Kluster BUMN Pangan Dibentuk untuk Perkuat Pengolahan
Pemerintah melalui Kementerian BUMN membentuk kluster BUMN pangan untuk turut mengelola sektor pangan agar lebih efisien. Harapannya, semakin banyak bahan baku industri makanan minuman yang diproduksi di dalam negeri.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya meningkatkan ekspor di sektor pangan tidak lepas dari penguatan industri pengolahan pangan dalam negeri. Peran badan usaha milik negara (BUMN) dan sektor swasta dinilai sama pentingnya untuk menekan impor bahan baku melalui program substitusi bahan baku yang mampu diproduksi di dalam negeri.
Menteri BUMN Erick Thohir, dalam kesempatan terpisah di JFSS, Kamis, mengatakan, untuk mendorong pengembangan industri dalam negeri, pemerintah bertekad mengurangi impor bahan baku pangan. Kluster pangan BUMN pun dibentuk untuk turut mengelola sektor pangan agar lebih efisien dan terkontrol.
Kluster BUMN pangan akan berada di bawah PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) dengan anak usaha perseroan bertanggung jawab pada setiap komoditas. Komoditas yang diprioritaskan dalam rantai pasok kluster itu adalah beras, jagung, gula, ayam, sapi/kambing, ikan, cabai dan bawang merah, serta garam.
Erick menambahkan, pembentukan kluster pangan diarahkan untuk pemenuhan pasar domestik, peningkatan ekspor, serta penguatan industri dalam negeri lewat substitusi impor.
”Kita tidak anti-impor, tetapi kalau bisa (impor) kita tekan,” kata Erick pada diskusi panel dalam rangkaian Jakarta Food Security Summit (JFSS) Ke-5 tentang Strategi Ekspor Indonesia yang diselenggarakan secara virtual, Kamis (19/11/2020).
Kementerian BUMN saat ini sedang memetakan tiap komoditas dalam sinkronisasi rantai pasok dari tahap produksi, penyimpanan, distribusi, hingga penjualan ritel. Pemetaan itu akan mengelompokkan jenis komoditas yang dapat dipenuhi dari dalam negeri, komoditas yang perlu diimpor, serta komoditas mana yang bisa digarap oleh BUMN serta pihak swasta.
”Sekarang kita konsolidasikan agar masing-masing fokus saja pada bisnis intinya. Jadi, tidak ada lagi tumpang tindih antarperusahaan dan saling ’membunuh’ antar-BUMN yang akhirnya ikut ’membunuh’ sektor lainnya juga,” kata Erick.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gappmi) Adhi S Lukman mengatakan, industri makanan dan minuman saat ini kekurangan bahan baku. Akibatnya, impor bahan baku pangan masih sangat tinggi. Sebagai contoh, industri makanan minuman masih mengimpor 80 persen kebutuhan susu, 70 persen kedelai, 100 persen gula, serta 80 persen garam untuk mutu tertentu.
Data Indonesia Economic Forum 2019 menunjukkan, produktivitas industri manufaktur tanaman pangan Indonesia masih di bawah Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Laos, dan Malaysia. Skor produktivitas Indonesia adalah 74,4, masih di bawah rata-rata skor produktivitas ASEAN, yakni 78,2.
Adhi mengatakan, peran BUMN dan swasta sangat penting untuk membangun rantai pasok yang tangguh dan menghasilkan bahan baku berkelanjutan di dalam negeri.
”Kita memang harus meningkatkan ekspor pangan dan makanan dan minuman, tetapi untuk itu kita harus memperkuat dulu industri dalam negeri. Pemerintah harus memetakan prioritas sumber daya alam dan komoditas mana saja yang bisa diolah pemerintah, mana yang diserahkan ke sektor swasta, disesuaikan dengan kebutuhan industri,” kata Adhi.
Petani pun harus dihubungkan dengan industri melalui peran badan usaha milik desa (BUMDes) sebagai pengolah komoditas mentah sebelum diserap industri. Ia mencontohkan, sepanjang tahun, industri makanan minuman membutuhkan bahan baku cabe. Namun, terkadang cabe dalam negeri dihasilkan sangat tinggi di saat tertentu saja sehingga tidak terserap dan akhirnya rusak.
”Kalau itu diolah melalui industri perantara, seperti BUMDes, menjadi bubuk cabe atau cabe kering, ini bisa disuplai ke industri yang membutuhkan cabe sepanjang tahun itu,” katanya.
Upaya meningkatkan ekspor menghadapi tantangan tidak mudah karena konteks perdagangan global yang masih terpukul pandemi. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memprediksi, pertumbuhan dagang tetap melambat pada triwulan IV-2020 dan seterusnya seiring dengan kemunculan gelombang kedua Covid-19.
Volume perdagangan global turun 10,2 persen sepanjang enam bulan pertama 2020 dibandingkan tahun 2019. Pada Oktober 2020, WTO memproyeksikan penurunan volume perdagangan dunia sebesar 9,2 persen pada 2020, diikuti peningkatan 7,2 persen pada 2021. Proyeksi itu lebih rendah dari prediksi WTO sebelumnya pada April 2020.
Untuk menekan impor bahan baku, teknologi riset dan pengembangan memainkan peranan penting untuk mendorong komoditas yang berdaya saing dan semakin produktif. Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mencontohkan, impor garam industri yang saat ini masih tinggi dapat ditekan melalui teknologi garam yang terintegrasi.
Indonesia saat ini masih rutin mengimpor garam untuk kebutuhan industri. Pada 2020 saja, pemerintah mengalokasikan kuota impor garam industri sebesar 2,92 juta ton, lebih banyak daripada impor pada 2019.
”Satu-satunya cara memang harus ada terobosan, tidak bisa business as usual yang masih mengandalkan perekonomian berbasis komoditas saja tanpa ada pengolahan dan penambahan nilai,” kata Bambang.
Riset harus dilakukan antara akademisi dan industri, baik BUMN maupun swasta. Pemerintah harus memosisikan diri sebagai fasilitator dan regulator yang mempertemukan dunia riset dan industri. ”Harus ada kemitraan yang kuat antara akademisi, swasta, dan pemerintah. Karena peneliti tidak tahu apa preferensi pasar. Riset tidak ada artinya kalau tidak ada korporatisasi,” ujarnya.
Ia mengatakan, kemitraan dan pendampingan yang intens terhadap komunitas petani, nelayan, dan peternak pun menjadi kunci penting. Hasil riset tidak bisa diimplementasikan jika kemampuan petani untuk mengadopsi pertanian modern tidak dikembangkan. Oleh karena itu, peran perusahaan tidak hanya sebagai pembeli (offtaker), tetapi juga memberi pendampingan kepada petani.