BI berharap perbankan bisa menurunkan bunga kredit untuk mendorong pemulihan ekonomi. Sejak awal Januari hingga November 2020, BI sudah menurunkan suku bunga acuan, BI 7-day Reverse Repo Rate, sebesar 125 basis poin.
Oleh
dimas waraditya nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia optimistis suku bunga acuan yang rendah dapat mengakselarasi pemulihan ekonomi nasional yang tengah terimbas pandemi Covid-19. Kredit perbankan akan tumbuh dan aliran modal asing tetap akan deras masuk ke Indonesia.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 18-19 November 2020 memutuskan menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps), dari 4 persen menjadi 3,75 persen. Bunga acuan ini merupakan suku bunga acuan terendah sejak BI mengganti BI Rate menjadi BI 7-day Reverse Repo Rate pada 19 Agustus 2016.
BI juga menurunkan suku bunga penyediaan dana rupiah (deposit facility) dan penempatan dana rupiah (lending facility) sebesar 25 bps masing-masing menjadi 3 persen dan 4,5 persen.
Gubernur BI Perry Warjiiyo, Kamis (19/11/2020), mengatakan, BI memangkas suku bunga acuan dengan mempertimbangkan semakin surutnya ketidakpastian ekonomi global. Di samping itu, pertumbuhan ekonomi triwulan III-2020 di sejumlah negara, termasuk Indonesia, juga semakin membaik.
”Indikator ekonomi menunjukkan perbaikan mulai dari sisi mobilitas masyarakat global, kinerja industri jasa dan manufaktur, hingga optimisme pelaku industri,” ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Perry berharap perbankan bisa menurunkan suku bunga kredit untuk mendorong pemulihan ekonomi. Sejak awal Januari hingga November 2020, BI sudah menurunkan suku bunga acuan sebesar 125 basis poin. Apabila ditarik lebih jauh, sejak Juli 2019, bank sentral sudah menurunkan suku bunga acuan 225 basis poin.
”Sudah saatnya bank melihat bahwa kondisi pemulihan ekonomi terus berlanjut. Ini terlihat mulai membaiknya bisnis industri dan korporasi, utamanya yang berorientasi ekspor,” ujarnya.
Menurut Perry, bank perlu membangun rasa optimistis untuk menyalurkan kredit karena permintaan mulai meningkat. Apalagi, BI telah menambah likuiditas bank melalui kebijakan pelonggaran kuantitatif yang per 17 November 2020 telah mencapai Rp 680,89 triliun. Hal itu terutama bersumber dari penurunan giro wajib minimum (GWM) sekitar Rp 155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp 510,09 triliun.
Kendati begitu, lanjut Perry, BI memaklumi transmisi dari penurunan suku bunga acuan terhadap bunga kredit tidak bisa berlangsung cepat. Untuk menurunkan bunga kredit, bank bergantung pada sejumlah faktor, yakni suku bunga dana, biaya administrasi, dan premi risiko kredit.
”Persepsi risiko kredit bank sedikit banyak memengaruhi lambatnya penurunan suku bunga kredit bank. Risiko ini juga yang membuat bank meningkatkan kebutuhan pencadangan,” ujarnya.
Persepsi risiko kredit bank sedikit banyak memengaruhi lambatnya penurunan suku bunga kredit bank. Risiko ini juga yang membuat bank meningkatkan kebutuhan pencadangan.
Perry optimistis aliran modal asing akan semakin deras masuk ke Indonesia pada 2021. Sepanjang periode Oktober-November 2020, aliran modal asing yang masuk sebesar 3,68 miliar dollar AS.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, berpendapat, masuknya aliran dana ke pasar keuangan Indonesia tidak lepas dari pengaruh sentimen di pasar keuangan global. Ini seiring dengan progres positif pemilihan presiden AS dan vaksin.
Dalam kondisi normal, penurunan suku bunga acuan membuat selisih imbal hasil surat berharga negara (SBN) suatu negara berkembang menipis jika dibandingkan dengan negara maju. Hal ini pada akhirnya bisa menekan harga surat utang.
”Namun, di tengah ekspektasi banjir stimulus AS, investor dan para pelaku pasar di AS bakal membelanjakannya ke pasar negara-negara berkembang, salah satunya SBN Indonesia,” ujarnya.
Di tengah ekspektasi banjir stimulus AS, investor dan para pelaku pasar di AS bakal membelanjakannya ke pasar negara-negara berkembang, salah satunya SBN Indonesia.
Dalam keterangan resmi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, pemerintah tetap memberikan tingkat kupon atau imbal hasil minimal sebesar 6,3 persen bagi pemilik surat utang ritel seri SBR009 meski ada penurunan suku bunga acuan BI.
Tingkat kupon tetap karena skema penentuan merujuk pada tingkat kupon minimal sehingga imbal hasil dari surat utang ini tidak akan berubah dari nominal minimal saat pertama diluncurkan, yaitu sebesar 6,3 persen. Namun, tingkat imbal hasil akan lebih tinggi apabila bunga acuan BI naik di atas 5 persen.
Head of Investment Research Infovesta Wawan Hendrayana memperkirakan suku bunga acuan BI pada 2021 tidak akan naik. Berkaca dari inflasi nasional yang masih di bawah 2 persen, bunga acuan BI justru masih bisa turun lagi. Dengan menghitung risiko kenaikan suku bunga yang kecil pada 2021, prospek pasar obligasi tahun depan sangat potensial.
”Tahun depan, obligasi masih akan dicari, dengan yield bisa mencapai 6 persen pada triwulan I-2021. Kalau beli sekarang akan lebih menarik lagi imbal hasil ke depannya saat memasuki tren kenaikan suku bunga,” ujarnya.