Kepemimpinan Jadi Faktor Penting Hadapi Krisis akibat Pandemi
Dalam masa krisis, pemimpin didorong lebih banyak mendengar masukan dari karyawan dan memahami kondisi terkini. Dengan begitu, pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan lebih cepat dan tepat.
Oleh
SHARON PATRICIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 dapat dikatakan sebagai krisis kesehatan yang berimplikasi pada terjadinya krisis ekonomi secara global, tak terkecuali Indonesia. Untuk menghadapinya, diperlukan karakter pemimpin yang terhubung dengan karyawan dan kondisi terkini sehingga pengambilan keputusan menjadi efektif.
Pandemi Covid-19 telah berjalan sekitar sembilan bulan di Indonesia. Pada sektor kesehatan, hingga Jumat (20/11/2020) siang, tercatat ada lebih dari 483.000 orang terinfeksi dengan jumlah korban meninggal mencapai 15.600 orang.
Sektor ekonomi pun turut terimbas dengan pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2020 yang kembali mencatatkan kontraksi negatif 3,49 persen. Kondisi ini berdampak pada meningkatnya jumlah penganggur yang kini mencapai 9,77 juta orang, naik 2,67 juta orang dari tahun lalu.
Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institute dan Keuangan Digital Imansyah menyampaikan, kondisi krisis ini menuntut transformasi terhadap sistem lama yang tidak dapat dipertahankan lagi. Perlu manajemen krisis untuk merespons peristiwa besar yang dapat mengancam keberlangsungan organisasi dan masyarakat umum.
”Dalam masa krisis, para pemimpin dapat menekankan pada influence (pengaruh) dan engagement (keterlibatan). Pemimpin terkoneksi dan berkomunikasi secara konsisten berdasarkan satu set asumsi dan keyakinan atau disebut kepemimpinan yang terhubung,” kata Imansyah.
Paparan mengemuka dalam webinar ”Kepemimpinan di Masa Krisis Pandemi Covid-19 dan Tantangan di Masa Depan”. Acara ini diadakan OJK dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun Ke-9 OJK dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia sektor jasa keuangan.
Lebih lanjut, kata Imansyah, kepemimpinan yang terhubung memiliki lima faktor utama. Mulai dari inspiratif, otentik, pendelegasian kekuasaan, kolaborasi, hingga agility atau mendorong pembelajaran berkesinambungan, mencari ide baru, dan meningkatkan inovasi.
Dalam merespons dampak pandemi Covid-19, Imansyah menyampaikan, OJK memberi relaksasi kebijakan restrukturisasi kredit melalui penerbitan Peraturan OJK (POJK) Nomor 11 Tahun 2020 dan POJK Nomor 14 Tahun 2020. Dukungan dimaksudkan membantu lembaga jasa keuangan dalam memitigasi risiko dan membantu pelaku usaha melanjutkan kegiatan usahanya di tengah pandemi.
Hingga 5 Oktober 2020, terdapat 7,53 juta debitor dengan total kredit Rp 914,65 triliun. Debitor dari usaha mikro, kecil, dan menengah 5,88 juta debitor dengan total pinjaman Rp 361,98 triliun.
”Restrukturisasi kredit ini kami perpanjang dari yang seharusnya hingga Maret 2021 menjadi Maret 2022. Kita semua masih tidak tahu ke depan akan seperti apa, tetapi melanjutkan kebijakan restrukturisasi menjadi salah satu fokus OJK untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional,” kata Imansyah.
Utamakan karyawan
Presiden Komisaris Indonesia Standard Chartered Bank Rino Donosepoetro menyampaikan, karyawan merupakan aset terpenting bagi keberlanjutan dan kemajuan perusahaan. Untuk itu, penting bagi pemimpin dalam menerapkan compassionate leadership atau pemimpin yang peduli dan berempati pada karyawan.
”Pada awal terjadi pandemi Covid-19, pemimpin global dari Standard Chartered Bank sudah memastikan tidak ada layoff (pemberhentian) karyawan untuk tahun ini. Dengan begitu, harapannya karyawan dapat tenang dalam mengerjakan tugasnya tanpa ada rasa khawatir,” kata Rino.
Perusahaan juga wajib membuat kebijakan yang melindungi kesehatan untuk membantu kesehatan mental karyawan dalam menjalankan cara baru dalam bekerja. Setiap pengambilan keputusan juga hendaknya mempertimbangkan kondisi karyawan.
Menurut Rino, seorang pemimpin juga harus mampu beradaptasi dengan cepat dan tangkas dalam bergerak. Pembuatan keputusan di tengah masa krisis harus bisa dilakukan dengan fleksibel dalam waktu singkat.
Kuncinya, kata Rino, pemimpin dituntut lebih banyak berkomunikasi dan mendengar masukan dari para karyawan. Melalui pertimbangan-pertimbangan tersebut, keputusan yang diambil akan lebih sesuai dalam menjawab tantangan.
Tidak hanya masa sekarang, pemimpin harus memiliki gambaran utuh terkait rencana jangka panjang bagi perusahaan. Mempersiapkan diri untuk krisis selanjutnya, bahkan krisis yang lebih buruk juga harus disiapkan.
”Pada dasarnya, tidak ada one silver bullet (satu cara khusus) untuk menghadapi krisis karena kondisi yang mudah berubah. Paling tidak, yang bisa kita lakukan fokus pada aspek yang bisa kita kontrol,” ujar Rino.