growth and Recovery through Collaboration in Digital Ecosystem.”
Regulai terkait teknologi finansial yang sudah dikeluarkan OJK, antara lain, adalah Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (P2P Lending Fintech). Selain itu, POJK No 12/2018 tentang Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum (Digital Banking).
Selain itu ada POJK No 37/2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding). Selain itu juga telah dikeluarkan POJK No 13/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan (Digital Finance Innovation).
Menurut Imansyah, ada beberapa pemikiran awal terkait regulasi teknologi finansial ke depan. Salah satunya adalah konsep same activity, same regulation (aktivitas yang sama, menerapkan peraturan yang sama). ”Beberapa fintech lending, misalnya, itu kan seperti perbankan juga. (Aktivitasnya) pinjam-meminjam, kemudian difasilitasi platform teknologi informasi,” ujar Imansyah.
Selama ini bank merupakan industri yang diatur ketat. Di sisi lain, ada industri yang memiliki bisnis lebih kurang sama dengan bank, tetapi regulasinya lebih ringan. ”Konsep aktivitas sama, regulasi sama dapat dipertimbangkan untuk mempromosikan aturan main sama dalam bisnis dan mencegah regulatory arbitrage di industri keuangan,” kata Imansyah.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko mengatakan, sejak awal pelaku teknologi finansial sependapat dengan pendekatan OJK. ”Industri fintech lending sebetulnya berbasis aktivitas. Aturannya berdasarkan POJK No 77/2016, lebih condong sebagai market conduct policy, bukan prudential policy,” ujar Sunu.
Pendekatan self regulatory organization (SRO) dilakukan sejak akhir tahun 2016 sampai sekarang, yakni ada asosiasi yang mengawal perilaku anggotanya. AFPI dalam hal ini bertugas memastikan level permainan yang setara bagi semua anggotanya untuk berkompetisi dengan adil dan wajar dalam mendukung ekonomi Indonesia.
”Melalui pedoman perilaku, kami memastikan 155 anggota AFPI taat asas dalam beraktivitas, tidak melanggar, dan tidak seperti pelaku teknologi finansial ilegal,” kata Sunu.
AFPI juga mengeluarkan sertifikasi kepada pemegang saham, komisaris, direksi, dan tenaga keuanga,n serta tenaga penagihan. Langkah tersebut bertujuan memastikan mereka memahami apa yang boleh dan tidak boleh secara hukum serta apa yang etis dan tidak etis. ”Sebab, bagaimanapun, bisnis ini penuh inovasi. Mungkin ada inovasi yang secara hukum belum tersentuh,” kata Sunu.
Selain sertifikasi, AFPI juga melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait literasi keuangan. AFPI pun memiliki Fintech Data Center yang bertujuan merekam semua transaksi dan rekam jejak peminjam.
”Pendekatan SRO dan market conduct, menurut kami, hingga saat ini sudah kami jalankan. Mungkin belum bagus sekali, tapi kami ingin berusaha mencapai standar yang tinggi,” ujar Sunu.
Terkait dengan hal tersebut, AFPI berharap regulasi dan pendekatan ini tetap dapat dilanjutkan. Penyempurnaan regulasi dimungkinkan tanpa harus mengubahnya secara drastis. Apalagi dalam kondisi krisis akibat pandemi Covid-19 saat ini.
Saat memberi sambutan pada pembukaan i-Con 2020, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, mahadata dan kecerdasan buatan dapat dimanfaatkan dalam mempercepat inklusi keuangan dengan penentuan skor kredit.
Pencarian rekam jejak secara tradisional sering kali membutuhkan waktu di samping memiliki risiko. Hal-hal seperti ini dapat menghambat penyaluran kredit. ”Dengan adanya kecerdasa buatan, jejak digital, segala macam administrasi yang panjang dan verifikasi yang rumit dapat disederhanakan,” ujar Bambang.